Duta Besar Ukraina Marahi Presiden Jokowi di Jakarta, Indonesia Dituding Buat Kompromi Memalukan - Halaman all
Editor: Frans Krowin

POS-KUPANG.COM - Duta Besar Ukraina untuk Indonesia dikabarkan marah atas sikap Presiden Jokowi yang tak tegas merespon invasi Rusia ke Ukraina.
Sang Duta Besar itu pun melayangkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Dalam surat tersebut ia melontarkan kritikan tajam pada Indonesia.
Kritikan itu disoroti karena Indonesia menolak memberikan sanksi pada Rusia atas agresi militer yang diperintahkan Presiden Vladimir Putin.
Penolakan sanksi oleh Indonesia itu mendapat respon samar lainnya pada aksi Rusia
Bahkan Duta Besar Ukraina untuk Indonesia itu menyebut Indonesia kini telah membangun kompromi yang busuk.
Untuk diketahui, pada Oktober 2022 mendatang, Indonesia menjadi tuan rumah pelaksaan KTT G20.
Untuk momen itulah saat ini Indonesia sedang melakukan berbagai persiapan di lokasi berlangsungnya acara tersebut.
Panji berwarna maroon bertuliskan slogan "Pulihkan Bersama, Pulihkan Lebih Kuat" berjejer di bilangan jalan bebas hambatan.
Slogan-slogan itu dideretkan pada ruas jalan yang akan membawa para pemimpin dan delegasi dunia itu dari bandara Bali menuju Nusa Dua, tempat KTT G20 itu diselenggarakan.
Sementara pemandangan lainnya memperlihatkan para kru sibuk mendandani rute tersebut.
Apa yang dilakukan kru tersebut sama seperti yang dilakukan untuk konferensi World Bank-IMF, beberapa tahun lalu.
Melansir Asia Times, semua persiapan itu dilakukan Indonesia dengan baik. Sebab agenda KTT G20 semakin dekat.
Meski jadwalnya masih 7 bulan lagi, tapi Presiden Jokowi menginginkan agar semuanya harus disiapkan mulai sekarang.
Sebab KTT G20 dianggap sebagai kemajuan negara dan tonggak sejarah pada masa kepemimpinannya.
Namun fakta di dunia internasional saat ini memperlihatkan dua hal yang sangat kontras antara satu sama lain.
Fakta kontras itu, adalah di satu sisi Indonesia sibuk mendandani tempat yang akan dilangsungkan acara KTT G20.
Sementara di sisi lain, Rusia gencar melakukan invasi ke Ukraina. Dan, Indonesia tak memperlihat sikap pro kemanusiaan atas peperangan itu.
Ketika seluruh dunia mengecam dan mengutuk tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin atas agresi milter tersebut, Indonesia justeru memilih diam.
Sikap Indonesia tersebut tentunya memperlihatkan Presiden Jokowi seakan berada di persimpangan jalan.
Pasalnya, negara-negara yang ikut dalam KTT G20 itu, satu di antaranya adalah Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Selain itu, akan hadir pula Presiden AS (Amerika Serikat) Joe Biden. Disinilah letak persoalannya.
Jika Presiden Jokowi mengundan Vladimir Putin, maka secara otomatis Presiden Joe Biden bersama 15 pemimpin negara lainnya tentu tak akan mungkin hadir.

Kepala-kepala negara tersebut bisa dipastikan memilih untuk tidak datang. Karena mereka tak suka berada satu ruangan dengan pemimpin yang dianggap sebagai penjahat perang.
Berikutnya, jika KTT itu tanpa Putin dan delegasi Rusia, maka akan ada kemungkinan China dan India memboikot pertemuan itu.
Baik China maupun India adalah dua dari 23 negara yang abstain dalam pemungutan suara di PBB terkait pengecaman terhadap Rusia atas serangannya ke Ukraina.
Atas fakta itulah sehingga saat ini Presiden Jokowi tetap memilih bersikap netral terhadap serangan Rusia ke Ukraina.
Sikap Presiden Jokowi itulah yang diduga memicu kemarahan Duta Besar Ukraina untuk Indonesia hingga melontarkan pernyataan yang kontraproduktif.
Padahal sikap netral Indonesia itu didasari pada sikap politik luar negeri Indonesia yakni bebas dan aktif.
Hal itu selaras pula dengan pernyataan Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa Indonesia berada di posisi netral dalam konflik Rusia vs Ukraina.
Meski demikian, Indonesia terus mendorong untuk segera dilakukan dialog demi terwujudnya perdamaian dunia.
Namun hal lain yang melatari sikap Presiden Jokowi tak memberikan sanksi pada Rusia, adalah kerja sama antar kedua negara.
Kerja sama itu, yakni pembangunan kilang minyak senilai USD 1,4 miliar di pantai utara Jawa oleh Pertamina dan raksasa energi Rusia, Rosneft.
Rosneft juga terlibat dengan Premier Oil dalam penemuan gas alam baru di Laut Natuna Utara.
"Kami tidak akan secara buta mengikuti langkah yang diambil negara lain," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah.
"Kami akan membuat keputusan berdasarkan kepentingan lokal dan apakah sanksi akan menyelesaikan apapun. Kami melihat waktu dan sekali lagi sanksi tidak berarti penyelesaian masalah tertentu."
Beberapa hal akan mencapai puncaknya pada pertemuan menteri-menteri luar negeri yang dijadwalkan yaitu G20 pada Juni nanti, dengan sebagian besar partisipan diharapkan menolak kehadiran delegasi Rusia.
Saat itu, Putin mungkin bisa menyelamatkan Jokowi dengan menolak hadir juga.
Pertama kalinya sejak ia menjadi presiden tahun 2012, pemimpin Rusia itu memang menjauh dari G20 terakhir di Roma, seolah-olah karena pandemi Covid-19, yang tampaknya menjelaskan preferensi berkelanjutannya untuk meja rapat yang panjang.
Dia mengirim Menteri Keuangan Anton Siluanov sebagai gantinya.
Apa pun yang terjadi di Bali, ada preseden untuk menolak kursi Putin di KTT.
Pada tahun 2014, forum politik G8 yang asli menangguhkan Moskow setelah aneksasi Krimea.
Pada 2017, Kremlin mengumumkan penarikan permanen dari pengelompokan itu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar