GP Ansor Jawa Timur Kecam Pemakaian Gelar Gus oleh Samsudin. Ini Alasannya - Suara Merdeka Pekalongan

 

GP Ansor Jawa Timur Kecam Pemakaian Gelar Gus oleh Samsudin. Ini Alasannya - Suara Merdeka Pekalongan

SUARA MERDEKA PEKALONGAN-Blitar. Usai berselisih dengan pesulap merah, sosok Gus Samsudin Jadab di Blitar menjadi sorotan publik.

Banyak warganet yang mempertanyakan profilnya, terutama latar belakang kehidupannya sehingga menggunakan gelar gus.

Rupanya usut punya usut, Samsudin tidak memiliki silsilah keturunan ulama pengasuh pondok pesantren sehingga tak layak menyandang gelar gus.

Diketahui, Samsudin yang berasal dari lampung sebelumnya pelaku usaha barang bekas. Lalu beralih profesi menjadi ahli supranatural atau perdukunan.

Untuk menambah percaya diri dan meyakinkan banyak orang, Samsudin menggunakan gelar gus dalam praktek perdukunan.

Baru-baru ini Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur turut mengecam keras pencatutan gelar 'gus' yang dilakukan praktik perdukunan oleh Gus Samsudin Jadab.

Mengutip dari tulisan Gus Anam Oem Redjo di FB akun rejo beras, Bendahara GP Ansor Jawa Timur Muhammad Fawait menyebut pemakaian Gus oleh Samsudin menyesatkan.

Gus Samsudin Jadab (Instagram/@Gus_Samsudin_Jadab)
Gus Samsudin Jadab (Instagram/@Gus_Samsudin_Jadab)

Fawait mengatakan pencarutan sebutan Gus oleh Samsudin cenderung dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi.

"Orang yang melakukan praktik perdukunan menyebut dirinya kiai atau gus. Hal itu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tapi ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi. Ini tentu merugikan kiai dan gus yang benar-benar asli," kata Gus Fawait

Menurut Gus Fawait, orang yang mendapat gelar gus harus jelas nasabnya. Tak sembarang orang bisa menyandang sebutan itu. Dia mengatakan gelar gus tak boleh dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

"Ini yang harus diluruskan. Kalau kiai atau ulama itu harus jelas sanad keilmuannya. Sedangkan Gus harus jelas nasabnya. Jadi masyarakat jangan mudah percaya pada orang yang mengaku kiai atau gus. Lihat dulu sanad dan nasabnya," kata pengasuh Pondok Pesantren Nurul Chotib Al Qodiri IV Jember itu.

Ia pun prihatin pada fenomena yang terjadi di masyarakat. Menurutnya saat ini ada orang yang sangat mudah mendapat predikat gus. Padahal orang itu tak pernah mengenyam pendidikan di pesantren, apalagi mengasuh pondok pesantren. Bahkan sebaliknya, justru berpraktek sebagai paranormal atau dukun.

Gus Fawait mengatakan, sebutan kiai, gus, lora atau yek adalah sebuah penghormatan dan sarat maknanya. Karena itu harus disematkan kepada orang yang tepat dan memang jelas nasabnya.

"Jadi tidak boleh sembarangan menyebut seseorang sebagai gus. Cari tahu dulu dia anak kiai siapa, di mana pondok pesantrennya," pungkasnya. ***

Halaman:

Baca Juga

Komentar