Kubu Prabowo-Gibran: Amicus Curiae Tak Dikenal dalam UU MK
Kamis, 18 April 2024 | 11:18 WIB
Yustinus Patris Paat / RZL
Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Fahri Bachmid menilai putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak memiliki implikasi konstitusional serta hukum terhadap calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka. (Istimewa)
Jakarta, Beritasatu.com - Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid angkat bicara terkait amicus curiae atau sahabat pengadilan yang diajukan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Fahri, amicus curiae tidak dikenal dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK dan Peraturan MK (PMK) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Penyelesaian Sengketa Pilpres.
"Amicus curiae tidak dikenal dalam UU MK dan PMK Nomor 4 Tahun 2023, itu adalah bentuk lain dari intervensi yang sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK," ujar Fahri kepada wartawan, Kamis (18/4/2024).
Menurut Fahri, terdapat alasan mendasar mengapa UU MK tidak mengatur soal amicus curiae. Pasalnya, batu uji hakim MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk sengketa hasil Pilpres adalah konstitusi atau UUD 1945. Selain itu, dasar lainnya adalah fakta-fakta hukum yang secara terang benderang telah terungkap di dalam persidangan yang digelar secara terbuka untuk umum.
"MK tidak memutus suatu perkara konstitusi, termasuk sengketa hasil pilpres berdasarkan opini atau pendapat yang dikemas dalam bingkai amicus curiae. Apalagi ketika pihak-pihak yang mengajukan dirinya sebagai amicus curiae mempunyai conflict of interest secara subjektif terhadap perkara itu sendiri," tandas dia.
"Pihak-pihak itu tentunya mempunyai intensi agar memenangi perkara dengan mencoba mengunakan sarana hukum tersamar, amicus curiae atau bentuk lain dari intervensi yang sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK," tutur Fahri menambahkan.
Kubu Prabowo-Gibran, kata Fahri, mengajak semua pihak untuk membiarkan hakim membahas dan memutuskan perkara sengketa hasil Pilpres secara objektif dan imparsial, terutama pada masa-masa krusial rapat permusyawaratan hakim atau RPH.
"Pada prinsipnya hakim telah diperkaya dengan fakta dan alat bukti yang secara terang benderang telah terungkap dalam persidangan. Kami harapkan MK sejauh mungkin menghindarkan diri dari fenomena kontemporer amicus curiae ini," imbuh Fahri.
Lebih lanjut, Fahri menyatakan amicus curiae biasanya digunakan di negara dengan sistem hukum common law, sementara Indonesia menggunakan sistem hukum civil law. Namun, praktik tersebut tidak dilarang di Indonesia.
Secara yuridis, konsep amicus curiae di Indonesia diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Fahri menambahkan bahwa praktik amicus curiae lebih sering diterapkan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Fahri mengajak semua pihak untuk membiarkan hakim MK bekerja secara objektif dan imparsial, terutama saat rapat permusyawaratan hakim (RPH).
"Hakim telah memiliki fakta dan alat bukti yang terungkap dalam persidangan," ujarnya.
Simak berita dan artikel lainnya di
Google News
Ikuti terus berita terhangat dari Beritasatu.com via whatsapp
Bagikan
Komentar
Posting Komentar