Langsung ke konten utama

Saksi Sejarah G30S/PKI Ungkap yang Dilakukan Warga Lubang Buaya di Malam Pembunuhan Para Jenderal - TRIBUNNEWS

 

Saksi Sejarah G30S/PKI Ungkap yang Dilakukan Warga Lubang Buaya di Malam Pembunuhan Para Jenderal

Yasin (71), saksi sejarah Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).
Yasin (71), saksi sejarah Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).

TRIBUNJABAR.ID, JAKARTA - YASIN (71) menjadi saksi sejarah atas tragedi berdarah Gerakan 30 September PKI atau peristiwa G30S/PKI.

Meski sudah puluhan tahun berlalu, rasa trauma masih menyelimuti bagi warga Lubang Buaya, Jakarta Timur ini.

YASIN mengisahkan pengalamannya kepada Tribun Network, Kamis (30/9). Ia menuturkan, pada zamannya warga sekitar tidak paham apa yang saat itu terjadi.

Menurutnya, sulit membedakan mana PKI dan mana Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).

"Saya saat itu masih kecil, kelas 3 SD. Apalagi orang kampung di sini ibaratnya bodoh dan tidak mengerti persoalan begitu (politik)," ujarnya.

Ia tidak menampik, banyak warga yang dihasut untuk menjadi anggota PKI.

Yasin bercerita, setiap harinya PKI berkeliling rumah warga melakukan pemeriksaan. Kondisi tersebut diakuinya membuat warga ketakutan.

"Yang dicari apa, saya juga tidak mengetahui pasti. Orang kampung saat itu sangat takut. Kondisi ekonomi juga sulit. Berbeda dengan sekarang," ujarnya.

Yasin mengatakan, sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI juga menggelar beberapa persiapan.

Salah satunya melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani.

Sepengetahuannya, pemuda yang bergabung pelatihan bukan warga Lubang Buaya.

"Mereka orang mana, kita juga tidak mengetahui. Orang kita (Lubang Buaya) justru ketakutan," kenang Yasin.

Yasin masih ingat, pada malam terjadinya pembunuhan berantai terhadap para jenderal, 30 September itu, PKI menggelar pesta kesenian reog, pentas lawak hingga layar tancap.

"Seingat saya banyak warga yang menyaksikan reog dan nonton layar tancap," kata Yasin.

Belakangan baru ia sadari baha hal itu dilakukan PKI untuk mengalihkan perhatian warga sekitar dari pembunuhan-pembunuhan yang malam itu dilakukan PKI.

Kala itu, kata Yasin, sejumlah truk dan bus hilir mudik melintas masuk ke arah tempat yang sekarang menjadi Monumen Pancasila Sakti.

Namun, menurutnya, tidak ada satupun warga yang menaruh curiga karena sudah larut dalam acara kesenian.

"Rumah saat itu sangat jarang dan kebanyakan masih pohon karet sehingga warga tidak mengetahui pasti apa yang terjadi," tuturnya.

Sampai akhirnya terbongkar penemuan mayat tujuh jenderal di dalam sebuah sumur.

"Setelah ditemukan baru sadar kalau pas waktu saya sama warga di sini nonton layar tancap dan reog," ucapnya.

Yasin baru menyadari bahwa tronton yang melintas kemungkinan membawa mayat para pahlawan.

"Soalnya ramai tuh tentara pakaian lengkap dan bawa senjata," ujarnya.

Budayawan sekaligus politisi, Fadli Zon, mengatakan PKI memiliki akar komunisme yang panjang. Mereka cenderung memperjuangkan ideologi menjadi sebuah bangsa dan negara.

"G30S/PKI merupakan persoalan yang cukup ideologis dan mungkin konfliknya bukan satu kali tapi berkali-kali," ucapnya.

PKI, ujar Fadli, tak hanya sekali berupaya menggulingkan pemerintahan yang sah. "Pada 1948, mereka melakukan kudeta di Madiun tapi gagal. Tahun 1965 mereka melakukannya lagi, tapi kembali gagal," ujarnya.

Namun, kata Fadli, jika berbicara tentang pertarungan 1965, bisa dilihat bahwa PKI sangat kuat.

"Ini menunjukkan bahwa setelah kudeta 1948 gagal, bahkan tokoh kuncinya dieksekusi, mereka bisa bangkit dan keluar sebagai partai keempat terbesar saat itu," tutur Fadli.

Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya SJ, mengatakan sejarah pemberontakan G30S/PKI tahun 1965 adalah sesuatu yang tidak boleh dilupakan.

Ia menguitip ucapan Presiden pertama RI, Soekarno, tentang 'Jas Merah' atau jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Artinya, ujar Baskara, sejarahlah yang mendefinisikan manusia sebagai manusia.

"Sehebat-hebatnya pohon, dia tidak tahu sejarahnya," ujarnya.

Sejarah juga penting karena membantu manusia untuk memiliki wawasan yang lebih luas. Apa yang terjadi pada masa lalu, menurut Baskara, sudah selesai.

"Namun, dari yang sudah selesai itulah kita semua belajar untuk membangun sesuatu untuk sekarang dan ke depan," ujarnya. (*)

Baca Juga

Komentar