PBB Hapus Ganja dari Daftar Narkotika, Penggunaan untuk Pengobatan Terbuka Lebar - Halaman all
Penulis: Sri Handriyatmo Malau
Editor: Yaspen Martinus

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menghapus ganja dari daftar narkotika atau obat terlarang paling berbahaya di dunia, Rabu (2/12/2020) waktu setempat.
Keputusan ini sangat mengantisipasi dan membuka jalan untuk perluasan penelitian ganja dan penggunaan medisnya.
Keputusan itu terjadi usai pemungutan suara oleh Komisi PBB untuk Obat Narkotika, yang berbasis di Wina, dan mencakup 53 negara anggota.
New York Times, Kamis (3/12/2020) melaporkan, keputusan ini telah mempertimbangkan serangkaian rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang reklasifikasi ganja dan turunannya.
Para ahli mengatakan, pemungutan suara tidak akan berdampak langsung pada pelonggaran kontrol internasional.
Karena, pemerintah masih akan memiliki yurisdiksi tentang cara mengklasifikasikan ganja.
Namun, banyak negara melihat konvensi global ini sebagai pedoman dan pengakuan PBB sebagai kemenangan simbolis bagi para pendukung perubahan kebijakan narkoba, yang mengatakan hukum internasional sudah kedaluwarsa atau ketinggalan zaman.
"Ini adalah kemenangan bersejarah yang sangat besar bagi kami."
"Kami tidak bisa berharap lebih," kata Kenzi Riboulet-Zemouli, peneliti independen untuk kebijakan narkoba.
Dia mengatakan, ganja telah digunakan sepanjang sejarah untuk tujuan pengobatan, dan keputusan ini mengembalikan status itu untuk digunakan dalam dunia medis.
Perubahan ini kemungkinan besar akan memperkuat penelitian medis dan upaya legalisasi di seluruh dunia.
Pemungutan suara ini adalah "langkah besar ke depan," dan mengakui dampak positif ganja pada pasien, menurut Dirk Heitepriem, Wakil Presiden di Canopy Growth, sebuah perusahaan berbasis di Kanada.
"Kami berharap ini akan memberdayakan lebih banyak negara untuk menciptakan kerangka kerja, yang memungkinkan pasien yang membutuhkan untuk mendapatkan akses ke pengobatan."
Gugat ke MK
Institute for Criminal Justice and Reform (ICJR) bersama LBH Masyarakat, Rumah Cemara, dan ICJS, akan mengajukan uji materi terkait status ganja di UU 35/2009 tentang Narkotika (UU Narkotika)
Upaya pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dilakukan karena ada ketidaksesuaian pemanfatan ganja di UU Narkotika.
Direktur ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, pihaknya akan menguji Pasal 8 dan penjelasan Pasal 6 UU Narkotika.
"Yang, kami uji itu terkait pelarangan narkotika golongan satu untuk layanan kesehatan."
"Kami benturkan dengan hak warga negara mendapatkan kesehatan," kata dia saat dihubungi, Senin (10/2/2020).
Di ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika disebutkan "Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan."
Sedangkan, di Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika disebutkan "Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi."
"Dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan."
Di Pasal 6 Ayat (1) huruf a disebutkan "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan."
"Dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan".
Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika menyebutkan, Narkotika Golongan I adalah: opium mentah, tanaman koka, dan daun koka.
Lalu, kokain mentah, heroina, metamfetamina, dan tanaman ganja.
Menurut Erasmus, alasan pengajuan uji materi itu murni karena faktor kesehatan.
Dia melihat, Narkotika Golongan I, utamanya ganja, dapat digunakan untuk kesehatan.
"Kami melihat narkotika golongan I nyata-nyata bisa digunakan untuk pelayanan kesehatan."
"Ganja paling menyita perhatian," ujarnya.
Dia mengaku permohonan uji materi itu akan diajukan paling lama pada Maret 2020.
Usul Ekspor Ganja
Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rafli, mengusulkan ganja diekspor.
Rafli mengatakan, ganja menjadi komoditas ekspor yang bagus di pasar internasional.
Hal tersebut ia sampaikan dalam rapat kerja Komisi VI DPR bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Kamis (30/1/2020).
"Jadi pak, ganja ini bagaimana kita jadikan komoditas ekspor yang bagus," kata Rafli di Ruang Rapat Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta.
Rafli menyebut tanaman ganja tidak berbahaya dan bisa dimanfaatkan sebagai obat.
Ia pun bakal menyediakan lahan untuk ditanami ganja, jika usulannya diterima.
Politikus PKS asal Aceh ini berujar, tanaman ganja bisa tumbuh subur di daerahnya.
Atas usulannya itu, Rafli pun meminta anggota dewan agar lebih dinamis.
"Misalnya, ganja ini. Entah untuk kebutuhan farmasi atau apa saja jangan kaku lah, kita harus dinamis," ujarnya.
"Ganja ini tumbuhnya mudah di Aceh. Saya nanti siapkan lahannya segala macam," jelas Rafli.
Menurutnya, Indonesia belum berani melakukan eksperimen untuk dipandang oleh dunia internasional.
Sehingga, jika Indonesia akan melakukan ekspor ganja, negara luar akan menaruh perhatian pada Indonesia.
Tak hanya ganja, menurutnya, Indonesia bisa membuat pasar internasional terkesima dengan produk lainnya.
"Maksud saya Indonesia harus kita berikan performance yang membuat dunia itu terkesima, apa sajalah. Jadi seluruh produk," usul Rafli.
BNN Menolak
Badan Narkotika Nasional (BNN) menolak usulan ganja menjadi komoditas ekspor dari Indonesia.
BNN mengkhawatirkan ekspor ganja jadi pintu masuk legalisasi ganja di Indonesia.
Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono menyatakan, BNN juga keberatan jika ada pihak membandingkan kebijakan Indonesia dengan negara lain yang mulai melegalisasi ganja.
"BNN sebagai leading sector menolak kultivasi ganja untuk alasan ekspor dan lain-lain," ucap Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono.
Ia menegaskan, negara-negara yang melegalisasi ganja adalah negara yang mendapatkan tekanan bisnis dari pihak yang ia sebut bandar gelap.
"Hanya beberapa negara, karena tekanan bisnis dari banyak perusahaan dan bandar gelap ini jadi melewati batas moralitas dan lain-lain."
"Mereka kalau perlu homoseksual, perdagangan gelap manusia dan lain-lain itu dilegalkan," kata Pudjo kepada Tribunnews.com, Jumat (31/1/2020).
Namun, kata Pudjo, secara umum dunia internasional sepakat ganja termasuk salah satu jenis narkoba yang dilarang.
Bahkan, sitaan ganja di dunia ia sebut mencapai jutaan ton tiap tahunnya.
"Jangan sampai begitu kita memperbolehkan tanam ganja dan lain-lain, itu nanti turunannya nanti dianggap boleh."
"Hasil produksinya nanti malah dianggap boleh."
"Di dunia ini, tidak ada namanya WHO atau UNODC itu menyatakan ganja itu bukan narkoba," tegasnya.
Di sisi lain, ia juga membantah anggapan Rafli soal ganja yang bisa dijadikan obat.
Pudjo mengingatkan bahaya penggunaan ganja bagi tubuh manusia.
"Itu keliru (ganja jadi obat)."
"Orang saat menggunakan itu kan akan kehilangan persepsi ruang dan waktu, logika, moral juga hilang."
"Nah, itu nanti terjadi perkosaan dan lain-lain. Tidak bisa begitu saja. Mungkin nanti malah yang disalahkan pemerintah," bebernya.
"Dengan sudah dilarang aja seperti ini, apalagi dibebaskan."
"Kita melihat orang yang memakai ganja, begitu makai langsung nabrak apotek di Jakarta Selatan."
"Nah itu semua, kalau itu terjadi dikarenakan legalisasi dan lain-lain itu pasti tiap hari kita menghadapi bencana kematian dan lain-lain karena menggunakan ganja," paparnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar