Gaji Buruh Dipotong untuk Iuran Tapera, Untung atau Buntung?
tirto.id - Kebijakan pemerintah memotong gaji pegawai untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai kontra. Banyak pihak yang menilai program ini akan menambah beban masyarakat kelas menengah.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan, aturan baru soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 dapat menguntungkan bagi beberapa pihak. Salah satunya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin memiliki rumah pertama.
“Mereka bisa cukup banyak mendapat keuntungannya. Karena mereka bisa mendapatkan rumah dengan harga yang lebih murah, atau cicilan lebih murah,” kata Huda saat dihubungi Tirto, Selasa (28/2/2024).
Tetapi, dia menilai lebih banyak yang merasa dirugikan akibat terbitnya aturan ini. Antara lain mereka yang tidak bisa mengakses rumah murah dari BP Tapera, dikhususkan untuk MBR.
“Peserta ini lebih kepada skema investasi. Di mana mereka pendapatannya 2,5 persen dipotong untuk bisa diambil ketika mereka memasuki usia 58 tahun. Menurut saya, peserta yang investasi ini lah yang paling dirugikan dari adanya iuran Tapera,” nilai Huda.
Sebab, dalam aturan itu, Tapera tidak bisa diambil di tengah jalan. Dalam hal ini, Tapera hanya bisa dicairkan saat pekerja pensiun atau pekerja mandiri menginjak usia 58 tahun.
Selain itu, BP Tapera juga tidak pernah memberitahukan posisi investasi peserta. Tidak hanya itu, dengan nihilnya persetujuan akan ditempatkan di mana investasi para peserta Tapera.
“Di perusahaan kah? SBN (Surat Berharga Negara) kah? Atau di mana. Jadi tidak ada transparansi di sini,” ujar Huda.
Kemudian, saat menempatkan dananya di Tapera, para peserta berpotensi mengalami opportunity cost alias adanya biaya yang timbul karena kehilangan peluang karena memilih satu alternatif dibandingkan yang lain. Padahal, sebenarnya ketika menempatkan uang di instrumen investasi lain, alih-alih Tapera, para pekerja dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan.
Apalagi, jika BP Tapera atau manajer investasinya hanya menginvestasikan dana dari iuran peserta di SBN pemerintah. Hal ini terlihat dari porsi investasi Tapera yang 45 persen di antaranya ditanamkan di SBN, 47 persen di korporasi dan sisanya deposito.
“Nah, ketika (bunga) deposito naik karena BI rate naik, otomatis investor yang rasional memilih deposito dibandingkan SBN. Karena SBN yield-nya enggak akan mungkin naik, karena akan membebani pemerintah,” kata Huda.
Selain itu, menurut Huda, iuran Tapera bagi pekerja mandiri merupakan ‘aturan bodoh’. Pasalnya, bagi pekerja mandiri seperti pekerja lepas (freelancer), petani, pedagang, dan lainnya, tidak memiliki pendapatan tetap.
“Di sini, bagaimana kalau dia rugi? Atau tidak mendapat bayaran? Sedangkan dia masih tetap harus membayar iuran Tapera. Kalau enggak bayar, keanggotaannya malah dicabut dan uang yang sudah masuk hangus. Kan malah merugikan kalau gitu,” Huda.
Selanjutnya, belum adanya aturan soal pekerja mandiri secara rinci, justru membuat implementasi iuran Tapera kepada pekerja kategori ini menjadi tidak jelas.
Kemudian, dengan status pekerja mandiri, seharusnya pemerintah dapat membebaskan apakah para pekerja mandiri akan membeli rumah atau tidak, maupun di mana mereka akan menempatkan dana investasi.
“Kalau iurannya diambil dari hitungan pajak tahunan. Tapi ketika pajak tahunannya, misal di bulan satu, dua, tiga mereka tidak untung dan dibebankan lagi untuk membayar Tapera, jadi sangat tidak bijak sekali pekerja mandiri ini diberikan kewajiban membayar iuran Tapera,” ujar Huda.
tirto.id - Flash news
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin
Komentar
Posting Komentar