Sebarkan Teror, Apakah Klitih di Jogja Bisa Disebut Aksi Terorisme?
Konten Media Partner
Baca berita bebas iklan lewat aplikasi
Install
Aksi kejahatan jalanan atau klitih yang dilakukan mayoritas oleh para remaja kembali marak di Jogja dalam sepekan terakhir. Aksi ini telah menyebarkan teror ketakutan yang luas kepada masyarakat, terutama untuk keluar pada malam hari. Tapi, apakah aksi kejahatan ini bisa dikategorikan sebagai aksi terorisme?
Kriminolog yang juga Guru Besar di Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro, mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan klitih memang telah menyebarkan teror di tengah masyarakat. Sebab, aksi tersebut telah membuat masyarakat di Jogja takut untuk keluar rumah pada malam hari, mengingat target kejahatan klitih sangat acak, tak ada yang dituju secara spesifik. Siapa yang mereka temui di jalan, itu yang mereka sikat.
“Memang, klitih itu dampaknya terrorize ya, menyebabkan teror,” kata Koentjoro ketika dihubungi, Kamis (30/12).
Namun, menurutnya aksi kejahatan tersebut belum bisa dikatakan sebagai aksi terorisme. Pasalnya, dalam aksi kejahatan terorisme selalu memiliki motif ideologi, misalnya karena keyakinan seseorang pada ajaran agama tertentu atau karena ada upaya makar dari ideologi yang ada.
“Kalau klitih ini kan tidak ada motif ideologinya, sehingga belum bisa disebut sebagai aksi terorisme meskipun dampaknya menyebarkan teror,” lanjutnya.

Adapun tujuan dari aksi kejahatan klitih yang banyak disinggung adalah soal eksistensi sang pelaku. Misalnya supaya dia diakui oleh seniornya, atau saling unjuk keberanian antargeng. Karena itu, semua pihak, termasuk media, menurutnya perlu sangat berhati-hati dalam menyikapi aksi kejahatan ini. Jangan sampai respons yang diberikan justru malah memberikan kepuasan untuk mereka sehingga mereka akan terus mengulangi aksinya lagi.
“Jangan sampai nanti kalau masuk koran justru bikin mereka makin puas, bikin mereka makin berani, jadi kita juga harus sangat berhati-hati dalam memberitakannya,” ujarnya.
Kejahatan jalanan klitih, menurutnya merupakan kejahatan yang spesifik terjadi di Jogja, dan seolah bersifat endemik di Jogja. Di daerah lain, kasus kejahatan jalanan dengan modus serupa juga belum pernah ditemui, meskipun ada beberapa yang mirip seperti aksi tawuran pelajar. Namun, tawuran dilakukan antargeng, jelas siapa target dan lawannya, sedangkan klitih menyasar korbannya secara acak.
Ada juga kasus begal yang modusnya mirip, namun tujuan utama dari aksi begal adalah untuk merampas harta benda korbannya. Sedangkan aksi kejahatan klitih, hanya melukai korbannya, lalu pergi begitu saja. Karena itu, untuk mengatasi masalah klitih ini menurutnya juga perlu dipetakan dulu akar sebabnya, tak bisa dengan cara-cara parsial oleh satu atau dua pihak saja.
“Karena karakternya berbeda (dengan kejahatan lain), maka harus semua pihak harus duduk bersama memetakan penanganan yang paling tepat,” kata Koentjoro.
Sayangnya, menurut dia selama ini pemerintah belum menyelesaikan permasalahan ini secara menyeluruh dari akarnya. Akibatnya, kejahatan jalanan ini tak bisa diselesaikan selama bertahun-tahun. Hal ini sebenarnya juga sering disinggung oleh pemerintah, namun menurutnya sampai sekarang belum ada langkah yang nyata.
“Apanya yang komprehensif? Nyatanya klitih masih banyak, dan selama ini fokusnya hanya penanganan oleh kepolisian, bukan pencegahan,” ujarnya.
Penyelesaian ini menurut dia perlu ditangani oleh kelompok masyarakat paling kecil, dari keluarga sampai RT/RW. Sebab, akar permasalahan klitih menurutnya memang lahir dari kondisi keluarga dan lingkungan terdekat yang tidak sehat.
“Yang paling penting justru keluarga dan RT atau RW, jadi bagaimana pemerintah duduk bersama mereka dan menggerakkan mereka. Jangan hanya jadi tugas kepolisian saja,” kata Koentjoro.
Apalagi perangkat hukum yang ada saat ini juga sangat terbatas, sehingga membuat pihak kepolisian tidak bisa maksimal dalam memberikan hukuman yang dapat menciptakan efek jera. Misalnya, aturan tentang hukuman pelaku kejahatan yang masih di bawah umur, dimana hukumannya hanya berupa pembinaan dan pengembalian ke orangtua. Padahal, di sisi lain mayoritas pelaku kejahatan klitih adalah para remaja di bawah umur sehingga seringkali lepas dari jeratan pidana.

Hal serupa juga disampaikan oleh Wakapolda DIY, Brigjen Pol R Slamet Santosa. Kepada awak media, Slamet mengatakan bahwa penanganan klitih harus diselesaikan secara komprehensif, bukan hanya jadi tugas kepolisian saja. Meski begitu, Slamet mengaku telah mengadakan rapat bersama jajarannya untuk mengatasi masalah ini, mulai dari penangkalan, pencegahan, hingga penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan klitih.
Misalnya sebagai upaya pencegahan, kepolisian menurutnya akan melakukan pembinaan dan penyuluhan sampai di tingkat desa.
“Dari data para pelaku itu kita sudah memiliki data di mana dia sekolah, alamatnya di mana rumahnya, itulah kita kasih pembinaan dan penyuluhan kepada para orangtua,” ujar Slamet kepada awak media dikutip dari KumparanNews, Rabu (29/12).
Salah satu yang akan jadi isu utama dalam penanganan kasus ini menurutnya adalah terkait dengan kepemilikan sepeda motor. Sebab, banyak orangtua yang membelikan anak-anak mereka sepeda motor padahal belum cukup umur. Di sisi lain, sepeda motor adalah alat utama para pelaku kejahatan klitih melancarkan aksinya.
“Orangtua selama dia (anak) belum cukup umur kemudian dia dibelikan sepeda motor untuk sekolah, lha itu akan berdampak ke sana (tindak kejahatan),” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar