Boleh diceritakan salah satu pengalaman tak terlupakan selama Ibu menjabat Menlu RI?
Banyak momen yang enggak terlupakan, dalam artian setiap masa, masa menjalankan pekerjaan atau profesi sebagai diplomat itu setiap masa ada tantangannya. Pada saat saya masih muda, saya tentunya secara struktur masih ada di bawah. Tantangan kita itu betul-betul antara bagaimana bekerja dengan baik, sama ngurus anak-anak kecil dan sebagainya.
Dan itu sangat enggak gampang. Sangat enggak gampang, karena saya adalah perempuan. Sampai tantangan yang sudah pada saat kita menjadi dirjen, menjadi menteri, itu tantangannya berbeda juga. Bagaimana kita bisa mengambil sebuah keputusan yang tepat. Enggak gampang juga.
Jadi pengalaman yang paling gampang itu adalah yang paling terakhir. Misalnya seperti pada saat kita menjadi Presiden G20. Karena tidak ada satu pun pihak yang pada saat itu memprediksikan bahwa Indonesia akan berhasil.
Sudahlah enggak, Indonesia enggak bakalan. Dia bukan negara superpower yang bisa katakanlah mengatur semuanya. Indonesia adalah middle power. Perseteruan di antara G20 begitu hebatnya. Jadi semua orang prediksinya G20 akan akan bubar dan tidak akan menghasilkan apa-apa.
Ini konteksnya waktu itu 2022 sedang ada Covid19 dan juga perang Ukraina-Rusia ya, Bu?
Ya, jadi Covid 2020 terus kemudian perseteruan atau perang di Ukraina. Jadi kita tuh meyakinkan diri insyaAllah kita bisa. Dan kerja kerasnya sudah enggak bisa dibayangkan. Jadi saya harus datang ke satu capital ke capital lain, mendengarkan apa yang mereka inginkan, dan lesson learned lagi. Dan itu diperlukan upaya yang sangat luar biasa.
Tetapi sekali lagi, kalau saya bilang itu mukjizat. Itu tangannya Gusti Allah, tangannya Gusti Allah membantu kita mempermudah prosesnya sehingga di akhir presidensi kita, G20 masih bisa bekerja, masih utuh, enggak bubaran, dan menghasilkan deklarasi serta menghasilkan proyek-proyek yang bermanfaat bagi dunia.
Di Bali waktu itu Ibu sempat sakit kalau tidak salah?
Saya kena Covid itu. Sekali-sekalinya saya kena Covid sudah dalam kondisi yang sangat exhausted. Mungkin karena capek ya, jadi daya tahan tubuh juga menurun. Jadi bisa kebayang selama 3 hari saya demam tinggi. Tapi saya disiplin, saya pakai masker terus, setiap 4 jam saya minum obat.
Saya tuh minum obat supaya saya enggak tumbang. Sampai Pak Luhut waktu itu datang khusus ke saya, dia bilang gini, 'lo enggak boleh sakit, lo enggak boleh sakit. Lo sama gue enggak boleh sakit. Lo sakit, tumbang semuanya'. Jadi itu yang menjadi penguat saya. Saya enggak boleh sakit, saya enggak boleh sakit.
Jadi saya kalau sudah mulai meriang cepat-cepat minum obat, terus minum obat terus. Dan setiap kali saya mau keluar dari kamar hotel saya, pagi itu dokter masuk untuk ngecek semuanya. Tapi alhamdulillah semuanya berakhir.
Kita juga tahu ketika pandemi Covid-19 soal penyediaan vaksin juga membuat Ibu bekerja keras, bagaimana ceritanya, Bu?
Pada saat pandemi Covid-19 terjadi, tidak ada satu pun negara yang siap. Bahkan negara maju pun pada saat itu tidak siap karena datangnya cepat sekali dan berdampak pada banyak orang. Nah, di situlah pada saat kita pertama-pertama sudah mulai ada kasus di Indonesia dan sebagainya, kita sudah mulai berhitung bahwa ini akan jadi isu dunia.
Oleh karena itu dengan perhitungan-perhitungan yang sangat masak, akhirnya pada saat itu Bapak Presiden memanggil beberapa menteri untuk mengatakan kita harus mendapatkan vaksin. Di titik itu barangnya enggak ada, masih dikembangkan. Sementara kebutuhan banyak sekali, negara-negara berebut.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya kita bisa mendapatkan alokasi vaksin yang sampai selesai pandemi itu jumlah yang berhasil kita amankan sekitar 516 juta vaksin. 516 juta vaksin dan lebih dari 25% persen di antaranya kita bisa peroleh dengan gratis, yang berarti kita dapat menghemat APBN kita untuk membayar vaksin tersebut.
Nah, kenapa kita bisa berhasil? Pertama, kita gunakan semua networking kita agar kita dapat memperolehnya. Jadi istilah gampangnya begini, atau message-nya begini: Bertemanlah sebaik mungkin dengan sebanyak mungkin orang. Pada suatu saat, pertemanan itu yang akan menyelamatkan kita.
Dan it happened, it happened pada saat kita berusaha untuk mendapatkan vaksin. Alhamdulillah teman kita banyak. Jadi kadang-kadang, bagi dong. Dan pada saat itu rasa kemanusiaan memang sedang muncul ya.
Selain vaksin juga ada APD waktu itu?
Termasuk waktu itu APD. Waktu itu saya ingat banget bahwa dokter dan tenaga medis kita sudah jatuh satu per satu karena mereka tidak terproteksi dengan baik, enggak ada APD. Maka waktu itu Presiden mengatakan cari APD, dan kita tahu ada APD yang dijahit, ini sebenarnya proyeknya Korea Selatan, kerja sama Korea Selatan dengan Indonesia.
Jadi intinya gini, Korea Selatan kan membutuhkan APD, ini sebelum pandemi, jauh sebelum pandemi. Dia punya bahan mentah, bahan bakunya dibawa ke sini, dijahit oleh Indonesia. Kemudian APD ini dikembalikan ke Korea Selatan untuk keperluan rumah sakit-rumah sakit mereka.
Nah, waktu itu ada 220.000 APD yang sedang dalam proses penyelesaian di Indonesia oleh Korea Selatan. Ini barangnya Korea Selatan lho, bukan barang kita. Akhirnya saya bicara dengan Menlu Korea Selatan, waktu itu perempuan, sahabat baik saya namanya Menlu Kyung-hwa.
Saya bilang, bisa enggak kamu bagi sebagian APD untuk kami? Dokter-dokter kami sudah pada berjatuhan. Dia bilang, Retno kami di sana juga butuh sekarang dan sebagainya dan sebagainya. Terus akhirnya kita negosiasi 3 hari 3 malam untuk mendapatkan APD. Akhirnya dia mengatakan, you are my good friend, jadi kita bagi. Kita bagi separuh-separuh.
Maka angka 110.000 itu adalah jumlah APD pertama dalam jumlah yang besar, yang pertama dapat diperoleh Indonesia untuk menyelamatkan tenaga-tenaga medis tersebut. Jadi sekali lagi, moral story dari cerita ini adalah bertemanlah sebaik mungkin dengan sebanyak mungkin orang, karena itu akan membantu kita.
Nah, kemudian yang kedua, kita juga enggak egois, maka kita juga berkontribusi pada dunia. Saya duduk sebagai salah satu, katakanlah pengurus dari Covax yang tujuannya adalah bagaimana membantu negara-negara yang kurang mampu untuk dapat memperoleh vaksin. Jadi mempersempit gap antara perolehan vaksin dari negara maju dengan perolehan vaksin dari negara-negara yang kurang maju.
Karena begini, misalnya negara-negara yang kurang maju di Afrika, mereka untuk menyimpan vaksin saja, cold storage-nya saja mereka enggak mampu. Maka itu kemudian kita berdayakan. Jadi saya termasuk panitia dari distribusi vaksin dunia untuk membantu sekali lagi negara-negara yang kurang mampu agar mereka memiliki akses yang kurang lebih sama terhadap vaksin.
Jadi intinya begitu, kita enggak boleh juga egois, buat gua, gua yang utama, masyarakat gua. Tapi jangan lupa, kita punya tanggung jawab internasional yang harus kita jalankan.
Komentar
Posting Komentar