Harga Beras Melambung, Ketahanan Pangan Limbung
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fimg2.beritasatu.com%2Fcache%2Fberitasatu%2F960x620-3%2F2023%2F10%2F1696302860-3000x1866.webp)
Jakarta, Beritasatu.com - Pemeo orang Indonesia belum kenyang sebelum makan nasi menggambarkan tingginya konsumsi beras. Di tengah tingginya kebutuhan masyarakat akan beras, krisis pangan akibat perubahan iklim mengadang dan ketegangan geopolitik turut mengancam ketahanan pangan Indonesia.
Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas atau National Food Agency/NFA) menunjukkan konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi kelompok padi-padian, terutama beras sebesar 65,7%.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras Indonesia dari Januari hingga Juni 2023 mencapai 18,4 juta ton, sedangkan produksi Juli hingga September 2023 diperkirakan mencapai 7,24 juta ton. Artinya, jumlah produksi beras dari Januari hingga September 2023 sekitar 25,64 juta ton. Angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan produksi beras pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 26,17 juta ton.
Sementara itu, konsumsi beras di Indonesia justru mengalami peningkatan. Proyeksi konsumsi beras nasional dari Januari hingga September 2023 diperkirakan mencapai 22,89 juta ton atau naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 22,62 juta ton.
Sebagai pembanding, laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat menyebutkan konsumsi beras global mencapai 521,37 juta ton pada 2022-2023. Indonesia adalah negara dengan konsumsi beras terbanyak keempat di dunia yang mencapai 35,3 juta ton, di bawah Tiongkok (154,9 juta ton), India (112,5 juta ton), Bangladesh (37,6 juta ton).
Dalam hal ketahanan pangan, laporan Global Food Security Index (GFSI) pada 2022 menunjukkan indeks yang dimiliki Indonesia hanya berada di angka 60,2 atau peringkat 63 dari 113 negara yang diukur. Indonesia berada di peringkat keempat negara-negara Asia Tenggara, di belakang Singapura (73,1), Malaysia (69,9), dan Vietnam (67,9).
Lemahnya ketahanan pangan Indonesia juga dapat dilihat dari ketergantungan Indonesia terhadap impor beras. Tahun ini, pemerintah berencana mengimpor 3,5 juta ton beras. Impor sebesar ini tercatat paling tinggi sejak krisis moneter 1997. Akibatnya, ketika beberapa negara melakukan proteksionisme dengan melakukan pembatasan ekspor, pasokan beras dalam negeri pun terancam. Kondisi ini diperparah dengan gagal panen akibat kekeringan atau El Nino, sehingga harga beras melambung.
BPS mencatat rata-rata harga semua jenis beras pada minggu pertama Oktober 2023 mencapai Rp 13.674 per kilogram (kg). Harga ini naik lebih dari Rp 1.500 per kg dibanding minggu pertama September 2023 yang masih berada di bawah Rp 11.900 per kg. Inflasi beras secara bulanan pada September 2023 mencapai angka 5,61%, sekaligus menjadi yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Bahkan, harga beras kualitas medium tahun ini mengalami kenaikan yang tidak biasa, yakni tembus Rp 12.685 per kilogram atau naik 29,6% sepanjang 2023.
Selain rumah tangga yang mengeluhkan kenaikan harga beras di pasaran, pengusaha kuliner juga terdampak oleh tergerusnya omzet akibat naiknya harga bahan pokok. Salah satunya dialami Ainul Yakin, pedagang bubur ayam di Kecamatan Cileungsi, Bogor, Jawa Barat.
Saat ditemui Beritasatu.com, Senin (9/10/2023), ia menyebut untuk membuat bubur biasanya menggunakan beras medium seharga Rp 11.000 per kilogram. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, harga beras naik hingga menyentuh Rp 14.000 per kilogram.
“Untuk harga jual bubur saya tetap Rp 10.000 per mangkuk, enggak dinaikin. Soalnya kalau dinaikin, pembeli lari. Akibatnya, omzet turun hingga 30%. Biasanya, jika satu dandang habis, bisa dapat 800.000 per hari, sekarang paling hanya Rp 500.000,” ungkapnya.
Hal senada dialami Ita Dasir, pemilik warung tegal (warteg) di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Sudah sebulan terakhir, Ita merasakan harga beras per karung melambung tinggi. Jika biasanya ia membeli beras sekitar Rp 500.000 per karung, kini dirinya harus merogoh kocek lebih dari Rp 700.000 per karung. Untuk mengakali kenaikan harga beras, dirinya terpaksa mengurangi porsi nasi yang dijual.
“Kadang-kadang ada pembeli yang protes, tetapi mau bagaimana lagi, karena memang harga bahan pokok naik. Kadang-kadang ada juga yang mungkin lagi diet, jadi mereka mau menerima,” kata Ita kepada Beritasatu.com, Selasa (10/10/2023).
Waspada Krisis Pangan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengingatkan masyarakat akan bahaya krisis pangan yang mengintai Indonesia. Perubahan iklim dan ketegangan geopolitik telah menjadi ancaman serius. Dampaknya terasa, terutama pada produksi beras yang menyusut akibat perubahan iklim.
Tidak hanya itu, negara-negara pengekspor beras, seperti India, juga telah menghentikan ekspornya untuk menjaga stok dalam negeri. Hal ini berdampak langsung pada kenaikan harga beras.
“Terjadi perubahan iklim dengan kemarau yang panjang, produksi panen beras menyusut, termasuk di Indonesia. Ketika India menghentikan ekspor beras, harga beras di seluruh negeri meroket, karena negara-negara lain mengikuti langkah serupa. Kita harus berhati-hati menghadapi situasi ini,” kata Jokowi dalam Rapat Pimpinan Nasional Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi) beberapa waktu lalu.
Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertanian Arief Prasetyo Adi membeberkan rencana pemerintah untuk mengalokasikan stok beras Bulog kepada para penggiling padi dengan tujuan menjaga stabilitas harga beras. Hal ini merupakan permintaan langsung Presiden Jokowi untuk segera melepas stok beras Bulog ke pasar demi mempercepat distribusi beras.
“Pak Presiden menyampaikan bahwa teman-teman penggiling padi sebaiknya menggunakan beras Bulog untuk dijual secara komersial. Maksudnya, para penggiling padi yang saat ini kesulitan mendapatkan gabah kering hasil panen dapat membeli beras tersebut untuk menjaga stabilitas pasokan,” ungkap Arief seusai rapat internal yang membahas ketersediaan pangan di kompleks Istana Kepresidenan.
Selain itu, Arief juga menyebutkan bahwa Presiden Jokowi meminta agar distribusi beras Bulog dipercepat. Nantinya, beras dari stok Bulog akan diambil dan dikemas ulang oleh para penggiling padi untuk menjaga sirkulasi beras di pasar.
Kuota Impor
Arief juga sedang mengupayakan percepatan tambahan kuota impor beras sebesar 1,5 juta ton pada akhir tahun ini sesuai dengan persetujuan dari Presiden Jokowi. Impor beras tersebut akan dilakukan bertahap.
“Kita perlu memastikan bahwa proses impor ini berjalan dengan baik, sehingga beras segera tersedia di pasaran. Impor beras sebesar 1,5 juta ton tersebut berasal dari berbagai negara dan akan masuk melalui delapan pelabuhan di seluruh Indonesia. Saya telah berkoordinasi dengan Pelindo untuk mempercepat proses pembongkaran beras di seluruh pelabuhan,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan impor beras dilakukan untuk menjamin ketersediaan cadangan pangan di tengah beragam kendala produksi beras nasional. Hal ini demi menjamin pasokan beras aman, khususnya dalam menghadapi momen akhir tahun.
“Pemerintah mendatangkan beras (impor, Red) untuk menjamin ketersediaan. Tentunya, kalau pemerintah yang mendatangkan dengan harga murah. Beras-beras ini akan kita salurkan ke seluruh Indonesia,” kata Budi saat meninjau kedatangan 24.000 ton beras dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Secara terpisah, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut tergantungnya Indonesia akan impor membuat ketahanan pangan negeri ini masih lemah. Hal ini merupakan ironi mengingat predikat Indonesia sebagai negara agraris.
“Selama Indonesia tidak mampu swasembada beras, negara ini akan terus bergantung pada impor. Akibatnya Indonesia terekspos risiko politik proteksionisme pangan global. Hal ini pernah terjadi saat krisis harga pangan global pada 2008,” ungkap Yusuf.
Pada 2022, Indonesia mengimpor 429.000 ton beras. Dari jumlah tersebut, sekitar 99% berasal dari empat negara, yakni India (41,6%), Thailand (18,7%), Vietnam (19,1%), dan Pakistan (19,7%). Ketergantungan Indonesia pada impor pangan masih sangat tinggi. Akibatnya, ketika India membatasi ekspor demi melindungi stok pangan dalam negeri, impor ke Indonesia juga mengalami masalah. Akibatnya, harga beras di Indonesia melonjak.
Senada dengannya, guru besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menilai pemerintah perlu mengubah konsep ketahanan pangan. Menurutnya, konsep saat ini terlalu fokus pada harga di konsumen, sementara peningkatan produksi, juga harus diperhatikan pemerintah.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fimg2.beritasatu.com%2Fcache%2Fberitasatu%2F620x350-2%2F2023%2F10%2F1696303095-3000x1930.webp)
“Saat ini, apabila harga di tingkat konsumen naik, pemerintah buru-buru menekan harga tersebut, misalnya dengan impor. Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan produksi, jangan impor terus-terusan,” katanya.
Konversi Lahan
Kendala lainnya yang menyebabkan produksi beras dalam negeri terus menurun adalah alih fungsi lahan sawah yang terjadi secara masif. Menurut Yusuf, saat ini di delapan provinsi sentra beras nasional, yakni Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, luas lahan baku sawah (LBS) telah mengalami penyusutan. Pada 2019, total LBS di delapan provinsi itu mencapai 3,97 juta hektare (ha), sedangkan pada 2021 susut menjadi 3,84 juta ha.
“Melindungi lahan sawah yang tersisa, terutama di Jawa, adalah kebijakan yang tidak bisa ditawar untuk ketahanan pangan di masa depan,” kata Yusuf.
Menurut data dari Kementerian Pertanian (Kementan), alih fungsi lahan pertanian mencapai 90.000 hingga 100.000 hektare setiap tahun. Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengungkapkan keprihatinannya terkait tren alih fungsi lahan sawah. Hal ini menjadi tantangan utama dalam meningkatkan produksi padi nasional.
"Di wilayah Sumatera, banyak lahan sawah irigasi yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Ini adalah langkah yang keliru, mengingat bahwa sebagian besar dari lahan tersebut telah dilengkapi dengan sistem irigasi yang sesungguhnya sangat cocok untuk bercocok tanam padi," kata Henry kepada Beritasatu.com.
“Dari total 7,46 juta hektare lahan sawah di seluruh Indonesia, tidak semuanya digunakan untuk menanam padi. Sebagian besar di antaranya telah diubah menjadi kebun kelapa sawit,” tambahnya.
Ia menilai dengan populasi Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa, lahan sawah seluas 7,4 juta hektare itu, terutama jika lebih dari setengahnya tidak dilengkapi sistem irigasi, tidak cukup untuk menunjang produksi padi nasional. Di lain sisi, perkebunan kelapa sawit justru mencapai hampir 16 juta hektare.
“Hampir 50% dari sawah kita bergantung pada hujan, bukan sistem irigasi. Itulah sebabnya kita berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih memfokuskan perhatiannya pada perbaikan infrastruktur atau pembangunan waduk penampungan air untuk sawah yang telah ada guna memaksimalkan produktivitas pertanian,” ungkap Henry.
Diversifikasi Pangan
Selain meningkatkan produksi beras dalam negeri, hal lain yang tak kalah penting adalah kebijakan diversifikasi pangan untuk mendorong masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan pokok lain selain nasi. Henry Saragih menilai diversifikasi pangan sebagai solusi mendesak dalam memperkuat ketahanan pangan di Indonesia.
“Diversifikasi pangan bukan lagi diperlukan, tetapi sudah mendesak. Indonesia sebetulnya memiliki beragam sumber daya alam yang berarti banyak alternatif sumber pangan utama yang dapat dinikmati,” kata Henry.
Menurut data Bapanas, Indonesia memiliki setidaknya 77 variasi sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 variasi rempah dan bumbu-bumbuan.
“Ada kesalahan pada masa Orde Baru, ketika masyarakat justru didorong untuk mengonsumsi beras sebagai pangan utama. Indonesia memiliki sejumlah pilihan makanan, seperti sagu, singkong, pisang, dan beragam bahan pangan lainnya yang seharusnya dimanfaatkan,” kata Henry.
Senada dengan Henry, Dwi Andreas Santosa juga menilai diversifikasi pangan dapat menjadi faktor kunci dalam memastikan ketahanan pangan Indonesia untuk masa depan yang lebih baik.
“Diversifikasi pangan sangat penting jika Indonesia ingin bertahan di masa depan. Kita perlu mencari cara untuk mengurangi konsumsi beras dan mencari sumber karbohidrat alternatif,” kata Andreas.
Ia juga menyebut pada awalnya, masyarakat Indonesia memiliki beragam sumber pangan utama yang bervariasi di setiap daerahnya. Namun, pada tahun 1970-an, pemerintah meluncurkan program raskin (beras untuk keluarga miskin) yang berusaha untuk menyediakan beras sebagai bahan pangan utama yang seragam bagi seluruh masyarakat.
Setelah beberapa puluh tahun, program ini justru memunculkan persoalan. Saat ini, masyarakat Indonesia sangat bergantung pada dua bahan pangan utama, yaitu beras dan gandum.
Pada tahun 1970-an, proporsi gandum sebagai bahan pokok hanya sekitar 4%. Namun pada 2021, angkanya telah mencapai 28%. Jika tren ini terus berlanjut, dalam waktu 100 tahun setelah kemerdekaan Indonesia, konsumsi gandum sebagai bahan pangan utama bisa mendekati 50%. Hal ini sangat berisiko karena 100% harus diimpor.
Ia mendesak pemerintah menggaungkan diversifikasi pangan. Ia juga mengusulkan langkah-langkah konkret untuk mengubah pola konsumsi masyarakat, termasuk melalui program pendidikan makanan di sekolah yang mendukung pangan lokal.
“Anak-anak kita sudah terbiasa dengan makanan berbahan baku gandum. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa mengubah kebiasaan ini? Hal ini merupakan tantangan yang luar biasa. Di banyak negara, ada program school feeding, yaitu program makan bersama di kantin sekolah yang disediakan oleh pemerintah dengan makanan lokal, sehingga anak-anak terbiasa dengan makanan tersebut,” ujar Andreas.
Reporter: Rama Sukarta, Rio Abadi, Vinnilya Huanggrio, Pudja Lestari, Euis Rita Hartati, Totok Subagyo, Harso Kurniawan; Kontributor: Desi Wahyuni; Editor: Thomas Rizal, Anselmus Bata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar