Nekat Divaksin Saat Positif COVID-19 Adakah Bahayanya? Ini Kata Komnas KIPI
Saparudin (56), seorang pasien Corona asal Poso, Sulawesi Tengah, yang sedang menjalani isolasi mandiri dilarikan ke ruang instalasi gawat darurat (IGD) RSUD Poso usai mengikuti vaksinasi COVID-19. Dilaporkan, ia mengalami gejala mual dan demam tinggi setelah divaksinasi.
Menurut call center RSUD Poso, Munfail, Saparudin nekat melakukan vaksinasi karena membutuhkan sertifikat vaksin untuk syarat administrasi perjalanan. Ia tidak mengaku bahwa sedang terkena COVID-19 saat hendak divaksinasi.
"Riwayatnya ini memang intinya pasien itu berbohong, ia tidak jujur ke rumah sakit. Jadi, informasinya ini satu minggu sebelum vaksinasi yang bersangkutan sudah dilakukan pemeriksaan rapid antigen dan ternyata hasilnya positif (COVID-19), hanya tidak dilaporkan," kata Munfail kepada detikcom setelah mendapat izin dari Direktur RSUD Poso Jean S Rondonuwu, Sabtu (4/9/2021).
Lebih lanjut, kata Munfail, sebelum divaksinasi, Saparudin memang telah mengeluhkan gejala batuk-batuk. Kemudian gejalanya memburuk setelah divaksinasi COVID-19 hingga harus dirawat di ruang isolasi.
Apakah vaksinasi dapat meningkatkan risiko gejala pasien Corona?
Menurut Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof Hingky Hindra Satari Irawan, vaksinasi COVID-19 tidak akan memperburuk gejala pasien Corona. Pasalnya, vaksin bukanlah virus hidup sehingga tidak mungkin menyebabkan sakit.
"Tidak (memperparah sakit), orang itu bukan virus. Dia kan bukan bibit penyakit. Jadi dia tidak memperberat, tidak menyembuhkan, tidak mempengaruhi terhadap perjalanan penyakit orang tersebut," kata Prof Hingky saat dihubungi detikcom, Sabtu (4/9/2021).
Prof Hingky menjelaskan kemungkinan pasien tersebut sedang mengalami fase badai sitokin, sehingga gejalanya terasa memberat. Hal ini karena, Saparudin sudah dinyatakan positif COVID-19 sejak seminggu lalu sebelum mendapat vaksin.
"Kan dia positifnya seminggu lalu, minggu pertama itu virusnya berkembang biak. Masuk minggu kedua itu yang badai sitokin itu. Itu adalah perjalanan penyakit alamiah dari penderita yang mengalami infeksi virus COVID satu minggu sebelumnya. (Kalau gejalanya tampak bertambah) kebetulan saja dia divaksinnya bersamaan," jelasnya.
"Minggu kedua keluar badai sitokinnya. Bukan gara-gara vaksinnya, tapi gara-gara virus masuk seminggu sebelum dia divaksin. Vaksin kan nggak bikin penyakit," sambungnya.
Lantas kenapa vaksin COVID-19 baru dianjurkan ketika sudah 3 bulan sembuh?
Menurut Prof Hingky, hal ini berkaitan dengan antibodi yang dimiliki pasien. Setiap pasien yang sudah sembuh dari virus Corona pasti akan memiliki antibodi terhadap COVID-19.
Maka dari itu, kata Prof Hingky, penyintas COVID-19 baru dianjurkan mendapat vaksin setelah 3 bulan dinyatakan sembuh, karena diketahui pada waktu tersebut antibodi pasien sudah mulai menurun.
"Kalau sudah kebal, apa masih perlu dikasih vaksin? Nggak kan, makanya sekarang kita tunggu turunnya. Begitu dia turun, kita vaksin lagi biar naik lagi antibodinya," ujarnya.
"Jadi daripada memvaksin orang yang sudah kebal, mendingan vaksin itu diberikan orang yang belum kebal. Jadi vaksin itu buat orang yang belum punya kekebalan. Lebih banyak yang divaksin, lebih aman juga," tuturnya.
Simak Video "Epidemiolog Jelaskan soal Heboh Turunnya Efikasi Vaksin Covid-19"
(ryh/kna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar