Sejarah Zuriah Rasulullah Melebur Menjadi Pribumi Nusantara
Muhajirin Jum'at, 27 Agustus 2021 - 20:04 WIB

Para Ulama dari kalangan Alawiyyin atau Ba Alawi yang biasa dipanggil dengan panggilan Habib, sedang bermajelis bersama Habib Umar bin Hafidz dari Yaman (foto: istimewa)
LANGIT7.ID - Keturunan Nabi Muhammad SAW, yang biasa dipanggil Habib oleh masyarakat Indonesia, memiliki peran besar dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Para keturunan Nabi ini disebut sebagai Ba’ Alawi atau Alawiyyin karena nasabnya bersambung ke Nabi Muhammad SAW lewat seorang ulama bernama Alwi Bin Ubaidillah yang merupakan keturunan dari Sayyidina Husein bin Ali RA.
Bahkan hingga hari ini, Habaib (jamak dari Habib) atau kadang dipanggil Sayyid atau Sayyidah dan Syarif atau Syarifah, punya tempat tersendiri di hati dan interaksi sosial masyarakat Indonesia. Mayoritas menjadi ulama dengan membawa tradisi keislaman yang diwariskan para leluhurnya dari Hadramaut Yaman. Namun tak sedikit pula yang berkiprah di berbagai bidang dari bisnis hingga politik.
Dalam catatan sejarah, mereka sudah berada di Tanah Air sejak abad ke-13 M. Bahkan, mereka berangsur-angsur datang ke Tanah Air hingga abad ke-19 M. Sejarawan Hamid Al-Qadri menyebut bahwa keturunan Arab, baik yang nasabnya bersambung ke Nabi Muhammad SAW maupun yang bukan, berhasil menyatu dengan pribumi di antaranya melalui pernikahan. Bahkan, orang Arab telah merasa dirinya menjadi pribumi, dan pribumi telah menganggap mereka sebagai saudara, bukan orang asing lagi. Kedekatan ini yang membuat keturunan Arab bisa ikut berjibaku berjuang bersama pribumi dalam banyak kesempatan, termasuk dalam berjuang melawan penjajah Belanda.
Bahkan hingga hari ini, Habaib (jamak dari Habib) atau kadang dipanggil Sayyid atau Sayyidah dan Syarif atau Syarifah, punya tempat tersendiri di hati dan interaksi sosial masyarakat Indonesia. Mayoritas menjadi ulama dengan membawa tradisi keislaman yang diwariskan para leluhurnya dari Hadramaut Yaman. Namun tak sedikit pula yang berkiprah di berbagai bidang dari bisnis hingga politik.
Dalam catatan sejarah, mereka sudah berada di Tanah Air sejak abad ke-13 M. Bahkan, mereka berangsur-angsur datang ke Tanah Air hingga abad ke-19 M. Sejarawan Hamid Al-Qadri menyebut bahwa keturunan Arab, baik yang nasabnya bersambung ke Nabi Muhammad SAW maupun yang bukan, berhasil menyatu dengan pribumi di antaranya melalui pernikahan. Bahkan, orang Arab telah merasa dirinya menjadi pribumi, dan pribumi telah menganggap mereka sebagai saudara, bukan orang asing lagi. Kedekatan ini yang membuat keturunan Arab bisa ikut berjibaku berjuang bersama pribumi dalam banyak kesempatan, termasuk dalam berjuang melawan penjajah Belanda.

Wartawan LANGIT7.ID Muhajirin berkesempatan mewawancarai Dosen Institut Agama Islam Darullughah Wadda'wah (Dalwa) Bangil, Dr (Cand) Ahmad Kholili Hasib, M.Ud, membahas tentang sejarah dan sepak terjang Habaib atau Alawiyyin di Nusantara. Terutama peran mereka dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Air. Berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana awal mula sejarah munculnya Ba' Alawi atau Alawiyin? Bagaimana metode mereka dalam menjaga jalur nasab sampai ke Nabi Muhammad SAW?
Pertama, saya perlu menjelaskan Alawi atau Ba'alawi itu dari kata Alwi, seorang keturunan nabi yang bernama Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Dia adalah orang pertama kali keturunan nabi yang lahir di hadramaut. Semua kaum Ba'alawi yang ada di dunia ini nasabnya tersambung ke ke Alwi bin Ubaidillah.
Bagaimana mereka ini menjaga jalur nasab sampai kepada nabi? perlu diketahui bahwasanya ada sebuah tradisi di kalangan bangsa Arab sejak nabi-nabi terdahulu, yakni tradisi menjaga nasab. Keturunan dari Nabi Ismail yang menurunkan bangsa Arab sekarang itu dari dua jalur. Mereka punya tradisi menulis nasab. Sampai kemudian mereka di antaranya ada nasab dari Bani Quraisy atau Bani Hasyim, itu juga tercatat.
Khusus untuk Ba'alawi, itu ada tradisi khusus yaitu mereka punya kantor bernama Maktab Daimi. Maktab Daimi ini adalah kantor yang khusus memastikan apakah seseorang itu punya nasab yang bersambung ke Alwi bin Ubaidillah atau sambung kepada Nabi Muhammad SAW melalui jalur Husein atau tidak.
Maktab Daimi ada di Jakarta dan ada di Hadramaut. Siapa saja yang ingin mengetahui nasabnya dari kalangan Ba'alawi, tercatat di sana. Semua tercatat secara rapi, turun-temurun sejak zaman dulu. Khususnya memang dari keturunan nabi itu ada satu disiplin pencatatan nasab itu.
Bahwasanya Ba'lawi dengan tarikahnya itu ada satu tradisi bahwa mereka cenderung atau menekankan ajaran-ajaran itu berdasarkan yang diajarkan atau yang diamalkan oleh ayahnya, oleh kakeknya, oleh datuk-datuknya. Jadi, dari seperti itu dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang besar.
Misalnya dari hal yang kecil itu persoalan etika keseharian, bagaimana cara mereka menyambut tamu, bagaimana cara mereka menyuguhkan makanan, sampai bagaimana mereka memakai pakaian, model pakaian apa yang mereka pakai, sampai kemudian apa yang mereka baca setiap hari, sampai pada aspek ajaran, amaliyah fiqih, kemudian keyakinan atau akidah. Itu dibawa secara turun-temurun oleh Ba'alawi.
Tradisi ini sejak kapan? tradisi ini sejak Ahmad bin Isa hijrah dari Basrah ke Hadramaut. Dari Basrah, kemudian ke Mekkah, dan terakhir ke Hadramaut. Ketika tiba di Hadramaut, beliau dengan putranya, Ubaidillah, ingin membuat satu sistem, agar anak keturunannya tetap pada jalur sesuai dengan ajaran-ajaran mereka, yang sambung kepada nabi. Makanya mereka ini cari tempat yang sekiranya tidak banyak gejolak.
Basrah waktu itu, merupakan wilayah yang dihuni banyak keturunan nabi pada masa pemerintahan Bani Umayah. Kemudian banyak gejolak politik, gejolak keyakinan seperti qadariyah, mu'tazilah, syiah. Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut menjauh itu semua, agar anak keturunannya selamat.
Sejak itulah, terutama sejak zaman Alwi bin Ubaidillah, mereka punya semacam sistem bagaimana melindungi anak keturunannya atau para pengikutnya supaya tidak dipengaruhi oleh berbagai macam pengaruh asing, yang mana ajaran itu tidak ada pada ayah, kakek, dan datuk-datuknya.
Lalu bagaimana sejarahnya para Alawiyyin dari Yaman bisa sampai ke Indonesia?
Setelah Muhammad Shahib Mirbath pindah atau dakwah di Oman, dia punya dua anak, yakni Ali dan Alwi. Nah, yang datang ke daerah timur pertama kali adalah cucu Sahib Mirbath yaitu Sayyid Abdul Malik. Mereka pindah ke sebuah daerah di India, pesisir pantai selatan India. Di situ Abdul Malik Khan diangkat menjadi amir, menjadi raja. Kemudian anak keturunannya ada di situ, dan berkembang.
Kemudian punya cicit bernama Jamaluddin Al-Husein, yang kemudian berdakwah di sana, jadi Sultan bahkan. Karena banyak gejolak, dia lalu pindah ke Aceh, dari Aceh pindah lagi ke Jawa. Dari Jawa ke Sulawesi. Begitu ceritanya.
Dari Jamaluddin Al-Husain ini melahirkan banyak keturunan-keturunan, dari Aceh, terutama di Jawa. Beliau disebut sebagai kakeknya para Wali Songo. Karena dari jalur Jamaluddin Al-Husein banyak melahirkan Wali Songo seperti Sunan Ampel. Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gresik, Sunan Kudus, dll. Itu berlangsung sejak Abad ke-13 sampai abad ke-15.
Tidak hanya Jamaluddin Al-Husein yang datang, tapi juga dai-dai yang lain, misalnya, datang ke Aceh, datang ke Mindanao, ke Sulu, ke Kalimantan barat, itu banyak jumlah mereka.
Kemudian pada masa modern, abad ke-17, datang lagi gelombang kedua. Mereka ini datang ke Asia Tenggara, karena mengikuti jejak kakek-kakeknya. Mereka ingin berdakwah keluar seperti para kakeknya. Mereka meniru Sayyid Abdul Malik yang sampai ke India, kemudian anak keturunannya sampai ke Asia Tenggara.
Seperti itu mereka dengar di negeri asalnya, di Hadramaut, bahwa punya kakek yang dulu dakwah sampai ke India, sampai ke Campa, sampai ke Aceh, ke Jawa. Maka mereka ini punya dorongan kuat, semangat untuk berdakwah menyiarkan agama di luar daerahnya. Itu gelombang kedua abad-17.
Nah, abad ke-17 ini bukan lagi keturunan dari Sayyid Abdul Malik. Tapi keturunan Muhammad bin Ali bin Alwi Al-Faqih Al-Muqaddam. Jadi, sepupu dari Sayyid Abdul Malik. Mereka ini datang pada abad-17, abad penjajahan. Mereka datang ini sengaja untuk berdakwah, bukan untuk berdagang. Dalam perjalanan, kan jauh, butuh biaya banyak, maka mereka sambil berdagang.
Mereka tentunya tidak langsung, tidak langsung datang ke Aceh, mereka mampir ke negeri-negeri seperti India dan Pakistan. Tapi mereka tidak lama. Mereka berpindah-pindah sampai ke Jawa. Itu berlangsung selama 3 abad, karena pada abad ke-19 itu masih banyak yang datang. Itu berangsur-angsur mereka datang. Jadi, yang mendorong mereka itu adalah mengikuti jejak kakeknya dalam berdakwah.
Baca Juga: Asal Muasal Para Habaib Zuriah Rasulullah Sampai ke Indonesia
Tampaknya sangat banyak sekali yang datang ke Indonesia, sampai bisa berbaur dan punya peran sentral di berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia sejak dahulu. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Setelah abad ke-17 itu datang mereka ke bumi nusantara. Itu yang merupakan gelombang kedua, banyak yang mereka datang pada abad ke-18 dan abad ke-19, itu masih banyak catatan-catatan bahwa abad ke-19 itu masih banyak yang datang.
Mereka ini ketika datang ke Nusantara, waktu itu abad ke-17, masih dalam kondisi Indonesia dijajah. Mereka ini datang dengan tampilan sebagai seorang pengusaha, sebagai seorang pedagang. Karena begini, orang-orang asing di nusantara untuk berdagang itu sudah ada sejak lama. Mereka jauh sebelum Islam berkembang, sudah banyak orang berdagang, orang Cina, orang India.
Misalnya di Sumatera itu sudah banyak interaksi orang-orang asing sebelum Islam berkembang di nusantara. Bahkan dalam catatan Api Sejarah, sebelum Nabi Muhammad lahir, orang Arab sudah ada yang datang ke Maluku. Mereka berdagang mencari rempah-rempah untuk dijual kepada orang-orang Arab, kepada orang Eropa. Di sana ada pasarnya.
Ketika mereka datang ke Nusantara, mereka ini menyatu dengan orang lokal. Ada satu buku yang ditulis oleh Hamid Al-Qadri. Hamid Al-Qadri ini keturunan Hadramaut yang menjadi pejuang dan penulis. dalam bukunya diceritakan bahwasanya bagaimana kondisi atau keadaan orang Arab yang datang ke nusantara.
Baca Juga: Pencipta Lagu Hari Merdeka Ternyata Keturunan Nabi Muhammad SAW
Ternyata orang Arab ini punya pendekatan yang luar biasa. Orang Arab Hadrami, baik dari kalangan Ba'alawi maupun yang bukan dari kalangan Ba'alawi, itu punya pendekatan yang luar biasa. Ketika mereka datang ke nusantara, dan nusantara itu sudah mayoritas beragama Islam, penduduk Jawa sudah banyak menganut Islam. Maka begitu datang, mereka tidak mengalami kesulitan, karena sama-sama beragama Islam.
Kemudian banyak di antara mereka yang menikah dengan orang-orang Jawa. Karena mereka yang datang ini muda-muda, di bawah umur 30. Banyak cerita-cerita yang menunjukkan mereka menikah dengan orang Jawa.
Hal yang ingin saya tekankan, pendekatan pernikahan ini artinya mendekatkan pribadi mereka dengan orang lokal. Kemudian, setelah itu, terjadi penyatuan antara orang Arab dan orang Jawa. Sehingga di kalangan orang Arab Hadrami ada istilah akhwal. Akhwal ini dari kata khal. Khal itu adalah paman dari jalur ibu. Artinya mereka ini ada hubungan dari pernikahan itu, atau istilah besanan.
Itu menunjukkan bahwasanya orang Arab Hadrami dengan orang Jawa itu hubungannya sangat dekat. Buktinya apa? mereka memanggil orang Jawa dengan sebutan Akhwal. Dari situ, orang Arab Hadrami itu merasa seperti pribumi, bahkan mengaku pribumi mereka. Khususnya mereka yang sudah lahir di Jawa, itu mereka merasa sebagai pribumi dan menyatakan sebagai pribumi. Di situlah kedekatan orang Arab Hadrami dengan orang Jawa Lokal.
Sehingga itulah yang mendorong mereka bersama-sama berjuang dengan orang-orang Jawa. karena merasa sama-sama pribumi. itu ada catatannya, mereka merasa sebagai pribumi, dan orang Jawa memandang mereka bukan orang asing. bahasanya sudah sama, tradisinya sama, agamanya juga sama. Bukan orang asing.
Jadi, ketika mereka sudah datang ke sini, mereka berbaur dengan orang Jawa, tidak ada kesan asing di situ. Orang Arab tidak merasa sebagai orang Asing, orang Jawa merasa mereka adalah saudara. Itulah yang mendorong mereka sama-sama berjuang, diawali dengan persaudaraan agama dan hubungan pernikahan.
Kemudian, ada strategi Belanda yang ingin memisahkan orang Arab dan orang Jawa. salah satu strategi yang digunakan oleh penjajah Belanda adalah menerapkan kelas dalam masyarakat yang ada di nusantara ini. Kelas pertama adalah orang Belanda dan orang Eropa. kelas kedua adalah orang Cina dan Arab, artinya orang asing yang bukan Eropa. ketiga, kelas pribumi.
Itu ada strata sosial yang dibuat oleh penjajah Belanda. Ini adalah strategi untuk memisahkan, sehingga salah satu metodenya adalah perkampungan itu dipisah. Dalam catatan Hamid Al-Qadri, sebelum Belanda menerapkan strategi pemisahan orang Arab dan orang Jawa satu kampung hidup bersama. Begitu menerapkan strategi, maka kampung itu dipisah-pisah. Ada kampung Cina, sekarang disebut Pecinan. Ada kampung Arab. Kemudian pribumi, agar supaya orang Jawa ada jarak.
Meskipun dibuat seperti itu, ternyata tidak berhasil. Secara kampung berbeda, dari perjuangan mereka tetap bersama. Ada kampung Arab, ada kampung pribumi, tapi ketika berjuang mereka bersama-sama.
Baca Juga: Sultan Hamid II, Zuriah Rasulullah SAW Perancang Garuda Pancasila
(jqf)
Bagikan Artikel Ini :

Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
melalui notifikasi browser Anda.
TOPIK TERKAIT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar