Pelaku Perdagangan Orang Sering Manfaatkan Orang Terdekat Korban

Jakarta, Beritasatu.com - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyoroti aksi pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang memanfaatkan orang terdekat korban untuk melancarkan aksinya. Orang terdekat tersebut bisa dari keluarga, saudara, atau teman. Sayangnya, penanganan hukum dalam kasus TPPO kerap kali berakhir di orang-orang tersebut tanpa ditelusuri lebih dalam lagi aktor intelektualnya.
"Pelaku TPPO ini kebanyakan orang dekat. Tetapi ketika kami dalami dengan investigasi mendalam, orang dekat ini juga menjadi korban yang seringkali tidak dibaca utuh oleh banyak pihak. Misalnya pelakunya itu bapak si korban, padahal bapak itu juga jadi korban dari oknum TPPO. Dia dikasih uang untuk kemudian bisa menyerahkan anaknya bekerja," kata Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno kepada Beritasatu.com, Jumat (2/6/2023).
Modus pelaku TPPO ini harus menjadi perhatian semua pihak, karena seringkali pelaku utama memanfaatkan orang terdekat untuk memengaruhi korban. Selain itu, penanganan hukum TPPO juga harus menyasar aktor intelektual.
"Saya ingin tekankan, dalam melakukan tindakan penanganan TPPO, harus kemudian menyasar aktor intelektualnya. Kenapa saya selalu bilang begitu? Karena perdagangan orang ini kejahatan internasional. Pelakunya tidak mungkin bekerja sendiri, pasti ada aktor lain yang mengurus secara internasional. Jadi penting sekali mengungkap siapa aktor intelektualnya, tidak hanya berhenti di pelaku kedua atau ketiga, sementara yang utamanya lolos," ujarnya.
Hariyanto yakin, apabila ada kemauan, pihak kepolisian bisa mengungkap aktor intelektual dari kasus TPPO yang marak terjadi di Indonesia.
"Kalau dibilang sulit, tidak juga. Melacak teroris saja bisa kok, melacak tindak pidana pencucian uang juga bisa, kenapa melacak TPPO tidak bisa? Tinggal menggunakan network analisis, pasti bisa ketahuan," kata Hariyanto.
SBMI juga menyayangkan banyaknya kasus hukum TPPO yang menghilangkan kewajiban pelakunya untuk membayar restitusi atau ganti rugi kepada korban atau keluarga korban. Dari sembilan putusan pengadilan TPPO yang dihimpun SBMI, hanya satu putusan saja yang mendapat restitusi, itu pun jumlahnya sangat kecil.
Hariyanto menyampaikan, modus pelaku TPPO agar bebas dari kewajiban membayar restitusi biasanya dengan pura-pura jatuh miskin. Selama proses persidangan, menurutnya sangat dimungkinkan pelaku menghilangkan aset yang dimiliki, sehingga terlihat tidak punya harta lagi untuk membayar restitusi. Umumnya pelaku juga lebih memilih menambah masa hukuman satu tahun ketimbang membayar restitusi.
"Restitusi materiil dan immateriil ini dihitung oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK, Red). Ini memang perlu dikawal, karena di Pasal 54 UU TPPO apabila tidak mampu membayar restitusi, ada subsider kurungan maksimal satu tahun. Takutnya pelaku berfikir, lebih baik dihukum saja daripada harus bayar ganti rugi. Ini tidak boleh dibiarkan. Pelaku tidak boleh lepas dari kewajibannya membayar restitusi untuk memberikan efek jera," kata Hariyanto.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
BERITA TERKAIT

Pura-pura Miskin, Pelaku TPPO Sering Lepas dari Kewajiban Bayar Restitusi

Kasus 1.900 Mayat WNI, Kapolri: Tindak Tegas Siapa Saja yang Terlibat Perdagangan Orang!

Marak Kasus Job Scam, DPR: Pemerintah Harus Mitigasi demi Keselamatan WNI

Jadi Korban Perdagangan Orang di Kamboja, Wanita Asal Sukabumi Disekap dan Tak Diberi Makan

Puluhan WNI Korban Perdagangan Orang di Myanmar Tiba di Tanah Air

Tidak ada komentar:
Posting Komentar