Kala Mendiang Tanri Abeng Berantas Korupsi Sedemikian Parah di Garuda Halaman all - Kompas.com
KOMPAS.com - Menteri BUMN pertama Tanri Abeng telah tutup usia. Dalam perjalanannya sebagai menteri, Tanri telah banyak membuat perubahan di perusahaan-perusahaan pelat merah.
Tanri Abeng sendiri menjabat sebagai Menteri BUMN mulai 16 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 di Kabinet Pembangunan VII. Saat itu, kementeriannya bernama Kementerian Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara.
Tanri Abeng mengawali keriernya sebagai birokrat dan pengusaha nasional benar-benar dari bawah. Ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan pada 7 Maret 1942.
Karir profesionalnya dimulai saat ia mengikuti program management trainee Union Carbide Amerika serikat, kemudian menjabat sebagai manager keuangan perusahaan tersebut (1969-1979) yang berlokasi di Jakarta.
Selanjutnya, ia juga pernah menjabat sebagai Direktur PT Union-Carbide Indonesia, Direktur Agrocarb Indonesia, Direktur Karmi Arafura Fisheries (1971-1976) dan Manager Pemasaran Union Carbide Singapura (1977-1979).
Kariernya terus menanjak, dirinya pernah menjadi pucuk pimpinan tertinggi PT Perusahaan Bir Indonesia (Indonesian Beer Company) yang mereknya terkenal dengan sebutan Heineken.
Sepak terjangnya berlanjut ketika pindah ke Bakrie & Brothers, sebagai CEO pada 1991. Saat berkiprah di perusahaan ini, ia dijuluki sebagai 'Manajer Rp 1 Miliar', sebab dirinya mendapat bayaran sebesar itu ketika memimpin perusahaan milik Aburizal Bakrie tersebut.
Bersih-bersih korupsi Garuda
Tanri Abeng juga dikenang karena keberaniannya melakukan pembersihan praktik korupsi di tubuh perusahaan-perusahaan BUMN, salah satu Garuda Indonesia.
Sempat mengalami masa keemasan pada tahun 1980-an saat dipimpin Wiweko Soepono, Garuda pada tahun-tahun berikutnya mengalami kemerosotan karena praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Seperti diberitakan Harian Kompas, 10 September 1998, KKN begitu menggerogoti dua maskapai penerbangan pelat merah, yaitu Garuda Indonesia dan Merpati.
Tanri Abeng membeberkan, khusus di BUMN Garuda Indonesia, dapat dihemat sekitar 18,27 juta dollar AS per tahun atau sekitar Rp 27,1 miliar per tahun apabila delapan kerja sama operasi (KSO) berbau KKN di lingkungan Garuda dihilangkan.
Kerja sama memberatkan Garuda
Menurut dia, ada delapan kerja sama operasi (KSO) yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Garuda selama rezim Orde Baru atau Orba.
Pertama, yakni pengalihan pengelolaan gudang kargo kepada PT Angkasa Bina Wiwesa (ABW). ABW, menurut catatan Kompas, merupakan usaha milik adik mantan Presiden Soeharto dari lain ibu satu bapak, Martini Tubagus Sulaeman.
Dari pengelolaan pergudangan di Bandara Soekarno-Hatta itu, pihak ABW setiap bulan dapat meraup pendapatan Rp 6 miliar, tetapi hanya Rp 300 juta yang diterima Garuda Indonesia.
Sedangkan biaya operasional, pemakaian gedung, telepon, dan listrik dibebankan kepada Garuda.
Menurut perjanjian selama sepuluh tahun yang ditandatangani Dirut Garuda Wage Mulyono dan Dirut ABW Martini Nita Karyati tahun 1994, disebutkan pihak ABW akan menyetor minimal 10 persen dari pendapatan kotor, atau sekitar Rp 200 juta setiap bulan kepada Garuda.
Dari data yang diperoleh, total pendapatan pada tahun 1995 sebesar Rp 28,5 miliar, tetapi yang disetor kepada Garuda Rp 3,1 miliar.
Sementara pendapatan Rp 105 miliar yang diperoleh dalam kurun waktu tahun 1996 hingga Mei 1998, Garuda kebagian Rp 39,6 miliar.
Masuknya Bimantara
Proyek KKN berikutnya yang dihentikan penunjukannya oleh Kantor Tanri Abeng adalah broker asuransi pesawat terbang PT Bimantara Graha Insurance Broker yang didirikan Bambang Trihatmodjo pada tahun 1994.
Perusahaan itu pernah digugat karyawan Garuda karena diduga keras sangat berbau KKN. Sebelum keluarga Cendana dengan perusahaan asuransinya masuk, Garuda Indonesia bebas menentukan broker asuransi bagi armada pesawatnya.
Namun, kemudian Garuda mendapat tekanan dan harus melalui perusahaan putra mantan Presiden Soeharto.
Putra-putra Soeharto jauh sebelumnya pada era Dirut Wiweko Soepono pernah datang ke Garuda Indonesian Airways menawarkan jasa asuransi.
Tetapi, waktu itu Wiweko masih bisa menolak mentah-mentah. Ia menasihatkan agar belajar dulu mengenai perasuransian yang ingin ditawarkan tersebut.
Mark-up pesawat
Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN menyebutkan, proyek lain adalah pembelian (sewa operasi) pesawat MD-11 yang pengadaannya melibatkan Bimantara-nya Bambang Trihatmodjo.
Menurut catatan Kompas, harga sewa pesawat badan lebar buatan McDonnell Douglas (kemudian merger dengan Boeing) ini cukup tinggi, 1,1 juta dollar AS/pesawat/bulan atau 6,6 juta dollar AS per bulan untuk keenam MD-11 yang dioperasikan Garuda.
Sementara harga sewa pesawat tersebut sebenarnya bisa diperoleh lebih murah, sekitar 600.000 - 700.000 dollar AS per pesawat.
"Jadi ada mark-up dalam pengadaan armada MD-11 Garuda Indonesia," ungkap sumber Kompas.
Dengan harga sewa tersebut dan dihantam krisis moneter/ ekonomi, sewa-operasinya dirasa sangat memberatkan keuangan Garuda.
Direksi Garuda, sebelum Robby Djohan ditunjuk, tampaknya agak ragu mengambil keputusan untuk mengembalikan MD-11 kepada lessor-nya.
Saat Dirut Garuda dijabat Soepandi, memang menyebutkan akan mengembalikan pesawat trijet MD-11 tersebut kepada Boeing.
Namun, pelaksanaannya baru dilakukan bulan Juli berikutnya oleh direksi di bawah Robby Djohan yang ingin secepatnya menekan angka kerugian.
Disebut pula oleh kantor Menneg Pendayagunaan BUMN tentang pembatalan kontrak kargo di Australia dan Amerika.
Kemudian penghentian keagenan untuk perawatan mesin dan modul mesin pesawat dan pembatalan pembelian pesawat Fokker F-100 dan peninjauan kembali kontrak keagenan di Jepang.
Menurut catatan Kompas, kontrak kargo dan keagenan di Jepang melibatkan grup Bimantara.
Selain yang disebut Kantor Tanri Abeng, Kompas juga mencatat bahwa ada unsur mark-up dan KKN dalam pengadaan simulator Boeing 737-300/400 Garuda Indonesia.
Dari pengusutan Itjen Departemen Perhubungan, diketahui ada selisih sebesar 12,2 juta dollar AS untuk pengadaan simulator tersebut. Harga disebut 64,1 juta dollar, padahal simulator yang sama bisa dibeli sekitar 51,9 juta dollar AS.
Sumber: Harian Kompas 10 September 1998
Komentar
Posting Komentar