Rusia Sebut Tentara Suriah Siap Bantu Perang Lawan Ukraina, Picu Keresahan Pakai Senjata Kimia
TRIBUNNEWS.COM - Saluran TV Kementerian Pertahanan Rusia, Zvezda, telah membagikan rekaman tentara Suriah yang disebut siap berperang di Ukraina.
Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu mengatakan Rusia mengetahui lebih dari 16.000 sukarelawan dari negara-negara di Timur Tengah.
Putin pun telah menyetujui membawa pejuang sukarelawan tersebut ke medan pertempurannya dengan Ukraina.
Presiden Rusia tersebut pun mengatakan kepada menteri pertahanannya untuk membantu para tentara sukarelawan tersebut siap ke zona pertempuran.
Dikutip Tribunnews dari Express.co.uk, Ajudan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Mykhailo Podolyak, bereaksi terhadap rencana Rusia untuk merekrut sukarelawan Suriah.
“Rusia mempekerjakan ISIS,” katanya.
Perekrutan warga Suriah telah memicu kekhawatiran soal pedoman Suriah yang dapat diluncurkan, mencakup penggunaan senjata kimia.
Dalam video yang beredar menunjukkan tentara mengacungkan bendera Rusia, bersama dengan poster Putin dan sekutunya Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Hussam Hammoud, seorang jurnalis Suriah, menunjukkan di Twitter bahwa tentara Tentara Suriah tersebut rela berperang membantu Rusia karena perintah militer resmi rezim Assad.
Ini bukan sukarela, tulisnya dalam unggahan twitter.
"Russian media agencies publish a video showing Syrians will participate in the #Russian invasion of #Ukraine. From the video, we can see that those Syrians are #SAA soldiers who will fight due to the official military orders of the #Assad regime. It's not volunteering."
"Agensi media Rusia mempublikasikan video yang menunjukkan warga Suriah akan berpartisipasi dalam invasi #Rusia ke #Ukraina.
Dari video tersebut, kita dapat melihat bahwa orang-orang Suriah itu adalah tentara #SAA yang akan berperang karena perintah militer resmi dari rezim #Assad. Ini bukan sukarela."
Apa Tuntutan Rusia untuk Akhiri Perang di Ukraina? Termasuk Soal Netralitas
Rusia telah membuat tuntutan kepada Ukraina, dan menjadi pertimbangan untuk menghentikan invasi ke Ukraina.
Seperti diketahui perang panas antara Rusia dan Ukraina masih terjadi, berawal dari serangan Rusia yang diluncurkan pada 24 Februari 2022 lalu.
Dikutip Tribunnews dari AS, Vladimir Putin disebut mengkhawatirkan keamanan atas niat Ukraina yang mencoba bergabung dengan NATO dan Uni Eropa.
Masalah ini pun diangkat kembali ketika perwakilan kedua negara bertemu di Belovezhskaya Pushcha, di perbatasan Polandia dan Belarusia.
Di mana pembicaraan awal mengenai kesepakatan damai, meskipun sejauh ini gagal membuahkan hasil pada isu-isu kunci, di antaranya koridor kemanusiaan untuk evakuasi warga sipil Ukraina.
Selain itu kedua belah pihak terus terlibat dalam negosiasi intens mengenai gencatan senjata dan jaminan keamanan.
Sebelum pertemuan diplomat Rusia dan Ukraina, beberapa tuntutan Kremlin bocor ke publik.
Pemerintah Putin telah menetapkan dua syarat untuk gencatan senjata sesegera mungkin, dan hal itu harus dipenuhi Ukraina.
Tuntutan tersebut yakni Ukraina menyerahkan Krimea, yang dianeksasi Rusia pada 2014.
Dan juga Ukraina harus mengakui kemerdekaan Luhansk dan Donetsk (wilayah separatis) dalam pembicaraan gencatan senjata.
Hal tersebut diperjelas oleh Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.
"Kami tidak mengambil Luhansk dan Donetsk dari Ukraina," kata Petrov kepada Reuters.
“Namun Luhansk dan Donetsk tidak ingin menjadi bagian dari Ukraina .”
“Ini tidak berarti mereka harus dihancurkan," imbuhnya.
Rusia ingin Konstitusi Ukraina digambar ulang
Namun, Rusia tidak berhenti pada tuntutannya atas Krimea dan wilayah separatis.
Kremlin juga telah menyatakan bahwa mereka ingin Konstitusi Ukraina ditulis ulang untuk menjamin netralitas negara antara NATO dan Moskow.
"Ukraina adalah negara merdeka dan dapat hidup sesuai keinginannya, tetapi dalam kondisi netralitas," kata Peskov.
Juru bicara Kremlin juga mengulangi permintaan yang dibuat oleh Putin selama akhir pekan bahwa sebelum Moskow akan mempertimbangkan penghentian serangannya sebagai pendahulu untuk penyelesaian yang dinegosiasikan, Ukraina harus meletakkan senjatanya.
"Kami benar-benar menyelesaikan demiliterisasi Ukraina. Kami akan menyelesaikannya. Tetapi yang utama adalah Ukraina menghentikan aksi militernya. Mereka harus menghentikan aksi militer mereka dan kemudian tidak ada yang akan menembak," katanya.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar