MK dan tuduhan 'pemalsuan putusan': 'Tidak cukup diselesaikan mahkamah kehormatan, harus ada tim independen,' kata pakar - BBC News Indonesia

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) perlu membentuk tim investigasi khusus yang independen untuk mengungkap dugaan pemalsuan putusan di lembaga peradilan itu.
Dugaan itu telah berujung pelaporan sembilan hakim MK serta satu panitra dan satu panitra pengganti ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pidana.
“Laporan ke pidana menunjukkan ada distrust, ketidakpercayaan kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Feri, yang menjabat direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Tuduhan pemalsuan mencuat setelah ditemukan perbedaan redaksi antara putusan yang dibacakan hakim dengan salinan putusan yang diunggah ke situs web MK dalam uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi.
Uji materi itu terkait dengan pemberhentian hakim MK Aswanto oleh DPR pada Oktober lalu, untuk digantikan Sekjen MK, Guntur Hamzah - langkah yang oleh sebagian pihak dianggap intervensi terhadap MK.
Pihak yang mengajukan uji materi, dan yang melaporkan para hakim MK ke polisi, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Kepada BBC News Indonesia, Zico mengatakan, perubahan redaksi tersebut mengubah substansi putusan.
Lebih jauh, perubahan itu disebut dapat berdampak pada gugatan terhadap penggantian Aswanto yang tengah berjalan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah dibentuk untuk menyelidiki pelanggaran etik terkait kasus ini.
Namun Feri Amsari menyoroti bahwa MKMK diisi oleh orang-orang yang dekat dengan MK.
Baca juga:
Perubahan redaksi dan konsekuensinya
Ketika MK membacakan putusan uji materi UU No.7/2020 yang ia ajukan, 23 November lalu, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak tidak hadir karena sakit.
Ia membaca risalah sidang dan salinan putusan yang dikeluarkan belakangan dan mengetahui bahwa permohonannya ditolak.
Pada awal Januari, ia akhirnya punya waktu luang untuk menonton video sidang pengucapan putusan di kanal YouTube MK.
Saat itulah, Zico mengaku ia menemukan "ada yang janggal".
Pada stempel waktu sekitar 1:06:05 video tersebut, hakim Saldi Isra membacakan putusan sebagai berikut (penebalan oleh BBC):
"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".
Namun, pada halaman 51 salinan putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 yang diunggah ke situs web MK, redaksinya berubah menjadi:
“Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat 2 UU MK...".
Dua frasa ini maknanya berbeda, menurut Zico.


Seperti diketahui, Zico mengajukan uji materi undang-undang MK terkait pencopotan hakim MK Aswanto oleh DPR yang dinilai sewenang-wenang.
“Kalau ‘dengan demikian’ artinya MK mengutuk pergantian Pak Aswanto. Tapi kalau kata-katanya ‘ke depan’ MK bilang silakan Pak Aswanto diganti enggak apa-apa, tetapi ke depannya enggak boleh,” kata Zico kepada BBC News Indonesia.
Menurut Zico, putusan ini dapat berdampak pada perkara gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terhadap penggantian Aswanto sebagai hakim MK oleh Guntur Hamzah.
“Kalau pakai putusan saya (yang kata-katanya ‘dengan demikian’) otomatis Pak Aswanto itu penggantiannya dinyatakan batal demi hukum harusnya.
“Tetapi sekarang kalau kata-katanya ‘ke depan’, itu berarti penggantian Pak Aswanto enggak masalah, jadi keputusan di PTUN-nya bisa fifty-fifty,” kata Zico, yang tidak terlibat dalam gugatan di PTUN.
Ia menambahkan: “Makanya signifikan banget. Jadi penggantian Pak Aswanto bisa bermasalah atau tidak karena kasus ini. Kalau misalnya bermasalah, yang kena siapa? Presiden, DPR...”
Baca juga:
DPR memutuskan memberhentikan Hakim MK Aswanto untuk digantikan dengan Sekjen MK, Guntur Hamzah melalui sidang paripurna, September 2022.
Aswanto merupakan salah satu hakim MK yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja sebagai "inkonstitusional bersyarat".
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad pada bulan Oktober mengatakan bahwa penggantian Aswanto telah sesuai mekanisme yang berlaku.
Lembaga wakil rakyat itu beralasan Aswanto kerap membatalkan undang-undang yang dibuat DPR, padahal dia adalah wakil DPR.
Dalam keterangan kepada media waktu itu, Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto mengakui "Ini adalah keputusan politis“.

Perubahan itu mendorong Zico melaporkan sembilan hakim konstitusi serta satu panitra dan satu panitra pengganti ke Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana pemalsuan dan menggunakan surat palsu.
Zico menjelaskan alasannya menganggap perubahan itu sebagai "pemalsuan".
Sebelum hakim MK membacakan putusan, mereka akan mengadakan rapat yang disebut rapat permusyawaratan hakim (RPH). Rapat ini biasanya diadakan seminggu sebelum putusan, kata Zico.
“Jadi hasil putusan itu biasanya sudah disiapkan seminggu sebelumnya, enggak mungkin bisa berubah lagi.
"Ketika dibacakan oleh hakim Saldi Isra, ‘Dengan demikian’ itu harusnya sudah hasil RPH, kesembilan hakim sudah menyepakati kata-katanya adalah ‘Dengan demikian’,” kata Zico.
“Sekarang tiba-tiba di fail salinan putusannya dan di risalah sidang, kata-katanya ‘Ke depan’, ini pemalsuan dong.”
Risalah sidang adalah transkrip kata per kata dari yang diucapkan hakim saat persidangan. Sedangkan salinan putusan adalah fail dokumen berisi putusan hakim yang diunggah ke situs web MK.
Zico menduga ada “oknum” di MK yang melakukan perubahan itu. Ia melaporkan sembilan hakim MK dan satu panitera karena tidak tahu siapa oknum tersebut, dan ingin polisi menginvestigasi.
Bukan ‘clerical error’
Feri Amsari menerangkan bahwa perbedaan redaksi antara yang diucapkan hakim dengan yang ditulis kerap terjadi saat sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Namun, perbedaan-perbedaan itu bisa dianggap sebagai salah penulisan alias clerical error, kata Feri. “Misalnya ada angka yang salah, nolnya kurang, dan sebagainya.”
Menurut Feri, yang terjadi kali ini “sudah pasti bukan clerical error” karena maknanya jadi sangat berbeda.
"Kalaupun terjadi clerical error mestinya terdeteksi dalam rekaman persidangan," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa frasa “Dengan demikian” menegaskan pertimbangan hakim bahwa hakim MK tidak boleh diberhentikan begitu saja kecuali dengan syarat yang ditentukan dalam undang-undang.
Sementara “Ke depan”, kata Feri, membolehkan pemberhentian Aswanto, tetapi tidak boleh bagi hakim-hakim MK di masa depan.
Hal itu tentu saja melindungi hakim-hakim MK yang saat ini menjabat, karena mereka tidak boleh diberhentikan sebagaimana Aswanto.
“Seolah-olah hakim yang ada saat ini melindungi diri mereka padahal mereka harusnya melindungi konstitusi itu sendiri dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman,” kata Feri.
Ia menambahkan, bila ini dibiarkan, bisa berdampak sangat buruk pada kepercayaan publik terhadap MK.
MK bentuk Mahkamah Kehormatan
MK telah membentuk Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk mengungkap isu ini.
Anggota MKMK terdiri dari Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, mantan hakim MK Dewa Gede Palguna, dan ahli pidana UGM sekaligus anggota Dewan Etik MK Sudjito.
Ketika dimintai komentar, juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan masing-masing Hakim Konstitusi sudah mengetahui tentang isu ini melalui pemberitaan media namun belum memberikan tanggapan mengenai tindak lanjutnya.
“Saat ini, MK masih fokus dengan persidangan dan proses MKMK untuk mengungkap isu dimaksud,” kata Fajar melalui pesan teks kepada BBC News Indonesia
Anggota MKMK, I Dewa Gede Palguna, mengatakan pihaknya berfokus pada dugaan pelanggaran etis terkait kasus ini dan bukan tuduhan pidananya.
Gede yang merupakan mantan hakim MK itu mengatakan, perubahan antara kata-kata yang diucapkan hakim dengan kata-kata di fail salinan putusan pada dasarnya “boleh saja tapi tidak boleh mengubah substansi [putusan]”.
Namun, ia menolak berkomentar lebih jauh mengenai substansi kasus ini.
“Sekarang saya enggak boleh ngomong dulu nih kalau soal itu. Nanti akan kita periksa di majelis kehormatan,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Baca juga:
Pengamat sangsi upaya Mahkamah Kehormatan ungkap kasus
Namun, Feri Amsari menyoroti bahwa semua anggota MKMK masih berkaitan dengan MK. "Kita melihat unsurnya terlalu tidak beragam ya, unsurnya itu MK betul," kata Feri.
Feri mengatakan sangsi bila MK dapat mengawasi dirinya sendiri.
Ia pun menyarankan MK membentuk tim investigasi khusus yang independen, selain MKMK.
Sebagai contoh, ia merujuk tim investigasi yang dibentuk Ketua MK Mahfud MD pada 2010, setelah pakar hukum tata negara Refly Harun menulis opini di Kompas yang mengindikasikan dugaan suap di tubuh MK.
Tim tersebut dipimpin oleh Refly sendiri dan beranggotakan sejumlah tokoh masyarakat antara lain Bambang Widjojanto, Adnan Buyung Nasution, dan Saldi Isra.
"Tapi memang ini pilihan MK ya. MK mau membiarkan ketidakpercayaan publik semakin besar atau MK mau mengembalikan kepercayaan publik dengan cara yang lebih reformatif,” pungkas Feri.
[Category Opsiin, Media Informasi]
[Tags Mahkamah Konstitusi, Featured, Pilihan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar