Menyoal Urgensi Revisi UU MK & Potensi Politisasi Jelang Pemilu
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti sebut agenda revisi UU MK, terutama soal syarat usia minimal hakim merupakan permainan elite politik.Personel Brimob Polri berjaga di gedung Mahkamah Konstitusi jelang hasil putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Jakarta, Selasa (7/11/2023). Menjelang hasil putusan MKMK tentang sengketa dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi, gedung MK dijaga ketat oleh petugas keamanan untuk mengantisipasi kericuhan. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
“Pembahasan RUU MK merupakan upaya menaklukkan MK dalam hegemoni kekuasaan elite politik, apalagi dilakukan saat transisi tahun politik,” ujar Vio, sapaan akrabnya, dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/11/2023).
Vio heran, revisi UU MK tidak masuk dalam Prolegnas lima tahunan ataupun Prolegnas prioritas. Padahal, data PSHK mencatat ada 23 RUU yang mandek dan tidak berprogres dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2023.
“Tugas utamanya saja tidak dijalankan dengan optimal, tiba-tiba mau bahas revisi UU MK lagi. Ini memperlihatkan potensi kepentingan politik dan itikad buruk di balik pembahasan ini,” kata Vio.
Di sisi lain, Vio merasa pembahasan RUU MK dilakukan secara senyap. Pasalnya, hingga saat ini publik sulit mendapatkan akses draf revisi UU MK yang tengah dibahas.
“Pembentukan RUU ini juga tidak transparan, sampai saat ini kami tidak mendapatkan draf RUU dan naskah akademik, serta kami memantau jadwal di website DPR pun tidak kelihatan kapan jadwal-jadwal rapat pembahasan,” ungkap Vio.
Anggota Komisi III DPR cum anggota Panitia Kerja (Panja) Revisi UU MK, Johan Budi, membenarkan pihaknya dan pemerintah akan tetap melanjutkan pembahasan revisi UU MK. Politikus dari Fraksi PDIP itu membantah jika pembahasan revisi UU MK terkesan dilakukan tiba-tiba.
“Jadi pembahasan revisi UU MK itu sudah dilakukan sejak 3 sampai 4 bulan lalu dan sudah tahapan membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) saat ini antara pemerintah dan DPR, jadi ini bukan baru ini,” kata Johan dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/11/2023).
Menurut Johan, hingga saat ini pembahasan memang masih belum menemui titik temu dengan pemerintah. Ia mengklaim tidak ada perbedaan serius oleh fraksi-fraksi Komisi III DPR dalam pembahasan revisi UU MK.
“Di pemerintahan memang belum ketemu sepakat. Yang mengemuka dalam pembahasan sebelumnya adalah soal periodisasi MK, soal syarat umur hakim MK, dan soal tambahan waktu bagi ketua,” lanjut Johan.
Rencana revisi UU MK kian menguat sejak Komisi III DPR menggelar rapat kerja bersama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). Saat itu, Panja RUU dibentuk, adapun revisi menyasar empat poin, yaitu batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK (MKMK), serta penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Johan menambahkan, poin-poin pembahasan bisa saja berubah dan tidak terpaku pada empat rencana awal. Ia menilai pembahasan masih cair ke depan dan belum dapat menentukan kapan revisi UU MK dapat disahkan.
“Atau ya bisa juga tetap sama pembahasannya, lihat nanti kita bisa saja ada topik lain (dibahas),” tutur Johan.
Baca juga:
Revisi UU MK Membidik Saldi Isra?
Ia mendesak agar proses revisi UU MK, utamanya soal syarat minimal umur ataupun masa jabatan hakim konstitusi tidak dilakukan di masa-masa menjelang pilpres seperti saat ini. Hal ini agar rencana tersebut tidak menjadi alat intervensi kekuasaan atas independensi MK.
“Tidak mengherankan, ada upaya serius untuk mendepak hakim yang tidak sejalan dengan strategi pemenangan, dan salah satunya dengan mengubah UU MK, terutama syarat umur atau masa jabatan hakim,” kata Denny dalam keterangan tertulis, Selasa (28/11/2023).
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai revisi syarat usia hakim konstitusi adalah cara untuk mendepak Saldi Isra dari komposisi hakim MK. Pria yang akrab disapa Castro itu menyatakan, revisi ini hanya sebuah upaya untuk menundukkan hakim-hakim MK.
“Saya meyakini, perubahan syarat usia ini hanya akan menyasar hakim-hakim yang tidak memenuhi syarat usia, dan ini sasaran tembaknya adalah Saldi Isra. Hakim yang selama ini sulit diatur dan dikendalikan,” terang Castro dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/11/2023).
DPR dan Pemerintah disebut berencana menaikkan syarat batas usia minimal hakim konstitusi dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Selama ini, syarat usia hakim konstitusi sudah mengalami tiga kali perubahan. Awalnya sekurang-kurangnya 40 tahun, berubah menjadi sekurang-kurangnya 47 tahun dan maksimal 65 tahun, terakhir usia hakim konstitusi minimal 55 tahun.
Saat ini ada tiga hakim yang usianya dibawah 60 tahun. Saldi Isra saat ini 55 tahun, lalu ada Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic Foekh yang sama-sama berusia 58 tahun. Kendati demikian, Saldi Isra menjadi sorotan karena kerap menghasilkan putusan berbeda opini (dissenting opinion).
“Tidak ada urgensi revisi UU MK saat ini, apalagi menjelang pemilu. Jadi kalau dipaksakan, itu artinya sedang ada upaya politisasi MK sebagai lembaga peradilan (politicization of judiciary),” kata Castro.
Baca juga:
Hal senada diungkapkan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti. Ia menilai agenda revisi UU MK, terutama soal syarat usia minimal hakim, merupakan permainan dari elite politik untuk memastikan bahwa orang-orang yang bisa masuk MK adalah orang-orang yang mereka inginkan.
“Dengan cara untuk menyingkirkan orang-orang yang sebenarnya bagi warga secara umum nalarnya itu cukup baik gitu,” kata Bivitri dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/11/2023).
Dengan begitu, Bivitri menilai agenda revisi UU MK hanya merupakan jalan untuk menguntungkan politisi. Ia menepis anggapan DPR dan pemerintah bahwa revisi ini adalah upaya untuk memperbaiki MK.
“Padahal kebutuhannya bukan di situ. Kalau mau memperbaiki Mahkamah Konstitusi dengan referensi pada situasi yang sekarang, seharusnya dilakukan evaluasi dulu yang lebih mendalam,” jelas Bivitri.
Misalnya, kata dia, evaluasi soal rekrutmen dan pengawasan kinerja MK. Ia menilai harus dibuat pola rekrutmen yang setara, partisipatif, dan benar-benar terbuka juga untuk masyarakat sipil.
“Dan harus ada operasionalisasi dari kualifikasinya, misalnya kualifikasi negarawan,” kata Bivitri.
Bivitri menilai sudah seharusnya politikus Senayan dan pemerintah berhenti melakukan pembahasan revisi UU MK. Ia menyatakan akan lebih efektif jika dibahas dalam periode DPR dan pemerintahan selanjutnya.
“Jangan kejar yang sekarang, karena kalau ngejar sekarang 5 Desember lho paripurna. Jadi disetop saja, silakan nanti kita evaluasi besar-besaran pascasemua kepemiluan ini,” tegas Bivitri.
Respons MK
“MK tidak dilibatkan dalam proses revisi UU MK,” ujar Enny dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/11/2023).
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, mengaku justru baru tahu perkembangan pembahasan revisi UU MK dari media. Ia menilai MK tidak dalam kapasitas untuk mengomentari proses revisi tersebut.
“Itu wilayah pembentuk UU, MK tak ikut-ikutan mengomentari proses pembentukan UU,” kata Fajar dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/11/2023).
Baca juga:
Komentar
Posting Komentar