Ketika Pinjaman Gelap China Bebani Negara Berkembang... Halaman all - Kompas.com
BEIJING, KOMPAS.com - China adalah kreditur terbesar bagi negara berkembang. Dalam meminjamkan uang, Beijing menetapkan kondisi khusus yang membuka peluang campur tangan terhadap kebijakan keuangan dan luar negeri di negara yang bersangkutan.
Kesimpulan itu dirilis oleh Institute for the World Economi (IfW) di Kiel, Jerman, pada pertengahan pekan ini. Penelitian itu menganalisis sekitar 100 perjanjian utang yang dibuat China dengan 24 negara.
Studi ini adalah analisis sistematis pertama terhadap praktik pemberian kredit luar negeri bersyarat oleh China.
Kontrak perjanjian biasanya "menggunakan desain kreatif untuk mengelola risiko kredit dan menembus hambatan hukum," tulis IfW, yang menilai China sebagai "kreditur yang berotot dan komersial di dunia berkembang."
Kebanyakan arus kredit dikucurkan untuk membiayai proyek infrastruktur, yang terhubung dengan jaringan Belt and Road Iniative, sebuah proyek infrastruktur raksasa yang menghubungkan China dengan 60 negara di dunia.
Sumpah kerahasiaan
Dalam perjanjian kredit, bank-bank China menggunakan persyaratan yang "melebihi batas komersial," tulis para peneliti.
"Syarat-syarat itu bisa menggandakan pengaruh kreditur terhadap kebijakan ekonomi dan luar negeri debitur."
DW INDONESIA
Pinjaman gelap China
Lebih dari 90 persen perjanjian utang China mencantumkan klausul yang mengizinkan kreditur membatalkan kontrak dan menuntut pelunasan utang, jika terdapat perubahan signifikan dalam kebijakan hukum atau politik di negara peminjam.
Meski klausul perubahan politik tergolong lumrah dalam kontrak kredit, para peneliti menilai situasinya menjadi genting ketika pemberi pinjaman adalah aktor negara, bukan perusahaan swasta yang tunduk pada regulasi keuangan.
Kontrak-kontrak itu juga mengandung "klausul kerahasiaan dengan cakupan luas dan tidak lazim," tulis para peneliti. "Kebanyakan kontrak itu mengandung atau mencantumkan janji debitur untuk merahasiakan perjanjian."
"Warga di negara peminjam tidak bisa mengawasi pemerintahnya dalam perjanjian utang rahasia."
Dalam perjanjian itu, China bisa membatalkan kontrak jika tidak setuju dengan kebijakan politik negara peminjam, atau dalam kasus memburuknya hubungan diplomasi.
Studi itu juga menemukan bahwa 30 persen kontrak utang China mensyaratkan negara peminjam untuk menyimpan uang jaminan di bank milik pemerintah China.
Bias anti-China?
Praktik pinjaman gelap dari China dikhawatirkan akan marak menyusul krisis ekonomi yang dipicu pandemi corona. Negara-negara miskin akan terpaksa mengambil kredit bermasalah demi menyelamatkan perekonomian.
"Mengingat risiko yang besar, syarat dan kondisi kontrak utang China menjadi kepentingan dunia internasional," demikian lanjut para peneliti.
Tapi tidak semua menyetujui anggapan bahwa Beijing adalah kreditur lalim. "Narasi 'diplomasi jebakan utang' menggambarkan China sebagai kreditur yang jahat dan negara seperti Sri Lanka sebagai korban," tulis Deborah Bräutigam dari Johns Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School, dalam sebuah artikel untuk The Atlantic.
Menurut kedua guru besar ilmu politik itu, pinjaman sering kali bersifat mendesak bagi negara berkembang. Mereka mencontohkan Sri Lanka yang meminjam uang dari China untuk membenahi pelabuhan internasionalnya yang sudah usang.
"Ekspansi China ke luar negeri, serupa dengan program pembangunan domestiknya, lebih bersifat uji coba dan eksperimental, sebuah proses pembelajaran yang ditandai dengan koreksi yang konstan dilakukan."
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
01:53
Saat Matahari Tampak Biru dan Langit Menguning akibat Badai Pasir di Beijing
01:56
Beijing Dilanda Badai Pasir Terbesar, 6 Tewas dan 81 Orang Hilang
01:35
Ledakan Terjadi di Kantor Pemerintah China, Diduga Ulah Warga yang Geram
01:51
Satpol PP Lakukan Penyekatan Masuk Kawasan Puncak, Ratusan Mobil Diputar Balik
05:50
Kapal MV Barokah Jaya Terbalik Setelah Menabrak MV Habco Pioneer di Perairan Indramayu, 17 ABK Hilan
03:12
Kesulitan Ekonomi, Istri Terduga Teroris di Sukabumi Dapat Bantuan dari Presiden Joko Widodo
01:49
Penjual Senjata Api ke ZA Ternyata Pernah Ikut Pelatihan Terorisme pada Tahun 2010
01:25
Densus 88 Tangkap Dua Terduga Teroris Jaringan JAD di Makassar dan Gowa
Rekomendasi
Powered by

[Category Opsi Informasi]
[Tags China]
BEIJING, KOMPAS.com - China adalah kreditur terbesar bagi negara berkembang. Dalam meminjamkan uang, Beijing menetapkan kondisi khusus yang membuka peluang campur tangan terhadap kebijakan keuangan dan luar negeri di negara yang bersangkutan.
Kesimpulan itu dirilis oleh Institute for the World Economi (IfW) di Kiel, Jerman, pada pertengahan pekan ini. Penelitian itu menganalisis sekitar 100 perjanjian utang yang dibuat China dengan 24 negara.
Studi ini adalah analisis sistematis pertama terhadap praktik pemberian kredit luar negeri bersyarat oleh China.
Kontrak perjanjian biasanya "menggunakan desain kreatif untuk mengelola risiko kredit dan menembus hambatan hukum," tulis IfW, yang menilai China sebagai "kreditur yang berotot dan komersial di dunia berkembang."
Kebanyakan arus kredit dikucurkan untuk membiayai proyek infrastruktur, yang terhubung dengan jaringan Belt and Road Iniative, sebuah proyek infrastruktur raksasa yang menghubungkan China dengan 60 negara di dunia.
Sumpah kerahasiaan
Dalam perjanjian kredit, bank-bank China menggunakan persyaratan yang "melebihi batas komersial," tulis para peneliti.
"Syarat-syarat itu bisa menggandakan pengaruh kreditur terhadap kebijakan ekonomi dan luar negeri debitur."
DW INDONESIA
Pinjaman gelap China
Lebih dari 90 persen perjanjian utang China mencantumkan klausul yang mengizinkan kreditur membatalkan kontrak dan menuntut pelunasan utang, jika terdapat perubahan signifikan dalam kebijakan hukum atau politik di negara peminjam.
Meski klausul perubahan politik tergolong lumrah dalam kontrak kredit, para peneliti menilai situasinya menjadi genting ketika pemberi pinjaman adalah aktor negara, bukan perusahaan swasta yang tunduk pada regulasi keuangan.
Kontrak-kontrak itu juga mengandung "klausul kerahasiaan dengan cakupan luas dan tidak lazim," tulis para peneliti. "Kebanyakan kontrak itu mengandung atau mencantumkan janji debitur untuk merahasiakan perjanjian."
"Warga di negara peminjam tidak bisa mengawasi pemerintahnya dalam perjanjian utang rahasia."
Dalam perjanjian itu, China bisa membatalkan kontrak jika tidak setuju dengan kebijakan politik negara peminjam, atau dalam kasus memburuknya hubungan diplomasi.
Studi itu juga menemukan bahwa 30 persen kontrak utang China mensyaratkan negara peminjam untuk menyimpan uang jaminan di bank milik pemerintah China.
Bias anti-China?
Praktik pinjaman gelap dari China dikhawatirkan akan marak menyusul krisis ekonomi yang dipicu pandemi corona. Negara-negara miskin akan terpaksa mengambil kredit bermasalah demi menyelamatkan perekonomian.
"Mengingat risiko yang besar, syarat dan kondisi kontrak utang China menjadi kepentingan dunia internasional," demikian lanjut para peneliti.
Tapi tidak semua menyetujui anggapan bahwa Beijing adalah kreditur lalim. "Narasi 'diplomasi jebakan utang' menggambarkan China sebagai kreditur yang jahat dan negara seperti Sri Lanka sebagai korban," tulis Deborah Bräutigam dari Johns Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School, dalam sebuah artikel untuk The Atlantic.
Menurut kedua guru besar ilmu politik itu, pinjaman sering kali bersifat mendesak bagi negara berkembang. Mereka mencontohkan Sri Lanka yang meminjam uang dari China untuk membenahi pelabuhan internasionalnya yang sudah usang.
"Ekspansi China ke luar negeri, serupa dengan program pembangunan domestiknya, lebih bersifat uji coba dan eksperimental, sebuah proses pembelajaran yang ditandai dengan koreksi yang konstan dilakukan."
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
slide 1 to 3 of 8
Saat Matahari Tampak Biru dan Langit Menguning akibat Badai Pasir di Beijing
Beijing Dilanda Badai Pasir Terbesar, 6 Tewas dan 81 Orang Hilang
Ledakan Terjadi di Kantor Pemerintah China, Diduga Ulah Warga yang Geram
Satpol PP Lakukan Penyekatan Masuk Kawasan Puncak, Ratusan Mobil Diputar Balik
Kapal MV Barokah Jaya Terbalik Setelah Menabrak MV Habco Pioneer di Perairan Indramayu, 17 ABK Hilan
Kesulitan Ekonomi, Istri Terduga Teroris di Sukabumi Dapat Bantuan dari Presiden Joko Widodo
Penjual Senjata Api ke ZA Ternyata Pernah Ikut Pelatihan Terorisme pada Tahun 2010
Densus 88 Tangkap Dua Terduga Teroris Jaringan JAD di Makassar dan Gowa
Rekomendasi
Powered by

[Category Opsi Informasi]
[Tags China]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar