Hubungan Iran dan Israel Ternyata Pernah Mesra, Mengapa Sekarang Jadi Musuh Bebuyutan?

Teheran, Beritasatu.com – Iran kini muncul sebagai salah satu negara yang paling vokal menentang aksi brutal Israel di Gaza. Hal ini sejalan dengan kebijakan luar negeri Teheran yang anti-Israel. Kedua negara di Timur Tengah ini kerap digambarkan sebagai musuh bebuyutan.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam sejarahnya, Iran pernah berhubungan mesra dengan Israel.
Di bawah Dinasti Pahlavi, yang memerintah dari 1925 hingga digulingkan pada revolusi 1979, hubungan antara Iran dan Israel sama sekali tidak bermusuhan. Faktanya, Iran adalah negara mayoritas muslim kedua yang mengakui Israel setelah negara itu didirikan pada 1948.
Iran adalah salah satu dari 11 anggota komite khusus PBB yang dibentuk pada 1947 untuk merancang solusi bagi Palestina setelah kendali Inggris atas wilayah tersebut berakhir. Iran adalah salah satu dari tiga negara yang memberikan suara menentang rencana pembagian Palestina oleh PBB, yang berpusat pada kekhawatiran bahwa hal itu akan meningkatkan kekerasan di wilayah tersebut untuk generasi mendatang.
“Iran, bersama India, dan Yugoslavia, mengajukan rencana alternatif, solusi federatif yaitu mempertahankan Palestina sebagai satu negara dengan satu parlemen tetapi dibagi menjadi wilayah Arab dan Yahudi,” kata sejarawan Universitas Oxford Eirik Kvindesland.
“Itu adalah kompromi Iran untuk mencoba menjaga hubungan positif dengan negara-negara Barat yang pro-zionis dan gerakan zionis itu sendiri, dan juga dengan negara-negara tetangga Arab dan Muslim,” katanya.
Namun dua tahun setelah Israel berhasil merebut lebih banyak wilayah daripada yang disetujui PBB di Perang Arab-Israel pertama pada 1948, Iran, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Mohammad Reza Pahlavi, raja atau syah kedua Pahlavi, menjadi negara mayoritas Muslim kedua setelah Turki secara resmi mengakui Israel.
“Untuk mengakhiri isolasi di Timur Tengah, Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion menjalin hubungan dengan negara-negara non-Arab di pinggiran Timur Tengah, yang kemudian dikenal sebagai doktrin pinggiran. Pendekatan ini juga mencakup Etiopia, tetapi sejauh ini Iran dan Turki merupakan pendekatan yang paling berhasil,” kata Kvindesland.
Segalanya berubah setelah Mohammad Mosaddegh menjadi perdana menteri Iran pada 1951. Ia memelopori nasionalisasi industri minyak negara tersebut, yang dimonopoli oleh Inggris. Mosaddegh memutuskan hubungan dengan Israel, yang menurutnya hanya melayani kepentingan Barat di wilayah tersebut.
Menurut Kvindesland, upaya Mosaddegh dan organisasi politik Front Nasional Iran untuk menasionalisasi minyak, mengusir kekuasaan kolonial Inggris, dan melemahkan monarki negaranya adalah inti dari kisah utama rusaknya hubungan Iran dan Israel.
“Ada mobilisasi anti-zionis di Iran. Ada ulama Syiah yang berpengaruh Navvab Safavi, salah satu tokoh paling terkenal yang melakukan propaganda keras menentang zionisme dan pendirian Israel. Namun bagi Mosaddegh, tujuan utamanya adalah mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab di sekitarnya untuk memerangi kendali Inggris atas industri minyak,” kata Kvindesland.
Segalanya kemudian berubah secara dramatis ketika pemerintahan Mosaddegh digulingkan dalam kudeta yang diorganisir oleh badan intelijen Inggris dan Amerika Serikat pada 1953. Kudeta tersebut mengangkat kembali syah yang menjadi sekutu setia Barat.
Israel kemudian mendirikan kedutaan de facto di Teheran, dan akhirnya keduanya bertukar duta besar pada1970-an. Hubungan perdagangan tumbuh, dan Iran segera menjadi penyedia minyak utama bagi Israel, dengan keduanya membangun jaringan pipa yang bertujuan mengirim minyak Iran ke Israel dan kemudian Eropa.
Teheran dan Tel Aviv juga memiliki kerja sama militer dan keamanan yang luas, tetapi sebagian besar dirahasiakan untuk menghindari provokasi negara-negara Arab di kawasan.
“Israel membutuhkan Iran lebih dari Iran membutuhkan Israel. Israel selalu menjadi pihak yang proaktif, tetapi Syah juga menginginkan cara untuk meningkatkan hubungan Iran dengan AS, dan pada saat itu Israel dipandang sebagai cara yang baik untuk mencapai tujuan tersebut,” kata Kvindesland.
Sejarawan ini mengatakan bahwa syah terutama didorong oleh kebutuhan akan aliansi, keamanan dan perdagangan, tidak menunjukkan kepedulian terhadap Palestina dalam hubungannya dengan Israel.
Pada 1979, syah digulingkan dalam sebuah revolusi, dan Republik Islam Iran lahir. Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi, membawa pandangan dunia baru yang sebagian besar memperjuangkan Islam dan melawan penindasan dari negara Barat dan sekutunya.
Teheran kemudian memutuskan semua hubungan dengan Israel, warga Iran tidak bisa lagi melakukan perjalanan ke Yerusalem dan rute penerbangan dibatalkan. Bahkan dan kedutaan Israel di Teheran diubah menjadi kedutaan Palestina.
Khomeini juga menyatakan setiap Jumat terakhir bulan Ramadan sebagai hari Quds, dan sejak itu demonstrasi besar-besaran diadakan pada hari itu untuk mendukung warga Palestina di seluruh Iran. Yerusalem dikenal sebagai al-Quds dalam bahasa Arab.
“Untuk mengatasi perpecahan Arab-Persia dan perpecahan Sunni-Syiah, Iran mengambil posisi yang jauh lebih agresif dalam masalah Palestina untuk menunjukkan kredibilitas kepemimpinannya di dunia Islam dan menempatkan rezim Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat dalam posisi defensif,” jelas Trita Parsi, wakil presiden eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraf.
Permusuhan ini tumbuh selama beberapa dekade ketika kedua belah pihak berusaha untuk memperkuat dan mengembangkan kekuatan dan pengaruh mereka di wilayah tersebut.
Iran mendukung jaringan poros perlawanan yang terdiri dari kelompok-kelompok politik dan bersenjata di beberapa negara di kawasan ini, termasuk di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman, yang juga mendukung perjuangan Palestina dan memandang Israel sebagai musuh besar.
Selama bertahun-tahun, Israel juga telah mendukung berbagai kelompok yang menentang keras pendirian Republik Islam Iran. Teheran mengatakan ini termasuk sejumlah kelompok yang mereka tunjuk sebagai organisasi teroris, di antaranya adalah Mojahedin-e Khalq (MEK), sebuah organisasi yang berbasis di Eropa, organisasi Sunni di provinsi Sistan dan Baluchistan di tenggara Iran, dan kelompok bersenjata Kurdi yang berbasis di Kurdistan Irak .
Ketegangan antara Iran dan Israel tidak hanya terbatas pada ideologi atau kelompok proksi. Keduanya diduga berada di balik serangkaian serangan panjang terhadap kepentingan satu sama lain di dalam dan di luar wilayah mereka. Meski keduanya secara terbuka menyangkalnya. Hal ini dikenal sebagai perang bayangan yang semakin meluas seiring meningkatnya permusuhan.
Program nuklir Iran telah menjadi pusat dari target Israel. Negara zionis yang diduga juga memiliki lusinan senjata nuklir secara sembunyi-sembunyi ini telah berjanji tidak akan pernah membiarkan Iran mengembangkan bom nuklir. Teheran telah menegaskan kembali bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan sipil.
Israel dan AS diyakini berada di balik malware Stuxnet yang menyebabkan kerusakan besar pada fasilitas nuklir Iran pada tahun 2000-an.
Selama bertahun-tahun, ada banyak serangan sabotase terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran yang membuat Teheran menyalahkan Israel. Iran juga secara teratur mempublikasikan berita tentang upaya menggagalkan lebih banyak serangan sabotase.
Serangan tersebut juga menargetkan personel, termasuk sejumlah ilmuwan nuklir terkemuka. Pembunuhan paling berani terjadi pada 2020 ketika ilmuwan nuklir terkemuka Iran Mohsen Fakhrizadeh ditembak mati menggunakan senapan mesin yang dipantau satelit dan dikendalikan AI yang dipasang di bagian belakang truk pickup yang kemudian meledak untuk menghancurkan barang bukti.
Di sisi lain, Israel dan sekutu Baratnya menuduh Iran berada di balik serangkaian serangan terhadap kepentingan Israel, termasuk beberapa serangan drone terhadap kapal tanker minyak milik Israel dan serangan siber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar