Sejarah Hardiknas, Tidak Lepas dari Sosok Ki Hajar Dewantara Halaman all - Kompas

 

Sejarah Hardiknas, Tidak Lepas dari Sosok Ki Hajar Dewantara Halaman all - Kompas.com

Ki Hajar Dewantara diabadikan 11 Maret 1959, sebulan sebelum meninggal.

KOMPAS.com - Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas.

Namun, tidak banyak yang tau jika lahirnya Hardiknas tak lepas dari pelopor pendidikan pribumi Indonesia di era kolonialisme. Sosok itu, ialah Ki Hadjar Dewantara.

Merangkum dari laman lpmpriau.kemdikbud.go.id, Hari Pendidikan Nasional, atau Hardiknas adalah hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara.

Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tanggal 2 Mei, bertepatan dengan hari ulang tahun Ki Hadjar Dewantara, pahlawan nasional yang dihormati sebagai bapak pendidikan nasional di Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan.

Sementara anak pribumi yang kelas ekonominya rendah dianggap tidak pantas, sehingga terjadi ketimpangan yang besar.

Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia.

Lalu, setelahnya Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia. Filosofinya, Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia. Ia wafat pada tanggal 26 April 1959.

Mengenal Lebih Jauh Sosok Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara yang memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat lahir dari keluarga ningrat di Yogyakarta, 2 Mei 1889.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Ia mengenyam pendidikan di STOVIA, namun tidak dapat menyelesaikannya karena sakit. Akhirnya, Ia bekerja menjadi seorang wartawan di beberapa media surat kabar, seperti De Express, Utusan Hindia, dan Kaum Muda.

Selama era kolonialisme Belanda, Ki Hadjar Dewantara dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, pemerintah hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau kaum priyayi yang bisa mengenyam bangku pendidikan. Anak pribumi, tentu sulit mengakses pendidikan.

Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial membuatnya harus merasakan diasingkan ke Belanda bersama dua rekannya.

Yakni, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai “Tiga Serangkai”.

Setelah kembali ke Indonesia, ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa.

Tiga Semboyan Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara memiliki semboyan yang selalu ia terapkan dalam sistem pendidikan. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.

Arti dari semboyan tersebut adalah:

1. Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik)

2. Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide)

3. Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan)

Hingga kini, semboyan pendidikan Ki Hadjar Dewantara tersebut sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia dan terus digunakan dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia.

Pendidikan adalah segalanya bagi Indonesia

Dalam Peringatan Taman Siswa ke-30 Tahun, Ki Hadjar Dewantara sempat mengatakan beberapa hal mengenai pendidikan.

"Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu ‘dipelopori’, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri," ucapnya saat itu.

Maksud dari pernyataan Ki Hadjar Dewantara tersebut dengan jelas menunjukkan apa yang seharusnya lahir dari sebuah proses pendidikan, yaitu agar anak-anak berpikir sendiri dan bisa bebas mengekspresikan pemikirannya di bangku pendidikan.

Dengan begitu, anak-anak memiliki pikiran yang orisinal dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan dianggap berhasil ketika anak mampu mengenali tantangan apa yang ada di depannya dan tahu bagaimana seharusnya mereka mengatasinya. 

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya