Apa Itu No Fly Zone? Permintaan Zelensky Kepada Biden dan NATO yang Tak Kunjung Dikabulkan - Tribunkaltim.co
Penulis: Nadia Firdaus | Editor: Nadia Firdaus
The New York Times
TRIBUNKALTIM.CO - Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky mengungkapkan permintaannya akan deklarasi No Fly Zone kepada presiden Amerika, Joe Biden, dan NATO.
Namun permintaan delarasi No Fly Zone yang sudah diminta sejak minggu pertama it tak kunjung dikabulkan oleh kedua aliansi Zelensky itu.
Mengingat perang Rusia dan Ukraina hingga kini tak kunjung reda dan makin banyak memakan korban jiwa, Zelensky cukup sering mendesak tentang larangan terbang ini.
Namun hingga memasuki minggu ke dua krisis, permintaan itu masih saja tak diindahkan baik oleh Biden maupun NATO.
Lantas, apa sih, No Fly Zone itu?
Untuk diketahui, No Fly Zone berarti zona larangan terbang.
Zona larangan terbang akan melarang semua pesawat yang tidak sah terbang di atas negara yang telah mendeklarasikan No Fly Zone itu.
Negara-negara Barat memberlakukan pembatasan semacam itu di beberapa bagian Irak selama lebih dari satu dekade.
Seperti setelah Perang Teluk 1991, selama perang saudara di Bosnia dan Herzegovina dari 1993-95, dan selama perang saudara Libya pada 2011.
Lalu sebagai aliansi, mengapa NATO dan Amerika tak melakukan hal serupa untuk Ukraina?
Mengutip dari Dailymail.co.uk, hal itu masih tak diberikan kepada Ukraina karena akan berisiko konflik militer langsung dengan Rusia.
Konflik militer langsung ini dapat meningkat menjadi perang Eropa yang lebih luas dengan negara bersenjata nuklir lainnya.
Gagasan itu mungkin telah menangkap imajinasi publik, dengan mendeklarasikan zona larangan terbang dapat memaksa pilot NATO untuk menembak jatuh pesawat Rusia.
Tapi sebenarnya lebih dari itu.
Selain pesawat tempur, NATO harus mengerahkan tanker pengisian bahan bakar.
Tak hanya itu, mereka juga harus mengerahkan pesawat pengintai elektronik untuk mendukung misi tersebut.
Untuk melindungi pesawat yang relatif lambat dan terbang tinggi ini, NATO harus menghancurkan baterai rudal permukaan-ke-udara di Rusia dan Belarusia.
Sekali lagi, hal ini akan mempertaruhkan konflik yang lebih luas.
"Satu-satunya cara untuk menerapkan zona larangan terbang adalah mengirim pesawat tempur NATO ke wilayah udara Ukraina, dan kemudian memberlakukan zona larangan terbang itu dengan menembak jatuh pesawat Rusia," kata Sekretaris NATO Jens Stoltenberg, pada hari Jumat (4/3/2022).
Stoltenberg juga mengatakan bahwa dirinya memahami keputusasaaan yang sedang dirasakan oleh Ukraina.
Namun sebagai Sekertaris NATO, dirinya yakin akan konsekuensi untuk membangunkan perang diseluruh eropa jika menurunkan zona larangan terbang.
Walaupun begitu, mereka sadar bahwa sebagai aliansi NATO, mereka memiliki tanggung jawab untuk mencegah perang dua negara ini untuk melebar keluar Ukraina.
Apa yang akan didapatkan jika No Fly Zone diterapkan?
Pihak berwenang Ukraina mengatakan zona larangan terbang akan melindungi warga sipil dari serangan udara Rusia.
Tak hanya warga sipil, No Fly Zone juga akan melindungi pembangkit listrik tenaga nuklir yang ada di Ukraina.
Tetapi para analis mengatakan bahwa pasukan darat Rusia, bukan pesawat, yang menyebabkan sebagian besar kerusakan di Ukraina.
Apa yang sebenarnya diinginkan Ukraina adalah intervensi yang lebih luas seperti yang terjadi di Libya pada 2011.
Seperti saat pasukan NATO melancarkan serangan terhadap posisi pemerintah, kata Justin Bronk, seorang peneliti di Royal United Services Institute di London.
Itu tidak mungkin terjadi ketika lawannya adalah Rusia.
"Mereka ingin melihat jenis Barat menyapu dan mengeluarkan artileri roket yang menghantam kota-kota Ukraina," kata Bronk.
"Kami tidak akan berperang melawan tentara Rusia. Mereka adalah kekuatan besar bersenjata nuklir. Tidak mungkin kita bisa membuat model, apalagi mengendalikan, rantai eskalasi yang akan datang dari tindakan seperti itu."
Jika begini, apa yang akan terjadi di langit Ukraina?
Prediksi bahwa Rusia akan segera menguasai langit di atas Ukraina belum membuahkan hasil.
Pakar militer bertanya-tanya mengapa Rusia memilih untuk meninggalkan sebagian besar pesawat tempur sayap tetapnya di darat selama serangan darat besar-besaran ini.
Satu penjelasan mungkin bahwa pilot Rusia tidak terlatih dengan baik dalam mendukung operasi darat skala besar.
Dan juga keterlibatan yang memerlukan koordinasi dengan artileri, helikopter, dan aset lainnya di lingkungan yang bergerak cepat.
"Saya pikir mungkin mereka sedikit khawatir bahwa itu adalah area yang sangat terbatas. Ini tidak seperti Timur Tengah, di mana ada segala macam ruang untuk berkeliaran di udara," kata Robert Latif, pensiunan mayor jenderal Angkatan Udara AS yang sekarang mengajar di Universitas Notre Dame.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar