Menteri-menteri Jokowi di Pusaran Korupsi, Imbas Kabinet Kompromi
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fakcdn.detik.net.id%2Fvisual%2F2023%2F09%2F22%2Fpemasangan-bilah-pertama-garuda-kantor-presiden-ikn-1.jpeg%3Fw%3D400%26q%3D90)
Isu reshuffle atau perombakan kabinet kembali mencuat usai Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo disebut sudah jadi tersangka dalam perkara dugaan korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
Selain itu, ada nama Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo yang terseret kasus korupsi penyediaan menara pemancar (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung BAKTI Kominfo. Dito disebut menerima uang Rp27 miliar.
Sinyal reshuffle juga diperkuat oleh pernyataan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Dia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal bertemu para ketua umum partai politik koalisi terlebih dahulu sebelum reshuffle kabinet Indonesia Maju.
"Sebelum reshuffle akan dilakukan komunikasi politik dengan para ketua umum partai yang mengusung beliau khususnya PDI Perjuangan," kata Hasto di Gedung High End, kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (4/10).
"Apalagi PDIP baru saja mengusul suatu tema yang sangat penting terkait kedaulatan pangan untuk kesejahteraan rakyat," imbuhnya.
:extract_focal()/https%3A%2F%2Fakcdn.detik.net.id%2Fcommunity%2Fmedia%2Fvisual%2F2023%2F08%2F10%2Fsekjen-pdip-hasto-kristiyanto-2_169.jpeg)
Hasto mengatakan kedaulatan pangan menjadi program prioritas Jokowi. Bahkan, Jokowi sempat membisiki Ganjar agar bergerak cepat dalam menyiapkan konsep kedaulatan pangan, sehingga bisa dieksekusi setelah terpilih menjadi presiden.
"Yang penting adalah bagaimana di tengah persoalan hukum yang terjadi di Kementerian Pertanian, kepentingan petani yang sebentar lagi masuk masa tanam itu tidak boleh diabaikan, sehingga masalah ini harus secepatnya diatasi memberikan kepastian hukum," ujarnya.
Pengamat Politik Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai Jokowi memang seharusnya melakukan reshuffle kabinet. Apalagi, jika dua menterinya diyakini terlibat kasus korupsi. Reshuffle dinilai menjadi pertaruhan terakhir Jokowi di ujung masa jabatannya.
"Menteri yang diduga kuat terlibat korupsi sudah seharusnya diganti. Presiden Joko Widodo tidak perlu ragu untuk mengganti menterinya yang tersandung masalah hukum," kata Karyono kepada CNNIndonesia.com, Kamis (5/10).
Menurutnya, sikap tegas presiden sebagai kepala pemerintahan diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good government dan good governance), termasuk untuk reshuffle.
Karyono juga mengingatkan presiden tidak boleh serampangan dalam memilih menteri di kabinetnya. Dia menyebut presiden harus memilih menteri yang profesional, kompeten, jujur dan bersih.
Pasalnya, kata Karyono, berdasarkan data empiris tidak sedikit menteri dalam kabinet pemerintahan telah terjerat kasus korupsi. Sebagian besar dari mereka adalah menteri dari partai politik.
Selain Dito dan SYL yang diperiksa terkait dugaan korupsi, menteri-menteri lain era Jokowi telah lebih dulu ditahan atau menjalani vonis bui. Mereka yakni eks Menkominfo Johnny G Plate, eks Menpora Imam Nahrawi, eks Menteri Sosial Idrus Marham, eks Menteri Sosial Juliari Batubara, dan eks Menteri KKP Edhy Prabowo.
"Presiden harus memilih menteri yang profesional, kompeten, jujur dan bersih karena presiden yang diberikan hak prerogatif [memilih menteri] oleh konstitusi," ujarnya.
Karyono menilai banyaknya menteri yang tersandung korupsi harus menjadi bahan evaluasi presiden dalam menentukan dan menunjuk menteri dan pejabat lainnya. Hal itu penting dilakukan agar di kemudian hari citra pemerintah juga tidak tercoreng.
"Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan para pembantu presiden berdampak pada tingkat ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah," ujarnya.
Menurut Karyono, diperlukan azas prudential dalam mengangkat seseorang menjadi menteri. Namun, dia pesimis presiden bisa bijaksana dalam memilih menteri baru jika terjadi reshuffle.
Pasalnya, selama ini keputusan presiden dalam merombak kabinet lebih dominan mempertimbangkan kalkulasi politik.
Hal itu, kata Karyono, disebabkan oleh banyak faktor antara lain adanya sistem koalisi yang menghasilkan kabinet kompromi. Di satu sisi, presiden juga memiliki kepentingan untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen dalam rangka memuluskan agenda pembangunan yang memerlukan dukungan politik di parlemen.
"Dengan demikian, zaken [kabinet yang mengutamakan keahlian dari anggotanya] kabinet hanya sebatas mimpi," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar