Karyawan Resign Tak Dapat JKP and JHT, Mayoritas Buruh Klaim JHT Rp 7,5 Juta Masa Kerja 3-4 Tahun By MSN
Karyawan Resign Tak Dapat JKP and JHT, Mayoritas Buruh Klaim JHT Rp 7,5 Juta Masa Kerja 3-4 Tahun
TRIBUN-BALI.COM – Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja Dita Indah Sari menjawab pertanyaan terkait apakah karyawan yang mengajukan pengunduran diri atau resign bisa mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Jaminan Hari Tua (JHT) tidak?.
Menurut Dita, mengacu kepada Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 bagi karyawan yang mengajukan resign atau pengunduran diri tidak mendapatkan JKP dan JHT jika belum memasuki usia pensiun 56 tahun.
Lebih lanjut, Dita mengungkapkan, secara filosofis karyawan yang mengundurkan diri dari pekerjaan harusnya mencari pekerjaan lain ataupun pindah kantor.
Lalu, bagaimana jika ternyata ada karyawan memutuskan resign untuk beralih profesi dari pekerja kantoran menjadi pengusaha?
"Nah yang mengundurkan diri tidak dapat JKP, tidak dapat JHT juga. Padahal, misal dia mau buka usaha? Kan ada anggaran bansos dari pemerintah," ujar Dita saat diskusi virtual, Selasa 15 Februari 2022.
Menurut Dita, tujuan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 untuk mengembalikan fungsi JHT pada dasarnya sesuai Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004.
"Jadi dalam UU itu di pasal 35 dan pasal 36 disampaikan bahwa JHT dibayar saat pekerja usia pensiun. Usia pensiun berapa? Diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2015 yakni usia 56 tahun," katanya dikutip Tribun-Bali.com dari Tribunnews.com pada Rabu 16 Februari 2022 dalam artikel berjudul Stafsus Menaker Sebut Karyawan Resign Tidak Dapat JKP dan JHT.
Namun, saat itu juga keluar Permenaker Nomor 16 Tahun 2015, di mana membolehkan dana JHT tidak diambil di usia 56 tahun.
"Bisa diambil satu bulan setelah di PHK. Kenapa waktu itu boleh? Karena banyak kena PHK, banyak mengeluh tidak dapat pesangon, waktu itu belum ada JKP," pungkas Dita.
Mayoritas Klaim JHT Rp 7,5 Juta Per Buruh
Masih dalam diskusi virtual, Stafsus Kemenaker, Dita pun menjelaskan jika 66 persen klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan nilainya kurang dari Rp 10 juta per pekerja atau tepatnya rata-rata Rp 7,5 juta per pekerja dengan masa kerja 3 tahun hingga 4 tahun.
Dita mengatakan, jumlah tersebut masih lebih kecil dibanding dana Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan gaji sama yakni sekitar Rp 5 juta per bulan.
"Kalau gaji Rp 5 juta dapat JKP Rp 10,5 juta selama 6 bulan. Hanya sekali saja dapat? Bisa 3 kali jika kena PHK lagi," ujarnya dikutip Tribun-Bali.com dari Tribunnews.com pada Rabu 16 Februari 2022 dalam artikel berjudul Stafsus Menaker: Mayoritas Klaim JHT Rp 7,5 Juta Per Buruh dengan Masa Kerja 3-4 Tahun.
Sedangkan, jika ada karyawan kena PHK sampai 4 kali, maka yang bersangkutan tidak bisa lagi mengklaim dana JKP tersebut.
"Kalau sudah 4 kali PHK tidak dapat lagi, ya sudah kelewatan PHK-nya. Kalau 3 kali PHK totalnya Rp 31,5 juta, itu kalau mau dibandingkan dengan rata-rata klaim JHT (Rp 7,5 juta)" kata Dita.
Dia menambahkan, JKP ini program tambahan baru, di mana bertujuan supaya tidak ada penumpukan dari manfaat jaminan sosial yang ada.
"Karena itu, JHT dikembalikan ke prinsipnya yaitu sebagai jaminan hari tua, diambil saat usia 56 tahun. Namun, bisa juga diambil pada 10 tahun setelah mengiur, tapi dalam jumlah terbatas," pungkasnya.
ASPEK Minta Permenaker Nomor 2/2022 Dibatalkan
Menanggapi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang tata cara dan persyaratan Pembayaran Program JHT yang baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun, dengan terbitnya aturan tersebut, maka Permenaker 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 tahun 2015, sesungguhnya telah sesuai dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.
“Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015, setiap pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih apakah akan mencairkan manfaat JHT pada saat berhenti bekerja, atau pada saat memasuki usia pensiun,” kata Mirah dalam keterangan tertulisnya dikutip Tribun-Bali.com dari Kontan.co.id pada Rabu 16 Februari 2022 dalam artikel berjudul Serikat Pekerja Tetap Minta Permenaker Nomor 2/2022 Tentang JHT Dibatalkan.
Menurut Mirah, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 sesungguhnya tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004, dengan pertimbangan.
Yakni pada Pasal 1 ayat 8; Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Pasal 1 ayat 9; Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 1 ayat 10; Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU No 40 Tahun 2004 di atas, tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Peserta’ adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
“Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK) tidak lagi masuk dalam kategori ‘peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT,” terang Mirah.
Mirah mengatakan, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.
“Dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari Pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk Pemerintah “menahan” dana JHT dimaksud,” ujar Mirah.
Mirah menuturkan, kondisi faktual saat ini, banyak korban PHK dengan berbagai penyebab, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.
Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan.
Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya. Berdasarkan pertimbangan di atas, Aspek Indonesia menilai tidak ada alasan yang mendasar untuk menunda pembayaran JHT sampai usia 56 tahun, bagi pekerja yang mengundurkan diri maupun terkena PHK.
“Perubahan persyaratan klaim JHT, yang hanya dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun, sangat mencederai rasa keadilan bagi pekerja yang menginginkan untuk mencairkan Jaminan Hari Tua setelah mengundurkan diri atau setelah PHK,” imbuh Mirah.
(*)
tranpaciwo Natalie White https://wakelet.com/wake/esjJHeAoMG-DAkTPxRALY
BalasHapusfidniginnoa
contflamZlamo Wendy Young https://www.transcendencehypnotherapyandmeditation.com/profile/benishbenishmarcello/profile
BalasHapusjoisturellei