Gelombang Pembunuhan Hantui Buruh India di Kashmir
Suara.com - Situasi di Kashmir India semakin pelik menyusul gelombang pembunuhan terhadap buruh migran. Militer merespons dengan operasi senyap. Tapi akar konflik mengindikasikan sengketa jangka panjang dengan kelompok separatis.
Dua orang buruh migran kembali tewas ditembak di Kashmir, Minggu (17/19), oleh kelompok tidak dikenal.
Insiden itu terjadi hanya sehari setelah seorang pedagang jalanan dan seorang buruh India ditembak dalam kejadian terpisah.
Seorang korban beragama Islam, yang lain Hindu. Gelombang pembunuhan tak bernama di Kashmir mendorong pemerintah memindahkan semua buruh migran ke barak tentara. Mereka dikhawatirkan menjadi target serangan atau pembunuhan.
"Saya sudah memerintahkan para aparat untuk memindahkan mereka yang paling rentan," kata Vijay Kumar, Kepala Kepolisian Kashmir India.
Sejauh ini sudah 11 orang yang tewas dalam serangkaian pembunuhan terhadap warga sipil non-Kashmir di kawasan konflik itu.
New Delhi menjawab dengan menggelar operasi militer dan penggerebekan sejak awal Oktober lalu. Aparat keamanan India menuduh Front Perlawanan atau TRF sebagai biang keladi pembunuhan.
Kelompok ini dicurigai berhubungan dengan Lashkar-e-Taiba, sebuah organisasi militan asal Pakistan, dan Hizbul Muhahideen, sebuah kelompok militan Kashmir lain. Pemerintah New Delhi meyakini Pakistan bertanggungjawab atas pemberontakan di Kashmir India.
Untuk memperkuat klaim India, PM Narendra Modi, mencabut status otonomi khusus dan membagi Kashmir ke dalam wilayah dua negara bagian, Jammu Kashmir dan Ladakh.
Perombakan itu dibarengi operasi militer dan keamanan demi mencegah aksi protes massal. TRF pertamakali muncul pada Agustus 2019, seiring perombakan wilayah administrasi Kashmir.
Dalam sebuah pernyataan pada awal Oktober silam, kelompok ini mengklaim tidak menetapkan sasaran berdasarkan agama, tetapi hanya membidik mereka yang bekerja untuk otoritas India.
Kashmir terbelah, Kashmir berdarah
Untuk meredam pemberontakan, India melancarkan operasi militer di Kashmir yang menewaskan 13 gerilyawan TRF dalam dua pekan terakhir.
Pekan lalu otoritas menahan lebih dari 300 orang pasca pembunuhan terhadap dua orang guru di Srinagar.
Mereka yang ditahan diklaim berafiliasi dengan organisasi terlarang, Jemaat-e-Islami, sebuah aliansi payung bagi pemberontakan.
Selama operasi, India mengaku kehilangan sembilan orang serdadunya. Angka tersebut merupakan jumlah korban terbesar bagi militer India di Kashmir sejak beberapa tahun terakhir. Gelombang pembunuhan memicu rasa panik di sejumlah kalangan, terutama warga minoritas Hindu dan buruh migran yang berasal dari penjuru India.
Teror tersebut dikecam oleh politisi lokal, namun ditengarai sebagai buntut kebijakan pemerintahan Modi membelah wilayah Kashmir menjadi dua pada tahun 2019.
"Tidak seorangpun pantas mati," kata bekas perdana menteri Kashmir, Mehbooba Mufti, lewat akun Twitternya.
"Kita hanya bisa membayangkan apa yang diperlukan untuk meyakinkan pemerintah India bahwa kebijakan mereka mengalami kegagalan besar di Kashmir, dan dengan ongkos sebesar apa?" katanya.
Tak ayal, gelombang kekerasan teranyar membuat gentar buruh migran di Kashmir. Sebagian mengkhawatirkan keselamatan pribadi.
"Kami sudah pernah mengalami masa yang lebih sulit, tapi belum pernah dijadikan sasaran pembunuhan," kata Mohammd Salam asal negara bagian Bihar yang sudah bekerja di kashmir selama enam tahun.
"Kali ini kami benar-benar ketakutan," imbuhnya. rzn/pkp (rtr,afp)
Komentar
Posting Komentar