Luhut Bantah Keruk dan Ekspor Pasir Laut Merusak Lingkungan - CNN Indonesia

 

Luhut Bantah Keruk dan Ekspor Pasir Laut Merusak Lingkungan

CNN Indonesia
5-6 minutes
Selasa, 30 Mei 2023 15:52 WIB

Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan membantah kebijakan anyar Presiden Joko Widodo soal pengerukan dan izin ekspor pasir laut bakal merusak lingkungan.

Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan membantah kebijakan anyar Presiden Joko Widodo soal pengerukan dan izin ekspor pasir laut bakal merusak lingkungan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan membantah kebijakan anyar Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pengerukan dan izin ekspor pasir laut bakal merusak lingkungan.

"Gak dong (tidak merusak lingkungan). Semua sekarang karena ada GPS (global positioning system) segala macam kita pastikan tidak (merusak lingkungan) pekerjaannya," katanya di Hotel Mulia, Jakarta Pusat, Selasa (30/5).

"Sekarang kalau harus diekspor, pasti jauh manfaatnya untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah," sambung Luhut.

Luhut menegaskan pemerintah sedang melakukan pendalaman alur. Jika tidak, alur laut Indonesia diklaim bakal makin dangkal.

"Jadi untuk kesehatan laut juga. Sekarang proyek yang satu besar ini Rempang (Batam). Rempang itu yang mau direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri besar, solar panel. Gede sekali solar panel itu," tandasnya.

Izin ekspor pasir laut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beleid tersebut resmi diundangkan pada 15 Mei 2023.

Restu Jokowi ini berlawanan dengan pelarangan 20 tahun lamanya. Sebelum terbit beleid ini, pasir laut dilarang diekspor sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

Kala itu, Megawati melarang ekspor pasir laut yang diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.

Ekspor pasir laut dihentikan sementara demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil. Penghentian ekspor itu akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil.

Sebelumnya, Greenpeace Indonesia menyebut pemerintah melakukan greenwashing lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

"Ini adalah greenwashing ala pemerintah," kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/5).

"Pemerintah kembali bermain dengan narasi yang seakan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki," imbuhnya.

Dia menjelaskan pemerintah Indonesia di era Megawati Soekarnoputri telah melarang ekspor pasir laut. Pada Februari 2003 juga terbit sebuah Surat Keputusan Bersama Menteri Industri dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup yang mengatur tentang hal itu.

Dia mengingatkan SKB tersebut dibuat untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Riau akibat penambangan pasir laut. Meski SKB itu telah diterbitkan, aktivitas penambangan pasir laut masih terus terjadi di Indonesia, salah satunya di Sulawesi Selatan.

Demi proyek strategis nasional, kata Afdillah, berbagai kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi terjadi di Pulau Kodingareng, Makassar.

Temuan tersebut terungkap dalam laporan berjudul Panraki Pa'boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde tahun 2020.

Laporan tersebut disusun oleh Greenpeace Indonesia bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil lain yang tergabung dalam Koalisi Save Spermonde.

Afdillah berpendapat PP 26/2023 itu menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan sektor kelautan. Dengan dikeluarkannya beleid itu, dia juga memandang pemerintah tidak mampu mengelola sumber daya laut dengan cerdas.

"Sehingga kerap mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif seperti ini. Lebih parah lagi, kebijakan semacam ini bisa jadi diambil tanpa kajian yang matang serta mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia," ucap Afdillah.

(skt/dzu)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya