Ternyata Ini Biang Kerok Awal Mula Harga Migor 'Terbang'
Foto: Minyak goreng Fitri 1liter/ minyak tropical 1liter (Tangkapan layar Tokopedia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurang lebih empat bulan lamanya sejak harga minyak goreng melambung tinggi. Akan tetapi tampaknya belum ada jurus jitu untuk menstabilkan harganya. Pemerintah sempat berinisiatif menurunkan harga minyak goreng ke Rp 14.000/liter dengan skema harga eceran tertinggi (HET). Tapi ini malah menimbulkan masalah baru kelangkaan.
Ada berbagai sudut pandang mengenai kenapa harga minyak goreng mahal dan langka. Secara garis besar setidaknya ada 3 alasan yang diungkap ke publik, yaitu tingginya harga minyak kelapa sawit mentah (CPO), penyaluran bahan baku CPO untuk kepentingan pemanfaatan biodiesel B30, masalah distribusi, hingga panic buying di masyarakat.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi beberapa waktu lalu menyebut bahwa lonjakan harga CPO tak lepas dari kebijakan penggunaan program biodiesel (B30).
Faisal Basri, Ekonom Senior juga menyebut kenaikan harga minyak goreng di tengah penurunan produksi dan ekspor CPO disebabkan karena pergeseran dalam konsumsi CPO.
Akibatnya pasokan CPO untuk minyak goreng menjadi berkurang di tengah permintaan yang meningkat, sehingga mendorong harga.
Namun hal tersebut dibantah oleh Ketua Umum Aprobi M. P. Tumanggor menegaskan bahwa kebutuhan minyak kelapa sawit (CPO) untuk pembuatan biodiesel tidak akan mengganggu pasokan bahan baku minyak goreng, begitupun sebaliknya. Menurutnya, persoalan mahalnya minyak goreng adalah masalah distribusi dan kenaikan harga CPO.
Senada dengan Tumanggor, peneliti senior LPEM FEB-UI Mohamad Revido berpendapat bahwa persoalan harga minyak goreng yang terus naik karena ketidakmampuan Kementerian Perdagangan melakukan pengawasan distribusi dengan baik.
Sementara Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan kelangkaan minyak goreng di pasar karena adanya aksi panic buying karena takut tidak mendapatkan stok. Terutama saat harga minyak goreng diturunkan pemerintah.
Memang persoalan minyak goreng bagai benang kusut yang permasalahannya tak hanya di dalam negeri, namun juga menyangkut kondisi industri sawit global.
SHARE :
Ternyata Ini Biang Kerok Awal Mula Harga Migor 'Terbang' - Halaman 2

Foto: Ist
Penyebaran virus Covid-19 membuat aktivitas produksi di kebun kelapa sawit lesu yang juga berpengaruh terhadap produksi CPO. Pada tahun 2020 turun untuk pertama kalinya setelah selama empat tahun terakhir selalu bertumbuh. Saat itu, produksi CPO Indonesia tercatat 47,03 juta ton. Jumlah ini turun 146.000 ton dari produksi tahun 2019.
Kemudian pada tahun 2021, produksi CPO pun kembali turun. Selain karena faktor Covid-19, faktor cuaca juga menyebabkan produksi menjadi menyusut. Pada bulan Januari tahun 2021, produksi turun 260.000 ton dari bulan Desember 2021. Lalu kembali turun 342.000 ton pada bulan Februari hingga menjadi 3,08 juta ton.
Pada bulan-bulan berikutnya produksi bulanan CPO Indonesia berada dalam tren menanjak hingga bulan Agustus. Namun saat memasuki bulan musim penghujan, produksi CPO bulanan secara perlahan terus menyusut. Pada tahun 2021, produksi total CPO pun menyusut 146.000 ton menjadi 46,89 juta ton.
Menyusutnya produksi di Indonesia mendongkrak harga CPO global pada tahun 2021. Pasalnya produksi Indonesia setara dengan 60% dari total produksi dunia.
Selain karena Indonesia, produksi sawit di Malaysia juga jadi faktor pendorong harga minyak kelapa sawit global. Produksi Malaysia turun karena kendala tenaga kerja dan lonjakan kasus Covid-19 di negeri jiran itu.
Sepanjang tahun harga CPO melonjak 30,47% dan ditutup di MYR 4.697/ton. Lonjakan harga sepanjang tahun 2021 juga diwarnai oleh ukiran rekor harga tertinggi sepanjang masa.
Harga yang melambung turut mengerek harga minyak goreng. Sebab, di Indonesia banyak produsen minyak goreng yang tidak berafiliasi dengan produsen CPO atau kebun sawit. Ini menyebabkan harga minyak goreng sangat bergantung terhadap harga CPO. Akibatnya harga minyak goreng terutama curah dan kemasan meningkat tajam.
Dari sisi pasokan berdasarkan data yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, hadirnya B30 ternyata berpengaruh terhadap pendistribusian pasokan untuk pangan di tengah konsumsi minyak goreng yang meningkat.
SHARE :
Ternyata Ini Biang Kerok Awal Mula Harga Migor 'Terbang' - Halaman 3

Foto: Ilustrasi biodiesel (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Porsi konsumsi CPO kebutuhan pangan untuk salah satunya minyak goreng cenderung menurun sejak 2015 hingga 2021. Pada tahun 2015 porsi konsumsi pangan dibanding produksi sebesar 21,4%. Namun pada tahun 2021 susut menjadi 19,1% dengan jumlah 8,95 juta ton, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Pertumbuhan konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan pun cenderung stagnan. Hal ini berbanding terbalik dengan konsumsi untuk biodisel yang meningkat 10x lipat pada tahun 2021 dibandingkan tahun 2015 seiring dengan aturan penggunaan CPO sebagai campuran bahan bakar.
Pada tahun 2015 porsi konsumsi biodiesel sebesar 2,4% dengan total konsumsi 794.000 ton. Kemudian pada tahun 2021 melesat menjadi 7,3 juta ton dengan porsi 15,7% dari total konsumsi.
Foto: GAPKI
Konsumsi CPO untuk Pangan dan Biodiesel
Lebih rinci, porsi CPO untuk pangan tiap bulan di tahun 2021 terus menurun dibandingkan dengan porsi konsumsi untuk biodiesel yang terus bertumbuh. Bahkan pada bulan November dan Desember jumlah konsumsi CPO untuk biodiesel lebih besar dibanding pangan.
Pada bulan November dan Desember, konsumsi CPO untuk pangan tercatat 667.000 dan 705.000. Sedangkan biodiesel tercatat 722.000 ton dan 781.000 ton. Padahal saat itu harga minyak goreng sedang meroket diikuti keluhan masyarakat. Sehingga pasokan CPO untuk diolah untuk menjadi minyak goreng pun terbatas dan menyebabkan harga minyak goreng meroket.
Foto: GAPKI
Konsumsi CPO untuk Pangan dan Biodiesel 2021
Saat produksi minyak kelapa sawit nasional dan untuk kebutuhan pangan menurun, konsumsi minyak goreng meningkat masyarakat meningkat. Berdasarkan data BPS, rata-rata mingguan konsumsi minyak goreng nasional mencapai 0,23 liter per minggu. Jumlah ini naik dari tahun 2018 sebesar 0,2 liter per minggu.
Adanya kesenjangan antara pasokan minyak kelapa sawit mentah untuk kebutuhan pangan dan juga konsumsinya. Sehingga harga minyak goreng Indonesia pun meroket. Mengacu data PIHPS, harga minyak goreng curah saat ini mencapai Rp 19.800 per liter. Sementara untuk kemasan bermerk 1 dan 2 harganya Rp 23.500 dan 22.400 per liter.
Faktor lain yang turut membuat harga minyak goreng naik adalah pasokan minyak nabati pengganti CPO dunia pada tahun 2021/2022 turun. Ekspor minyak biji bunga matahari tercatat 12,17 juta ton turun 9,65% dan minyak rapeseed turun 7% menjadi 5,39 juta ton. Sementara minyak kedelai naik tipis 2,43% menjadi 11,8 juta ton.
Ketiga minyak nabati tersebut banyak digunakan oleh negara-negara Eropa. Akibatnya ekspor CPO ke Eropa pun melonjak. Berdasarkan data BPS nilai ekspor CPO Indonesia ke Eropa pada tahun 2021. senilai US$ 3,45 miliar atau Rp 49,33 triliun (kurs Rp 14.300/US$). Nilai tersebut naik 32% dibandingkan tahun 2020.
Saksikan video di bawah ini:
KSP:Tak Ada Tekanan Pengusaha di Pencabutan HET Minyak Goreng
(ras/ras)
SHARE :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar