Ibu Kota Negara Bernama Nusantara, Ini Pendapat Sejarawan UGM By MSN - Opsiin

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Ibu Kota Negara Bernama Nusantara, Ini Pendapat Sejarawan UGM By MSN

Share This

 

Ibu Kota Negara Bernama Nusantara, Ini Pendapat Sejarawan UGM

By
MSN
2 min
© Copyright
© Copyright

TEMPO.COJakarta - Pemerintah secara resmi menjadikan Nusantara sebagai nama calon ibu kota negara baru yang terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Penamaan tersebut dengan alasan Nusantara merupakan nama yang menggambarkan keseluruhan Indonesia.

Menurut Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Akhyat, kata Nusantara yang telah dikenal sejak masa kerajaan Singosari dan Majapahit sebenarnya digunakan untuk menyebut wilayah luar Pulau Jawa, termasuk wilayah yang kini jadi negara tetangga. “Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yang sekarang disebut Indonesia. Nusantara bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa,” kata Arif seperti dikutip Tempo dari laman ugm.ac.id, Rabu, 19 Januari 2021.

Secara historis, kata dia, Nusantara dibedakan dengan dvipantara, yakni dvipa yang artinya Jawa. Konsep Nusantara pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi wilayah luar Jawa, yaitu meliputi Bali, Melayu, Madura dan Tanjungpura, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, Lombok, Timor, dan bahkan termasuk wilayah negara Singapura, Malaysia, Champa, Cambodia, Annam, dan Siam.

Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM ini berpendapat, penggunaan Nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung pandangan negatif atau positif. Sebab, menurut dia, pemindahan ibu kota negara yang baru bukanlah soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis secara komprehensif dan multidisipliner. “Jangan sampai pemindahan IKN (ibu kota negara) hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,” kata dia.

Menurut dia, persoalan perpindahan ibu kota negara bukan sekadar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan. Selain itu, kata dia, kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan ibu kota jangan sampai ahistoris dan bersifat politis.

Kendati tidak masalah, dia berpendapat, sebaiknya nama ibu kota negara merujuk pada nama wilayah tersebut sebelumnya. Sebab, perubahan nama ini akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang telah tinggal sebelumnya. “Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi ibu kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu,” kata dia.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages