Sejarah Perkembangan Wayang dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat | Kesenian dan Hiburan › LADUNI

 

Sejarah Perkembangan Wayang dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat | Kesenian dan Hiburan › LADUNI.ID

Sejarah Perkembangan Wayang dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

Daftar Isi Sejarah Perkembangan Wayang dan Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat

Laduni.ID, Jakarta -Seni pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa merupakan kesenian tradisonal yang mampu bertahan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan segala aspek perubahan-perubahannya. Perkembangan seni pertunjukan wayang di pengaruhi oleh kondisi sosial, yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi seni pertunjukan wayang.

Sejarah perkembangan wayang secara konseptual merupakan perpaduan dari beberapa unsur kebudayaan yang masuk di Indonesia (Jawa), yakni kebudayaan India dengan Agama Hindu-Buddha dan Islam dengan tasawufnya. Indikator perubahan fungsi wayang dalam masyarakat adalah perubahan pakeliran dalam wayang sebagai industri untuk memenuhi pasar hiburan. Perubahan fungsi ritual dapat dilihat dari memudarnya nilai-nilai tuntunan atau moral dalam wayang, sehingga wayang hanya mempunyai fungsi hiburan atau tontonan dan sebagai pertunjukan populer.

1. Sumber Sejarah Wayang
Data akurat mengenai sumber-sumber sejarah wayang dapat ditelusuri dari berbagai sumber sejarah, yakni prasasti, kepustakaan Jawa Kuna ataupun dari relief yang terdapat di bangunan Candi. Adapun penjelasan dari sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut:

1.1 Prasasti
Prasasti yang menyebutkan adanya penggunaan nama “mawayang” adalah prasasti pada zaman Prabu Dyah Balitung tahun 829 Saka (709 M).

“...sinalu macarita bhima kumara mangingal kicaka/si jaluk macarita Ramayana/ mamirus mabanol si muk muk/ si galigi mawayang buat hyang macarita bhima ya kumara...”.

(“Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh Sang Tangkil, Hyang si Nalu bercerita Bhima kumara dan menarikan Kicaka. Si jaluk bercerita Ramayana, menari topeng dan melawak oleh Si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk hyang (arwah nenek moyang) dengan cerita (Bhima) kumara”).

Prasasti tersebut memuat peristiwa penting, yakni terkait dengan digelarnya pentas pewayangan. Dalam prasasti tersebut diterangkan pementasan pergelaran wayang yakni menyanyi (menembang), bercerita dan memainkan wayang. Sisi menariknya adalah memainkan wayang untuk arwah nenek moyang, dapat dikatakan wayang digunakan sebagai ritus religius. Dengan demikian pada masa tersebut sudah ada pentas wayang, digemari oleh masyarakat, digunakan sebagai ritus religius dan yang menyelenggarakan adalah orang penting (raja).

Prasasti lain yang mengindikasikan digunakannya kata “wayang” dengan nama “ringgit” adalah  Prasasti  Jaha  tahun  762  saka  (840  M). Dalam Prasasti Wahara Kuti tahun 762 saka (804 M)  dan  Prasasti  Mantyasih  826  saka  (904  M) ditemukan kata “hatapukan” atau “matapukan”.

Dalam Prasasti Candi Perot tahu 772 saka (850 M) ditemukan kata “manepel” dan Prasasti Wilamaasrama tahun 952 saka (930 M) ditemukan kata “wayang wwang”.

Berdasarkan sumber dari prasasti setidaknya dapat dilacak keberadaan wayang, yakni sekitar abad IX sudah ada wayang. Wayang sudah dipentaskan digunakan sebagai ritus religius. Bentuk wayang masih sederhana dan peralatan penunjang wayang juga masih sederhana. Masyarakat sangat antusias dengan pergelaran wayang. Wayang menjadi hiburan yang merakyat. Wayang berkembang dan tumbuh akibat peran serta dari keraton, yang artinya adalah penguasa.

1.2 Kepustakaan Jawa Kuna
Sumber sejarah wayang selanjutnya adalah dari kepustakaan Jawa Kuna. Dalam lontar kakawin “Arjuna Wiwaha” karangan Mpu Kanwa pada masa Prabu Airlangga kurang lebih tahun 1030 masehi, di tulis di pupuh Cikharini kaping 9 sebagai berikut:

“Hananonton ringgit manangis asekel mudha hidhepan huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha ta wihikana ri tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa siluman”

(“Ada orang menonton wayang, menangis, sedih, kacau hatinya. Telah tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak dan bercakap itu. Begitulah rupanya orang yang lekat akan sasaran indera, melongo saja, sampai tak tahu, bahwa pada hakikatnya mayalah segala yang ada, sulapan belaka”).

Selanjutnya dalam kakawin Wrtasancaya karangan Mpu Tanakung, di pupuh 93 “madaraka” sebagai berikut:

“Lwir mayawang tahen gati nikang wukir Kineliran himawang anipis Bungbung ikang petung kapawananYateka tudunganya munyangarangin, Paksi ketur salundinganika Kinangsyani pamangsuling kidang alon.

(“Ketika itu pemandangan alam sangat indah dan permai selaras adanya. Gunung-gunung bertanaman penuh, Pohon-pohonnya laksana wayang kulit yang ditancapkan pada gedebog. Mega tipis yang hampir tak kelihatan meliputi alam laksana kelir. Bambu-bambu petung berlobang tertiup angin menimbulkan bahana laksana tudungan (suling) yang seakan-akan datangnya dari jauh, sangat menarik hati. Suara gemak terdengar laksana suara kempul gong. Di antara kesemuannya itu suara teriakan kijang dari jauh terdengar sayup-sayup menyamai bunyi saron yang dipukul  imbal (bergantian). Suara burung merak yang melampiaskan hasrat asmaranya, suaranya terdengar sangat merdu laksana lagu madraka yang meluluhkan hati”).

Berdasarkan penelusuran dari dua sumber sejarah, yakni prasasti dan kepustakaan Jawa Kuna yang diambilkan dari beberapa kakawin, yakni Arjuna Wiwaha, Wrtasancaya, Kitab Tantu Pagelaran, sampai pada kakawin Bhatarayuda pada zaman Majapahit. Sumber sejarah itu dapat digunakan untuk mengambil suatu kesimpulan tentang keberadaan wayang. Berdasarkan sumber wayang sudah ada sejak abad kurang lebih IX. Walaupun jauh sebelum abad IX sudah ada wayang dalam bentuk yang sederhana dan sebagai medium menyembah arwah nenek moyang. Dengan merujuk sumber sejarah prasasti dan kakawin dapat diketahui wayang itu berkembang dan terdapat evolusi dalam wayang. Sifatnya wayang adalah dinamis menyesuaikan sosiokultural masyarakatnya. Secara psikologis wayang tidak bisa hilang dalam benak masyarakat.

Wayang pada abad IX merupakan wayang dalam wujud yang lebih sempurna. Wayang sudah dipentaskan, digelar yang menonton adalah masyarakat. Wayang pada masa tersebut sudah mewujud dalam bentuk wayang yang dipentaskan. Pementasan wayang pada masa itu masih sederhana dan kegunaannya masih sama, yakni bersendikan magis-religius, salah satunya sebagai upacara keagamaan.

Sumber sejarah dari prasasti mempunyai bobot sejarah yang tinggi yang dapat dipertanggungjawabkan. Menulis di prasasti mempunyai tujuan mencatat dengan cermat dekrit raja, tanggal dekrit raja, para pejabat yang melakukan upacara-upacara magis-religius, semua ihwal tersebut dicatat dengan rinci dan teliti. Dapat dikatakan prasasti merupakan sumber sejarah yang otentik. Prasasti jumlahnya banyak dan bertebaran di mana-mana. Setiap kerajaan yang ada di Nusantara dapat dipastikan ada prasastinya. Prasasti merupakan suatu penanda peristiwa penting. Sumber sejarah selanjutnya adalah kakawin sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Dengan demikian dengan merujuk sumber-sumber sejarah dari prasasti dan kakawin dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Perujukan dengan prasasti dan kakawin berdasarkan penelitian para ahli yang sudah mensahihkan prasasti maupun kakawin sebagai sumber sejarah. Sebagai sumber sejarah prasasti di tulis dengan cermat dan teliti, dengan kecermatan dan ketelitian tingkat akurasi prasasti tinggi. Sesuatu yang di tulis ke dalam prasasti merupakan penanda adanya suatu peristiwa penting pada zamannya. Wayang kalau ditulis ke dalam prasasti merupakan peristiwa yang penting.

2. Perkembangan Wayang
Wayang dari bentuknya yang sederhana kemudian menjadi bentuk yang sekarang ini telah mengalami perkembangan menyesuaikan zamannya dan adanya evolusi. Berikut perkembangan wayang dari zaman ke zaman sebagai berikut:

a. Prabu Jayabaya di Mamenang menggambar leluhurnya kemudian dinamakan “wayang purwa”. Prabu Jayabaya kemudian dikenal sebagai pencipta wayang pertama kali. Prabu Jayabaya adalah raja dari Kerajaan Kahuripan, Kediri, yang memerintah tahun 1135-1157. Pada masa ini juga mulai ada pertunjukan wayang.

b. Padan tahun 1145, pada masa Raden Panji Kasatrian menjadi raja di Kerajaan Jenggala yang bergelar Prabu Surjamisesa, diadakan pertunjukkan wayang purwa. Dalang dari pertunjukkan wayang tersebut adalah Raden Panji Kasatrian sendiri. Pada zaman ini wayang kulit purwa menggunakan iringan gamelan slendro dan menggunakan suluk sekar ageng.

 c. Pada tahun 1166, ketika Kerajaan Jenggala sudah hancur, yang menjadi raja adalah Prabu Maesakandremen yang bertempat di Kerajaan Pajajaran. Ia juga menciptakan wayang purwa yang mirip dengan wayang purwa buatan dari Jenggala.

d. Pada tahun 1283, masa kerajaan Majapahit yang menjadi raja adalah Raden Jaka Sesuruh bergelar Prabu Branata. Ia membuat wayang purwa yang digambar pada kertas yang lebar. Wayang tersebut kemudian disebut sebagai wayang beber.

e. Ketika masa kerajaan Majapahit yang menjadi raja adalah Prabu Brawijaya I, ia menugaskan anaknya untuk menggambar bentuk dan corak dengan beraneka warna menurut adegan masing-masing. Prabu Brawijaya I menugaskan hal tersebut kepada anaknya karena anaknya pandai menggambar. Masa pembuatan wayang tersebut terjadi pada tahun 1301. Semenjak masa itu, setiap pergantian raja, wayang juga mengalami perubahan wujud dan bentuk.

f. Pada tahun 1443, berdasarkan usulan Sunan Kalijaga, para wali menciptakan wayang purwa dan dibuat satu-satu. Adapun bahan untuk membuat wayang adalah kulit kambing. Masing-masing wayang dijapit satu-satu yang berguna untuk tempat menancapkan. Sedangkan tangan wayang masih diiris seperti wayang Bathara Guru.

g. Pada tahun 1447, masa R. Trenggono menjadi Sultan III dikerajaan Demak, menyempurnakan wayang purwa dengan menatah mulut, mata, dan telinganya.

h. Pada tahun 1480, ketika Sunan Ratu Tunggal di Giri mewakili raja di Demak, membuat perubahan terhadap wayang purwa. Wujud wayang diperkecil dan kemudian disebut sebagai wayang kidang kencana. Dalam wayang kidang kencana yang perempuan diberi perlengkapan anting-anting, kroncong, dan sebagainya. Sedangkan wayang laki-laki rambutnya ada yang dikonde dan ada yang tidak.

i. Tahun 1485, Sunan Giri membuat wayang gedog mirip dengan wayang purwa.

j. Tahun 1486, Sunan Bonang membuat wayang gedog, menggunakan tabuhan rebab, kendang, terbang, angklung, kenong dan keprak.

k. Pada tahun 1505, masa Jaka Tingkir menjadi Sultan di Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya, membuat wayang purwa dengan melakukan sedikit perubahan.

l. Pada tahun 1542, ketika Panembahan Senopati menjadi raja di Mataram, membuat wayang purwa dengan dasarnya wayang ciptaan Pajang.

m. Pada tahun 1552, pada masa Sunan Prabu Cakrawati di Mataram, membuat wayang purwa dengan dasarnya dari wayang kidang kencana, tetapi sedikit dilakukan perubahan.

n.    Ketika yang menjadi raja di Mataram (Mataram III) adalah Sunan Kanjeng Sultan Agung, juga membuat wayang purwa. Perkembangan wayang sebagaimana dirinci merupakan hasil evolusi dalam jangka waktu yang panjang. Wayang selalu dikreasi, direkonstruksi dari wujud yang sederhana menjadi wujud yang lebih sempurna.

Perubahan wayang yang rekonstruktif dan paradigmatis dikatakan oleh para ahli karena masuknya agama Islam yang berkembang di Jawa. Perubahan pada wayang beralih dari yang realistik- naturalistik menjadi abstrak dekoratif dan abstrak simbolik. Gambar dalam wayang bukan terlahir dari pengamatan visual akan tetapi hasil dari ekspresi pembuatnya.

Berpijak pada teori Herbert Read sebagaimana yang dikutip Sulanjari, wayang berasal dari alam, kemudian ditransfer dalam bentuk gambar tetapi tidak melalui pengamatan visual. Dapat dikatakan wayang adalah hasil ekspresi apa yang telah dilihat, didengar dan didengar oleh penciptanya. Bentuk wayang yang unik akibat dari pencipta yang ingin merekam alam dengan selengkap-lengkapnya. Misal kalau melihat bentuk wayang lima jari kaki yang dilukiskan apa adanya.

Wayang adalah manifestasi multi-seni, di dalamnya terdapat kebulatan, kesatuan dalam penciptaan, penyajian dan pemirsaan. Wayang dibuat untuk dipentaskan, sehingga perubahan yang terjadi pada satu unsurnya akan terasa pengaruhnya pada unsur lain. Kebulatan ini kemudian disepakati dan di pahami bersama sebagai sesuatu yang sempurna. Wayang sebagai simbol yang telah disepakati, oleh karena itu akan melahirkan kontroversial. Perubahan itu akan membentuk sesuatu yang baru, bukan menyempurnakan yang telah ada.

Wayang terus dikembangkan dan dikreasikan. Para seniman wayang melakukan berbagai eksperimen, menyajikan wayang yang menarik untuk di pentaskan. Misalnya bentuk wayang yang dipentaskan oleh Almarhum Ki Enthus Susmono, dalang kondang dari Tegal Jawa Tengah. Selain sebagai dalang Almarhum Ki Enthus Susmono pernah menjabat sebagai Bupati Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Setiap pementasannya menyajikan bentuk-bentuk wayang yang atraktif dan menarik. Misal menciptakan wayang Jokowi, Ahok, dan sebagainya. Dengan demikian wayang terus berkembang dan dinamis menyesuaikan dengan perubahan sosikultural dalam masyarakat.

3. Fungsi Wayang
Fungsi wayang dapat ditinjau dari berbagai multipersepektif. Fungsi wayang adalah sebagai media efektif dalam menyampaikan pesan, informasi dan pelajaran. Wayang dulu digunakan sebagai media efektif dalam menyebarkan agama mulai dari agama Hindu sampai agama Islam. Karena begitu luwesnya wayang hingga saat ini eksistensinya masih kuat dan digunakan untuk berbagai keperluan.Fungsi asalnya, wayang merupakan ritual yang ditujukan untuk roh leluhur bagi penganut kepercayaan “hyang”. Selanjutnya, wayang mengalami pergeseran peran, yaitu sebagai media komunikasi sosial. Dalam lakon-lakon yang ditampilkan dalam perwayangan biasanya menyimpan beberapa nilai, seperti pendidikan, kebudayaan dan ajararan-ajaran dari filsafat Jawa. Peran ini lambat laun mengalami pergeseran, hingga wayang hanya sebatas hiburan atau tontonan.

Ditinjau dari aspek seni pertunjukan fungsi dan peran pertunjukan wayang purwa dapat dirinci sebagai berikut:,

  1. Sebagai sarana ungkap orang Jawa dalam memahami alam semesta, baik rohani maupun bendawi.
  2. Penghubung antara budaya tradisional klasik (baca kraton) dengan budaya tradisional kerakyatan.
  3. Frame of referance dalam menyeimbangkan ekspresi moral (etika), keindahan seni (estetika), peribadatan (devosional), dan hiburan.

Apabila ditinjau dari aspek wayang diartikan sebagai bayangan adalah:,

  1. Semua wayang dipentaskan pada waktu malam hari dengan menggunakan penerangan yang disebut “blencong”. Deskripsi “blencong” adalah lampu diatasnya dalang untuk menerangi pementasan wayang. Efek cahaya blencong menimpa gambar yang ada di depan kelir (layar) sehingga menghasilkan bayangan di atas layar. Bayangan itulah yang disebut dengan wayang atau pertunjukan.
  2. Wayang sebagai lambang perikehidupan manusia. Dewasa ini melihat wayang dapat dilakukan dari dua arah pandang, yaitu depan kelir dan belakang kelir. Menurut bagian yang di depan kelir yaitu bagian yang terang melambangkan suatu kehidupan di alam fana, sedang di belakang kelir atau bagian gelap, melambangkan kehidupan di alam baka.
  3. Wayang sebagai lambang perwatakan manusia. Pada waktu melihat pementasan wayang, kita dapat  melihat  bermacam-macam  bentuk  figur wayang. Perbedaan tersebut bukanlah hanya segi visualnya saja melainkan pesan yang terdapat pada bentuk figur tersebut juga akan berlainan. Misalnya tokoh Janoko yang mempunyai bentuk figur luruh sebagai lambang dari watak kesatria yang rendah hati akan berlainan dengan bentuk Sengkuni yang licik .

Wayang sebagai seni dekoratif merupakan ekspresi kebudayaan nasional. Wayang sebagai media pendidikan, berdasarkan tinjauan isi wayang yang banyak memberikan ajaran moralitas kepada masyarakat. Wayang sebagai media pendidikan memfokuskan pada pendidikan moral dan budi pekerti. Wayang sebagai media komunikasi, dari aspek penampilan wayang merupakan media yang komunikatif dalam masyarakat. Wayang digunakan sebagai sarana memahami suatu tradisi, pendekatan kepada masyarakat, penerangan dan penyebarluasan nilai-nilai. Sedangkan wayang sebagai media hiburan, wayang difungsikan sebagai sarana hiburan, tontonan bagi masyarakat yang bisa digunakan berbagai macam keperluan sarana hiburan.

Dari tinjauan multiperspektif fungsi wayang merupakan sarana, media untuk pembentuk manusia seutuhnya. Fungsi wayang adalah sarana pembentuk manusia seutuhnya berdasarkan nilai-nilai dalam wayang. Hal ini sejalan dengan wayang adalah kesenian adiluhung. Korelasi wayang sebagai sarana pembentuk manusia seutuhnya, yakni diambilkan dari nilai-nilai dalam wayang adalah sarana pembentuk pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan suatu yang urgen dan fundamental, dengan adanya pendidikan karakter dapat membentuk pribadi yang mempunyai perilaku baik. Menurut  Lickona,  karakter  berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.

Wayang sebagai media pendidikan karakter tidak hanya terletak pada unsur ceritanya, cara pentas, instrumen, seni pedalangan, namun perwujudan gambar wayang dari masing-masing tokoh wayang. Perwujudan tokoh wayang dapat menggambarkan watak seseorang. Dari wayang dapat belajar tentang kepemimpinan, keberanian, keteguhan hati, kejujuran, ketulusan hati. Selain itu dari wayang bisa bercermin dari sifat angkara murka yakni tamak, iri dengki, bengis, serakah dan ambisius.

4. Perkembangan Wayang dalam Masyarakat

Masuknya agama Hindu di Nusantara disusul dengan masuknya agama-agama lain yakni Buddha dan Islam. Sebagaimana agama Hindu yang menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, agama Buddha juga menjadikan wayang sebagai media dakwah mengembangkan ajarannya. Ketika agama Islam berkembang, mubaligh Islam yang kemudian dinamakan Walisanga menggunakan wayang dan gamelan sebagai media dakwah ditransformasikan menjadi kesenian bernafaskan keislaman, wayang dilaraskan dengan ajaran-ajaran dalam agama Islam yang bersendikan Islam tasawuf

Kedatangan  agama Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, mendorong terjadinya perubahan yang besar di berbagai bidang kebudayaan, baik menyangkut perilaku manusia maupun hasil budayanya. Wayang mengalami perubahan besar mengalami perubahan secara total, baik menyangkut wujud maupun nilai yang terkandung dalam wayang. Di Jawa, wayang kulit dimanfaatkan dan dipergunakan untuk media dakwah agama Islam. Wayang mengalami transformasi dalam aspek visual dan aspek pendukung lainnya seperti karawitan, sastra dan sebagainya.

Perkembangan wayang melibatkan peranan dan pengaruh para ulama sufi dan pihak penguasa lokal yang telah memeluk Islam. Walisanga terlibat intensif dalam mengembangkan wayang, terutama Susuhunan Kalijaga dan putranya Susuhunan Panggung. Mereka berusaha keras untuk mendiplomasikan antara seni wayang yang berbau non-Islam dengan ajaran Islam. Berkat peranan mereka, seni wayang kulit oleh sebagian pihak dimaknai mengandung ajaran Islam (tarekat) dalam tiap aspeknya, meskipun masih berkisah tentang epik India Hindu-Buddha.

Wayang sebagai kesenian adiluhung, pada abad XIV pada masa Islam berkembang pesat di Nusantara yang disebarluaskan oleh walisanga dijadikan media dakwah yang efektif dan strategis. Para wali bersepakat menggunakan wayang sebagai media dakwah. Para wali merekonstruksi wayang dari Hinduistis ke Islamistis. Bentuk dan wujud wayang dipadukan dengan syariat Islam supaya tidak bertentangan. Wayang yang aslinya gambaran wajah manusia menghadap kedepan diubah menjadi miring dan pipih.

Dapat dikatakan wayang hingga menjadi bentuk saat ini adalah hasil evolusi, perubahan-perubahan dan hasil rekonstruksi pada masa Islam berkembang di Jawa yang diprakarsai oleh para wali. Wayang menjadi media yang strategis dalam mengembangkan suatu ajaran. Wayang tidak hanya sebagai tontonan media hiburan tanpa makna, namun juga sebagai tuntunan yang isinya ada nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan, sehingga wayang menjadi filosofi kehidupan atau filsafat kehidupan.

Secara konseptual sejarah perkembangan wayang adalah perpaduan dari beberapa unsur kebudayaan yang masuk di Indonesia (Jawa). Kebudayaan yang masuk ke Indonesia adalah kebudayaan India dengan Agama Hindu-Buddha dan Islam dengan tasawufnya. sehingga unsur kehinduan dalam wayang tidak dihilangkan, unsur-unsur kehinduan tetap dipertahankan. Cerita wayang mengambil dari epos Mahabharata-Ramayana, alur ceritanya tetap tidak berubah. Perubahannya terletak dalam paradigma wayang yakni  sufisme  atau  tasawuf.  Para  wali  merekonstruksi wayang dari Hinduistis ke Islamistis.

Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam kongres wayang 2005 mengatakan wayang dipadukan dengan ajaran agama Islam dengan mengambil cerita babon Hinduistis menjadi Islamistis. bentuk wayang dirombak total sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena Islam yang masuk dalam tanah Jawa merupakan Islam bercorak tasawuf, cerita wayang serasa sufistis. Penerapan akidah, syariah bersifat aplikatif, fikih dan ketahuidan dibungkus dengan berbagai simbol yang multitafsir.

Dari aspek perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Keraton mempunyai fungsi strategis dalam perkembangan seni pertunjukan wayang. Munculnya gaya-gaya pedalangan di ilhami oleh kehidupan kraton Jawa yakni kerajaan Mataram yang terbagi menjadi dua kerajaan. Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang membawa perkembangan dua gaya pedalangan yakni gaya pedalangan Surakarta dan gaya pedalangan Ngayogyakarta atau Mataram. Di sisi lain juga ada gaya pedalangan kerakyatan yang hidup di desa-desa. Pada perkembangannya dua gaya dalam pedalangan yakni gaya Ngayogyakarya dan gaya Surakarta populer di masyarakat pendukung pewayangan. Sampai saat ini masyarakat familiear dengan dua gaya pedalangan Ngayogyakarta dan Surakarta (Solo).

Perhatian keraton terhadap perkembangan pedalangan di buktikan dengan didirikannya pendidikan formal dalang yang di kelola dengan profesional. Di Surakarta atas prakarsa Paku Buwono X (1893-1939) yang dinamakan Pasinaon Dhalang Ing Surakarta kemudian di  singkat  PADHASUKA  berdiri  tahun  1923, bertempat di Museum Radya Pustaka. Berdirinya sekolah pedalangan di Surakarta memantik Keraton Ngayogyakarta untuk mendirikan sekolah pedalangan. Atas inisiatif dan perintah Sri Sultan Hamengku Buwana VIII (1912-1939), pada tahun 1925 didirikan pendidikan dalang dengan tradisi keraton Ngayogyakarta yang dinamakan Hambiwarakake Rancangan Andhalangan, terkenal dengan nama HABIRANDHA.

Bentuk pakeliran wayang tradisi keraton mengutamakan nilai estetis, Umar Kayam mengatakan tradisi agung. Sedangkan di luar keraton pedalangan yang berkembang di namakan tradisi kecil yakni pola kebudayaan dari masyarakat pertanian atau komunitas kecil. Dua kebudayaan dalam pakeliran pewayangan terdapat perbedaan yang paradigmatis. Perbedaan dua kebudayaan dalam pakeliran pewayangan seiring berkembangnya teknologi dan perubahan sosial dalam masyarakat membawa implikasi yang signifikan, yakni kehidupan kesenian pertunjukan wayang. Kehidupan pewayangan terjadi dialog atau komunikasi antara tradisi kecil dan tradisi agung.

Keterpaduan antara budaya keraton dan budaya rakyat terekspresi dalam pertunjukan wayang kulit semenjak munculnya dalang Ki Nartosabdo  (1960).  Kemunculan Ki Nartosabdo dalam jadad pakeliran pewayangan membawa implikasi terhadap dalang-dalang lainnya dalam menggarap seni pedalangan. Dengan demikian laju perkembangan yang progresif dari ilmu, teknologi dan ekonomi ikut mempengaruhi perkembangan dalam wayang. Wayang yang semula mengutamakan nilai-nilai estetis dan respek terhadap tradisi pedalangan, sekarang wayang tercampuri dengan kebudayaan Industri. Wayang hanya tontonan saja mulai meninggalkan nilai-nilai estetis dalam wayang.

5. Perubahan Fungsi Wayang dalam Masyarakat
Perubahan fungsi wayang dalam masyarakat karena adanya pergeseran dalam pertunjukan wayang yang dipengeruhi arus globalisasi yang progresif dan masif. Berkembangnya teknologi komunikasi modern membawa dampak ke barbagai aspek kehidupan termasuk kesenian. Sehingga menyebabkan perubahan paradigma dalam kesenian termasuk wayang. Perubahan-perubahan fungsi wayang dalam masyarakat adalah:

5.1 Perubahan Pakeliran Wayang
Perkembangan pembangunan pada abad XXI  membawa  dampak  yang  siginifikan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dampak pembangunan yang kentara bagi bangsa Indonesia adalah permasalahan dalam segala aspek kehidupan. Salah satu dampak yang menonjol adalah terjadinya perubahan sistem nilai. Nilai-nilai baru yang masuk dalam kehidupan bangsa Indonesia belum bisa dikatakan mantap dalam hal mengarahkan fungsinya sebagai acuan kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga yang terjadi adalah perongrongan nilai-nilai budaya tradisional, konsekuensi logisnya menimbulkan ketidakpastian fundamental dalam bidang norma dan nilai.

Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat akan membawa dampak hilangnya jati diri. Kemajuan teknologi komunikasi membawa dampak terjadinya persilangan kebudayaan. Kebudayaan hanya menjadi komoditas industri, sebagai akibat dari progresifnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan tidak bisa menghindarkan diri dari kebudayaan modern. Kebudayaan menjadi komoditas industri untuk pemenuhan pasar. Konsekuensi logisnya adalah bentuk-bentuk kebudayaan dan kesenian menyesuaikan dengan pasar. Dengan demikian suatu kebudayaan dan kesenian disajikan dalam rangka pemenuhan praktis mementingkan unsur hiburan. Hal tersebut berdampak dalam pertunjukan wayang yang cenderung memenuhi permintaan pasar dan cenderung glamour, lekoh, gobyog, mlaha. Dengan sendirinya pertunjukan wayang berubah dan mengabaikan nilai estetis dalam wayang

Fungsi wayang dalam masyarakat khususnya di daerah digunakan sebagai hiburan pemenuhan pasar. Pakeliran wayang dibuat menarik, atraktif dan glamour, sehingga penonton merasa senang dan terhibur. Dimulainya pentas pewayangan mengindikasikan dari sisi lakon pewayangan hanya disampaikan singkat. Lakon wayang yang disampaikan dengan singkat, lakon wayang yang memuat nilai-nilai, filosofi, simbol dan etika tidak tersampaikan dengan sepenuhnya. Pada akhirnya pentas pewayangan bisa dikatakan tidak mengena pada sasaran untuk menyampaikan pesan nilai yang terkandung dalam wayang. Dalang dan unsur-unsurnya terfokus pada unsur menghibur penonton.

5.1 Perubahan Fungsi Ritual Wayang Kulit Purwa
Wayang kulit purwa sarat dengan nilai, kandungan nilai dalam wayang kulit purwa berupa ajaran dan nilai estetis yang bersumber dari ajaran agama,  sistem  filsafat  dan  etika. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai dalam wayang digunakan sebagai acuan dan landasan untuk kelangsungan hidup. Nilai yang termaktub dalam wayang kulit purwa sudah terbukti keluhurannya, telah lulus dari berbagai ujian. Konsekuensinya nilai-nilai dalam wayang hingga saat ini masih dianut dan lestari dari masa ke masa.

Fungsi wayang dari aspek historis digunakan sebagai keperluan ritual. Fungsi ritual dalam wayang merupakan bentuk pertunjukan yang berasal dari kebudayaan pra-Hindu. Pertunjukan wayang kulit representasi persembahan roh nenek moyang pada masa pra-sejarah. Dengan demikian pertunjukan wayang kulit merupakan suatu kegiatan upacara yang berkorelasi dengan masalah kepercayaan. Kristalisasi dari pertunjukan wayang kulit oleh masyarakat Jawa digunakan sebagai fungsi ritual wayang untuk kepentingan seperti bersih desa, ruwatan dan lainnya. Fungsi ini masih lestari dalam masyarakat Jawa.

Wayang sejatinya sarat dengan nilai, kandungan nilai dalam wayang berupa ajaran dan nilai estetis yang bersumber dari ajaran agama, filsafat dan etika. Wayang secara historis di posisikan sebagai ritual yang sakral memuat nilai-nilai sakralitas yang teraplikasikan dalam ruwatan, bersih desa dan lainnya. Perkembangan seni pertunjukan wayang dipengaruhi oleh kondisi sosial, yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi seni pertunjukan wayang. Hal ini apabila di komparasikan dengan perkembangan wayang di daerah-daerah, fungsi wayang yang sejatinya sarat dengan nilai dan secara historis sebagai ritual mulai memudar. Pertunjukan wayang di daerah-daerah lebih mengarah ke pertunjukan populer.

Masyarakat daerah pada umumnya menonton wayang hanya sampai pada Limbukan dan Goro-goro yang menyuguhkan lawakan-lawakan dan nyanyian-nyanyian yang sifatnya menghibur. Perubahan fungsi wayang dalam masyarakat mengarah pada pertunjukan populer. Pertunjukan wayang yang sejatinya pertunjukan yang Adiluhung memudar. Nilai sakralitas dalam pewayangan yang teraplikasikan dalam bersih desa, ruwatan dan sebagainya jarang dipentaskan. Pertunjukan wayang lebih sering dipentaskan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pasar, sehingga pentas wayang yang teraplikasikan dalam ruwatan, bersih desa dan sebagainya mulai ditinggalkan.

Dari hasil penelitian dan pembahasan kajian perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat menunjukkan suatu indikator-indikator adanya perkembangan dan perubahan fungsi wayang dalam masyarakat. Indikator-indikator tersebut adalah adanya perubahan sosiokultural dalam masyarakat yang progresif, di sisi lain perkembangan teknologi informasi komunikasi juga berdampak signifikasn terhadap wayang. Konsekuensi logisnya adalah menjadi komoditas industri hiburan. Dampak yang dibawa adalah kesenian wayang menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Wayang dijadikan industri hiburan bagi masyarakat, nilai-nilai dalam wayang dengan sendiri akan terlepas sebagai jati diri wayang.

Dalam konteks masyarakat ada suatu fenomena yakni selesai limbukan penonton berduyun-duyun meninggalkan pentas pewayangan. Hanya tinggal beberapa orang dan beberapa orang itu menunjukkan yang mengerti dengan pewayangan.Hal ini berdampak pada fungsi wayang dalam masyarakat mengalami suatu perubahan, yakni menyesuaikan dengan kebutuhan pasar, wayang sebagai komoditas insdustri huburan yang praktis. Ditinjau dari sejarah perkembangan dan fungsi wayang yang di fungsikan sebagai sumber nilai, estetika dan sakralitas. Fungsi wayang kini ditinjau dari aspek pakeliran menyuguhkan hal-hal yang glamuor dan kekinian tanpa memintingkan estetika dalam wayang. Fungsi wayang sebagai ritual yang sakral memudar, wayang hanya dipandang sebagai tontonan yang menarik, sehingga wayang hanya sebagai hiburan atau tontonan dan mengarah ke pertunjukan populer.

6 Referensi

  1. Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang Kulit Purwa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  2. Dewabrata, Wisnu. 2011. Superhero Wayang.Yogyakarta: Crop Circle Crop.
  3. Guritno,  Pandam.  1988.  Wayang: Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
  4. Koesoemadinata, M.I.P. 2013. “Wayang Kulit Cirebon: Warison Diplomasi Seni Budaya
  5. Nusantara.” Journal of Visual Art and Design 4, no. 2, Desember 2013. Hlm. 142-154.
  6. Hadiatmaja, S. dan Endah, K. 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
  7. Nur Awalin , Fatkur Rohman  “Sejarah Perkembangan Wayang dan Perubahan Fungsi Wayang Dalam Masyarakat. IAIN Tulungagung, Tulungagung, Jawa Timur.
  8. Masroer, Ch. Jb. 2015. “Spiritualitas Islam Dalam Budaya Wayang Kulit Masyarakat Jawa dan Sunda.” Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama 9, no. 1, Januari-Juni 2015. Hlm. 38-61.
  9. Marsaid,  A.  2016.  “Islam  dan  Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara.” Jurnal Kontemplasi 4, no. 1 tahun 2016. Hlm. 102-130.
  10. Moleong,  Lexy  J.  2013.  Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
  11. Mulyono,   Sri.   1989.   Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
  12. Murtiyoso, B. 2017. “Fungsi dan Peran Pagelaran Wayang Purwa Bagi Pendidikan
  13. Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan Pengembangan Karakter Bangsa.” Jurnal Pendidikan Karakter 1, no. 1, Oktober 2011. Hlm. 18-34.
  14. Poespaningrat, Pranodja. 2005. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT.
  15. BP KR. Sastroamijoyo,  Seno.  1964.  Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta.
  16. Sedyawati,    Edy.    1981.    Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
  17. Sunarto.  1989.  Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuat Tinjauan entang bentuk, ukiran sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
  18. ________.  2006.  “Pengaruh  Islam  dalam Perwujudan Wayang Kulit Purwa.” Jurnal Seni Rupa dan Desain. No. 3, November 2006. Hlm. 40-51.
  19. ________.  2009.  Wayang Kulit Purwa, dalam Pandangan Sosio-Budaya. Yogyakarta: Arindo Offset.
  20. Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo: ISI Press.

Ingin tahu lebih lanjut seputar konten Laduni.ID yuk follow dan subscribe akun sosial media Laduni.ID di bawah ini.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya