Jalan Terjal Menjadi Dokter Spesialis
Jakarta, Beritasatu.com - Teguh Priyanto (45), seorang dokter spesialis dermatologi dan venereologi di Kota Semarang baru bisa bernafas lega. Setelah hampir 6 bulan mengurus perpanjangan surat tanda registrasi (STR), akhirnya ia berhasil menyelesaikan permasalahan perizinan yang turut menganggu praktiknya dalam melayani kesehatan masyarakat setempat.
Sebagai dokter yang berpraktik di tiga tempat, yaitu RSUD Wongsonegoro, RS Siloam, dan Klinik Bayi Jenius, Dokter Teguh mengalami keterbatasan waktu untuk memenuhi berbagai persyaratan yang perlu dikumpulkan untuk mengurus perpanjangan STR yang habis tahun ini.
“Pengurusan STR ribet karena syaratnya banyak. Semua sertifikat simposium, jumlah pasien, serta aksi sosial, harus terekam dan ter-upload. Itu butuh waktu,” ungkapnya kepada Beritasatu.com.
Dokter Teguh pun menyambut baik dengan segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Pasalnya, salah satu transformasi yang dibawa dalam RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu ialah terkait pengurusan STR dan Surat Izin Praktik (SIP). Nantinya proses perpanjangan STR dokter tidak perlu dilakukan setiap 5 tahun sekali, dimana dokter hanya perlu mengurus STR sekali untuk teregistrasi dan berlaku seumur hidup
“Saya setuju dengan usulan menkes bahwa STR cukup sekali seumur hidup. Ini memudahkan dokter sehingga tidak terlalu disibukkan dengan urusan perizinan. Dokter bisa fokus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi dokter dapat dilakukan melalui pelatihan yang diwajibkan,” katanya.
Kesulitan dalam mengurus perizinan praktik kedokteran juga diakui oleh dokter Sutrisno. Dokter yang juga menjabat dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Kota Cimahi, dan Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkap, keterbatasan akses kegiatan yang harus diikuti para dokter muda, terutama di daerah, membuat banyak dokter mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa calo demi mendapatkan SIP. Hal ini tentunya melanggar etika, sekaligus persoalan.
“Kalau menggunakan calo, tentunya ada biaya ekstra. Ini sebenarnya tidak benar juga ya,” katanya.
Dokter Sutrisno menjelaskan, seorang dokter harus mengumpulkan ratusan satuan kredit profesi (SKP) agar bisa mendapatkan rekomendasi dari IDI yang menjadi syarat pembuatan surat izin praktik (SIP) dari Dinas Kesehatan setempat. SKP IDI merupakan bukti keikutsertaan seorang dokter dalam Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Untuk memenuhi persyaratan ini, seorang dokter harus mengumpulkan SKP dari kegiatan klinis maupun non-klinis, seperti pengabdian masyarakat, penelitian, dan seminar.
“Rekomendasi diberikan apabila persyaratannya sudah terpenuhi. Persyaratan paling berat kan mengumpulkan SKP. Kalau enggak salah dalam lima tahun 250 SKP atau dalam setahun 50 SKP,” ungkapnya.
Kesulitan pengurusan izin praktik menjadi hambatan dalam meningkatkan jumlah dokter di Indonesia, terutama dokter spesialis. Menurut Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya, Indonesia masih kekurangan 30.000 dokter spesialis.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Komentar
Posting Komentar