Kisah Guru di Pontianak Gagal 118 Kali Raih Beasiswa, Pantang Menyerah: Akhirnya Dapat LPDP - Tribunnews

Kisah Guru di Pontianak Gagal 118 Kali Raih Beasiswa, Pantang Menyerah: Akhirnya Dapat LPDP

By Ansari Hasyim
aceh.tribunnews.com

Kisah Guru di Pontianak Gagal 118 Kali Raih Beasiswa, Pantang Menyerah: Akhirnya Dapat LPDP

SERAMBINEWAS.COM - Rahmat Putra Yudha, seorang guru SMP di PontianakKalimantan Barat ini patut dicontoh.

Tak ada kata menyerah dalam hidupnya sebelum apapun yang menjadi cita-citanya dapat terwujud.

Satu kisah menarik dari Rahmat Putra Yudha ini adalah perjuangannya dalam mendapatkan beasiswa belajar.

Bukan hanya sekali atau lima kali dirinya berjuang, melainkan sudah 118 kali Yudha berjuang untuk mendapatkan beasiswa, namun gagal.

Tak menyerah, Yudha akhirnya kembali berjuang mendapatkan beasiswa dan akhirnya ia dinyatakan lulus untuk menerima beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Kisah perjuangan Yudha gagal 118 kali raih beasiswa dan akhirnya mendapat beasiswa LPDP ini viral di media sosial.

Salah satunya dibagikan oleh akun Instagram @folkshitt pada Selasa (28/11/2023).

"Goks! Perjuangan guru SMP yang akhirnya lolos beasiswa LPDP setelah gagal 118 kali," tertulis dalam narasi unggahan tersebut.

Dari unggahan yang hanya menampilkan foto-foto Yudha tersebut, sejumlah warganet pun membanjiri sang guru dengan berbagai pujian.

Lantas seperti apa kisah Rahmat Putra Yudha selengkapnya?

Yudha merupakan guru di SMPN 13 Pontianak yang telah diangkat sebagai PNS pada 2009.

Sejak lulus kuliah pada 2007, Rahmat Putra Yudha sudah mulai mendaftar berbagai beasiswa.

"Saya apply hampir seluruh beasiswa yang ada di dunia yang full scholarship, dan rata-rata saya jatuhnya di interview," kata Yudha, dikutip dari laman resmi LPDP, dikutip dari TribunJabar.

"Dari situlah saya gali kemampuan komunikasi dalam menyampaikan pendapat,”

“Bahwa mungkin ada kekurangan saya disitu," lanjut pria yang pernah bekerja sampingan sebagai tukang parkir tersebut.

Hingga akhirnya, Yudha pun mencoba untuk mendaftar beasiswa LPDP dan diterima.

Ketika memasuki tahap wawancara, Yudha ditanya mengenai kemungkinan dirinya tidak lagi lolos beasiswa.

Menjawab pertanyaan tersebut, Yudha merasa tidak ada masalah.

Ia hanya tahu dirinya tidak akan menyerah dan mencoba lagi.

Akhirnya, mimpi sang guru untuk bisa berkuliah di luar negeri akhirnya terwujud pada 2014.

Dirinya diterima sebagai awardee untuk menempuh studi Master of Education TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) di Wollongong University.

Yudha sempat mengikuti program pertukaran dosen ke Polandia saat masa libur kuliah tiga bulan.

Dalam waktu singkatnya itu, Yudha berhasil membentuk Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Polandia.

Menurut Yudha, hal tersebut merupakan salah satu pengalaman paling berkesan baginya.

"Hidup cuman sebentar dan saya perlu meninggalkan legacy kepada keturunan saya," ujar Yudha.

"Jadi saya perlu menjadi orang yang berbeda dan menjadi sumber karakter yang dapat mereka pelajari dan jadikan panutan," sambungnya.

Yudha juga dikenal sebagai guru yang punya prestasi dan terus berinovasi di sekolah tempat ia mengajar.

Misalnya sejak pandemi membatasi ruang gerak para guru, Yudha tanggap dengan membuat program virtual educator kepada para guru dan dosen.

Program tersebut bertujuan untuk memberikan pelatihan kepada para pengajar dalam menggunakan dan memaksimalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) akibat pandemi.

"Kita berhasil membuat program melalui virtual,”

“Kita latih segala macam platform pendidikan dalam PJJ dari pembuatan soal, media virtual, sampai ke animasi-animasi yang bisa dipelajari guru untuk membuat pembelajaran lebih menarik," jelas Yudha.

Dari program tersebut, para guru mendapat banyak akses premium dari Microsoft untuk menunjang aktivitas pembelajaran online.

Selain itu, mereka juga tidak kesulitan lagi saat harus menyimpan file bahan ajar karena diberikan penyimpanan online sebesar lima terabit.

Program yang diinisiasi Yudha ini melibatkan bantuan banyak pihak.

Ia berkolaborasi bersama Universitas Sebelas Maret (UNS), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Barat, pemerintah daerah, Ikatan Guru LPDP, dan banyak lagi.

Kontribusinya itu mengantarkan Yudha meraih IESA (International Education Summit And Award) pada 20 Desember 2020.

Pada 2019, Yudha lebih dahulu mendapat penghargaan Guru Inspiratif Kalimantan Barat oleh PGRI berkat keberhasilannya membentuk Penerbit Buku PGRI Provinsi Kalimantan Barat dan melahirkan banyak penulis.

Selain sibuk mengajar, Yudha juga menjalankan tempat kursus bahasa Inggris bernama Yudha English Gallery.

KISAH LAINNYA - Kisah Nita Guru Aceh Utara, Rela Tahan Lapar dan Jauh-Jauh ke Jakarta Demi Perjuangkan Kuota PPPK

Demi memperjuangkan haknya, seorang guru asal Aceh Utara rela jauh-jauh terbang ke Jakarta.

Ia rela menempuh jarak jauh dengan menggunakan uang pribadinya demi berkumpul dengan ratusan guru lainnya di Gedung DPR RI, Senin (6/11/2023).

Di tengah teriknya matahari di Ibu Kota, guru yang sudah berusia 57 tahun itu masih begitu semangat menatap gerbang gedung para perwakilan rakyat yang berlokasi di Senayan tersebut.

Matanya begitu menyala, meski wajahnya tampak lelah dan perutnya menahan lapar.

Namun semua itu tak menyurutkan semangat dan harapannya untuk mendapatkan haknya sebagai guru PPPK.

Guru asal Aceh Nita Erna Ramisah
Guru asal Aceh Nita Erna Ramisah

Sosok perempuan tangguh itu ialah Nita Erna Ramisah (57), guru Madrasah Tsanawiyah (MTs) asal Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.

Dilansir dari Kompas.com, Nita merupakan satu dari tiga perwakilan guru asal Aceh yang hendak menuntut penambahan formasi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) bersama Forum Passing Grade (FPG) PPPK Kementerian Agama (Kemenag).

Ia berharap segera mendapat kuota untuk menjadi guru PPPK pada tahun ini.

Sebab, ia tak punya banyak waktu jelang masa pensiunnya tiga tahun mendatang.

“Saya mendapatkan nilai passing grade. Seharusnya saya (dianggap) lulus, tetapi saya tidak dapat penempatan.

Saya berharap, kami yang sudah lulus passing grade-nya ini mendapat kuota di tahun 2023,” kata Nita saat diwawancarai di depan Gedung DPR.

“Kalaupun itu tidak bisa ter-cover untuk saya, minimal berikan saya inpassing di akhir masa purnabakti saya. Tiga tahun lagi saya pensiun,” sambung dia.

Tahan lapar dan lelah dalam perjalanan ke Jakarta

Nita bersama anggota FPG PPPK Kemenag lainnya yang berasal dari Sabang sampai Merauke menggunakan anggaran pribadi untuk datang ke Jakarta.

Nita mengaku menggunakan berbagai cara untuk mencukupi kebutuhan biaya demi bisa terbang ke Ibu Kota.

“Saya datang kemari jauh-jauh dengan berbagai cara. Pinjam-meminjam, ada dapat donasi sedikit. Kami ingin memperjuangkan (hak) ke orangtua kami, DPR RI yang sudah kami pilih. Perwakilan kami. Baik dari Aceh maupun seluruh Indonesia,” tutur Nita.

Ibu satu putri itu berangkat dari Aceh ke Bandara Kualanamu, Medan, Sumatera Utara, pada Kamis (2/11/2023) siang.

Perjalanannya menggunakan bus memakan waktu satu malam. 

Dari Bandara Kualanamu, Nita melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat ke Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Jumat (3/11/2023) pagi.

Ia menempuh perjalanan udara lebih dari dua jam menuju Bandara Soekarno-Hatta. “Hari Kamis itu saya masih mengajar delapan jam, pulang jam 13.00 WIB, langsung berangkat ke Kualanamu. Dari pagi saya belum makan,” kata Nita.

“Sampai di Bandara Soekarno-Hatta jam 09.00 WIB lebih, karena pesawatnya berangkat jam 06.45 WIB dari Kualanamu,” imbuh dia.

Nita terpaksa menahan lapar karena memiliki uang terbatas.

Ia dan teman-temannya hanya bisa menelan ludah melihat harga makanan restoran cepat saji di Bandara Soekarno-Hatta yang mencapai Rp 90.000 satu kotak.

“Karena enggak ada uang, kami enggak bisa makan di bandara. Kami duduk, (hanya) bawa air putih dan minum sambil menunggu jemputan,” tutur dia.

Di Bandara Soekarno-Hatta, Nita dkk menunggu hingga enam jam demi menumpang taksi online dengan tarif lebih murah.

“Awalnya kami lihat Rp 260.0000. Lalu, kami akhirnya dapat yang Rp 162.000. Belum lagi bayar tol, bayar parkir mobil, sehingga ongkosnya jadi Rp 240.000 dari bandara ke Ciputat,” lanjut Nita.

Nita dan teman-temannya pun sampai di rumah kos sewaan putrinya di Ciputat, Tangerang Selatan, sekitar pukul 15.00 WIB.

Sambil tersenyum pasrah, Nita bercerita bahwa dia langsung memesan semangkuk mi ayam setelah tiba di rumah kos putrinya.

Ingin dapat “penghargaan”

Sebagai pendidik generasi muda, Nita berharap bisa mendapat penghargaan lebih dari pemerintah.

Hal yang ia maksud yakni pendidik bisa mendapat gaji lebih layak.

“Kami enggak muluk-muluk minta. Cuma sedikit penghargaan. Jangan lebih tinggi gaji office boy daripada kami pendidik. Tugas kami mencerdaskan anak bangsa. Dari dosen, guru, penyuluh agama, berbagai kalangan kami tak dapat satu penghargaan profesi,” ungkap Nita.

“Coba dibayangkan, masih ada teman-teman kami digaji Rp 240.000 satu bulan. Kami yang mendidik, kami yang mencerdaskan anak bangsa sampai jadi presiden. Itu karena ada gurunya, tidak mungkin mereka jadi sendiri, pintar tanpa kami,” lanjut dia.

Saat ini, Nita sendiri mendapat gaji sekitar Rp 1,5 juta per bulan.

Itu pun masih di bawah upah minimum provinsi (UMP). Sebab, UMP Aceh berada di angka Rp 3,4 juta.

Nita berharap, para pendidik bisa mendapat gaji lebih layak melalui perjanjian PPPK.

Itulah sebabnya mereka menuntut penambahan kuota formasi tahun ini

Apalagi, mereka telah lulus passing grade pada ujian PPPK Kemenag tahun 2022.

“Kami tidak minta (jadi) PNS. Kami tahu usia kami mengabdi sudah lama. Usia kami sudah tidak mungkin jadi PNS. Kami hanya minta digaji sesuai dengan perjanjian PPPK,” ucap dia. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya