Mencari Biang Kerok Kebocoran Pajak RI
Dari benchmark digitalisasi tutupan sawit yang ada menunjukkan terdapat 16,3 juta hektar wilayah perkebunan sawit. Namun, hanya terdapat 14 jutaan hektar wilayah perkebunan sawit yang memiliki izin.
Dengan demikian, terdapat jutaan hektar lahan perkebunan sawit yang tidak membayarkan pajaknya ke negara. Itu pun belum menghitung perkebunan sawit yang tidak memiliki izin alias ilegal.
Masalah kebocoran pajak itu tak hanya sekali ini saja diungkap. Pada 2014, Kepala Bareskrim Mabes Polri Suhardi Alius menyebut ada potensi pajak senilai Rp160 triliun yang hilang dari sektor pertambangan.
Ia memaparkan masalah akurasi data dan rendahnya kepatuhan perusahaan tambang menjadi alasan utama terjadi kebocoran potensi penerimaan pajak.
Ia menuturkan pada 2014 lalu hanya 2.000 pemilik perusahaan tambang yang membayar pajak, sementara 9.000 perusahaan lolos alias tak bayar pajak. Selain itu, penelusuran dia menemukan kalau sejumlah besar perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) menyertakan NPWP bodong.
Lihat Juga :
Lantas, kenapa kebocoran penerimaan pajak itu bisa terjadi. Apa permasalahan utama perpajakan RI?
Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira menilai permasalahan kebocoran potensi perpajakan di sektor ekstraktif lebih dari sekadar masalah luasan lahan. Bhima mengatakan salah satu akar dari permasalahan adalah rendahnya kepatuhan pajak di RI dan ini yang harus dikejar pemerintah.
Misalnya, praktik nakal false invoicing atau under invoicing yang memanipulasi laporan penerimaan.
Menurut kajian Global Financial Integrity (GFI), Indonesia masuk dalam 10 negara dengan manipulasi pencatatan perdagangan terbesar dunia. Catatan tersebut mencakup penyusutan pencatatan dan penggelembungan pencatatan (over invoicing) guna menyiasati pajak termurah.
GFI menyebut nilai rata-rata perbedaan catatan perdagangan Indonesia dalam kurun 2008-2017 mencapai US$22 miliar per tahun atau senilai Rp312,4 triliun (kurs Rp14.200).
Lihat Juga :
"Ini adalah praktik di mana data ekspor yang dikirim oleh Indonesia berbeda dengan data ekspor yang ada di negara tujuan akhir. Ini salah satu problem di komoditas," katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/9).
Belum lagi, lanjutnya, praktik klasifikasi HS code (uraian barang) yang kerap tak sesuai dengan barang ekspor dan impor. Dengan klasifikasi berbeda, maka implikasi pajak yang dibayarkan ke Bea Cukai pun lebih rendah.
Melihat polemik tersebut, ia menyebut sebetulnya potensi penerimaan pajak negara dari sumber daya alam masih sangat besar. Semestinya, pemerintah mengejar pajak terkait dengan penyidikan yang melibatkan lintas negara.
Lihat Juga :
Dari kacamata Bhima, daripada mengutak-atik penerimaan pajak baru dari PPN sembako, pendidikan, dan kesehatan, sebaiknya pemerintah membereskan dulu kebocoran perpajakan di sektor ekstraktif. Toh, potensinya jauh lebih besar.
Kajian Indef misalnya menunjukkan potensi
pemungutan PPN barang kebutuhan pokok hanya sekitar Rp4,25 triliun per tahun.
"Pertambangan dan komoditas kalau digali lebih lanjut banyak potensi penerimaan pajak yang menguap begitu saja dan ini yang harusnya dikejar sebelum adanya objek pajak baru, bahan makanan, pendidikan, dan kesehatan," imbuhnya.
Perbaikan Format Perpajakan
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan perlu dilakukan perbaikan format perpajakan yang lebih cocok ke sektor pertambangan dan hulu seperti perkebunan kelapa sawit. Ia menduga akar permasalahan ada pada pengecualian (exemption) PPN yang diberikan di sektor perkebunan.
Saat ini, PPN untuk sektor perkebunan disamakan dengan sektor pertanian, yaitu tarif PPN 1 persen. Padahal, menurut Telisa, pertanian memang menyasar sembako masyarakat, sedangkan tidak banyak produk hasil perkebunan yang masuk dalam daftar sembako. Sehingga, ia menilai seharusnya ada perbedaan perlakuan perpajakan.
Ia mencurigai ada permasalahan sistem perpajakan pemerintah karena booming harga komoditas tidak diikuti oleh kenaikan penerimaan pajak signifikan.
Pada 2019, ia mencatat kontribusi PDB sektor perkebunan dan pertanian mencapai 13,5 persen, namun kontribusi pajaknya hanya 1,35 persen. Melihat ketimpangan antara kontribusi PDB dan kontribusi perpajakan tersebut, ia menilai pemerintah mestinya fokus menggarap potensi perpajakan di sektor terkait sebelum menyasar PPN bahan makanan.
Lihat Juga :
"Dirjen Pajak kan adanya di bawah Kemenkeu, tapi kalau dia dilepas jadi lembaga sendiri seperti IRS di AS setara kementerian itu lebih dahsyat, karena masih di bawah Kemenkeu jadi hambatan-hambatan ini wajar saja," bebernya.
Selain itu, ia menyebut harus dimasukkan klausul yang membuat pengusaha pikir-pikir tak membayar pajak. Ia menilai klausul ini dapat dimasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Mumpung masih dibahas, ia menyebut mesti ada aturan khusus yang memberi DJP kewenangan membekukan rekening bank pengusaha yang tak patuh pajak, Saat ini, ia mengatakan pembekuan hanya bisa dilakukan khusus untuk kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Bila pembekuan bisa dikenakan pada kasus penyelewengan pajak, ia menilai target pajak pemerintah bakal tercapai karena pengusaha bakal takut tak patuh pajak.
Klausul ini, menurut dia, bisa saja ditambahkan pemerintah bila mau karena implementasi TPPU sudah dibuktikan bisa berjalan.
"Seperti tindak pencucian uang UU terorisme bisa, kenapa ini kita ga mau? Sekarang mau engga? Itu saja," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar