Eks Bos WHO Minta Karantina RI Diperpanjang Jika Covid Melonjak Lagi

Tjandra juga menyebut, sejumlah negara seperti Thailand sudah tidak memberlakukan masa karantina perjalanan internasional. Namun ia tetap meminta pemerintah untuk memberlakukan masa karantina, lantaran periode itu sangat penting untuk mengetahui fase penularan pelaku perjalanan selama dalam masa inkubasi virus.
"Di dalam dunia kesehatan tidak ada kata ideal, semua faktor harus ditimbang. Kalau rata-rata karantina 5-6 hari, apakah itu ideal? belum tentu juga, karena ada kasus terpapar setelah masa itu, bahkan ada yang lebih lama lagi," jelasnya.
Tjandra juga masih memaklumi kebijakan Indonesia saat ini lantaran aturan pemangkasan masa karantina menjadi 3 x 24 jam itu hanya berlaku bagi pelaku perjalanan yang sudah mendapatkan vaksin covid-19 dua dosis. Sementara pelaku yang baru menerima satu dosis vaksin tetap melakukan karantina 5 x 24 jam.
Adapun tercatat, riwayat pemberlakuan masa karantina di Indonesia mulai dari 14 hari, kemudian dipangkas menjadi 8 hari, lalu 5 hari, dan teranyar 3 hari.
"Lewat vaksinasi kita berharap memang memberikan proteksi baik dari sakit berat ataupun meninggal dunia. Jadi vaksinasi peranannya memang sangat besar dalam mengendalikan covid-19 saat ini," kata dia.
Lihat Juga :

Ancaman Varian AY.4.2
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini juga mewanti-wanti kepada pemerintah untuk terus memperkuat screening di pintu masuk Indonesia lantaran Indonesia berpotensi 'diserang' varian AY.4.2 atau yang disebut varian Delta Plus yang terkini sudah teridentifikasi di negara tetangga, Singapura.
Tjandra menyebut, dari data dari GISAID yang mengkompilasi genome berbagai jenis virus Delta menunjukkan sudah ada 26.000 genom AY.4.2. yang dilaporkan. Varian ini sudah dilaporkan ditemukan di 42 negara.
Ia menjelaskan, apabila berbicara mengenai varian maka ada lima aspek yang diperhatikan secara khusus. Yakni pada penularan, beratnya penyakit, kemungkinan infeksi ulang, dampak pada diagnosis, dan dampak pada vaksin.
Untuk AY.4.2. ini Tjandra menyebut data-datanya masih sangat awal dan bukti ilmiahnya masih terus dikumpulkan oleh sejumlah peneliti dunia. Ia menambahkan, data dari Inggris menunjukkan penularan lanjutan varian Delta lama yang diteliti adalah 11 persen, sementara angkanya pada AY.4.2. meningkat menjadi 12,4 persen.
"Dari lima kemungkinan dampak, baru ada informasi tentang penularan, yaitu bahwa AY.4.2. nampaknya sekitar 10 persen sampai 15 persen lebih menular," jelas Tjandra.
Lihat Juga :

Melihat potensi ancaman itu, Tjandra membeberkan sejumlah aspek yang perlu ditanggapi dan dilakukan secara serius oleh pemerintah. Pertama, adalah pembatasan sosial lewat PPKM yang terus dipantau penerapannya di lapangan.
Kedua adalah dengan penguatan strategi testing, tracing, dan treatment (3T). Ketiga, penguatan pada sampel pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) untuk mendeteksi varian secara dini, dan keempat adalah program vaksinasi nasional.
Data di GISAID per 1 November 2021 menunjukkan bahwa Indonesia sudah mengirimkan 8350 sampel, sementara Singapura sudah mengirimkan 8970, Filipina mengirim 12.681. Sementara India jauh lebih tinggi lagi karena sudah mengirim 72.325 WGS ke GISAID.
"Tentu tidak terlalu tepat juga kalau membandingkan dengan negara maju, tetapi Amerika Serikat memang sudah memasukkan 1.466.011 WGS sampel ke GISAID dan Inggris sudah mengirimkan 1.109.311 sampel," tuturnya.
Untuk itu, Tjandra meminta agar pemerintah benar-benar serius dan agar tidak kecolongan dalam menghadapi potensi varian-varian baru yang perkembangannya sangat fluktuatif dengan karakteristiknya yang bermacam-macam hingga memberikan dampak yang lebih serius.
"Jadi kembali ke masa karantina, meskipun sudah selesai karantina baik itu 3 hari ataupun 5 hari. Terus dipantau dalam radar kesehatan selama 14 hari, tidak perlu diperiksa tapi dipatau terus dan petugas proaktif menanyakan keluhan, keadaan, dan sebagainya kepada pelaku perjalanan luar negeri itu," pungka Tjandra.
Lihat Juga :

Tidak ada komentar:
Posting Komentar