Sah! Rusia Hentikan Perdagangan Mata Uang Dolar AS dan Euro - Halaman all - TribunNews
TRIBUNNEWS.COM -- Mulai hari ini, Kamis (13/6/2024) Rusia menghentikan perdagangan mata uang dolar AS dan euro.
Bursa Moskow melakukan Langkah tersebut sebagai upaya pembalasan atas negara-negara Barat yang melakukan Tindakan pembatasan terhadap Rusia dalam perekonomian.
Dikutip dari TASS, Bursa Moskow akan memperdagangkan mata uang dan logam mulia melalui semua instrumen yang tersedia, kecuali pasangan mata uang yang mencakup dolar AS dan euro.
Baca juga: Dedolarisasi di Perdagangan Rusia-China Hampir Selesai: Kini 95 Persen Pakai Rubel-Yuan
Perubahan ini akan mencakup pasar saham, pasar mata uang, dan pasar derivatif terstandarisasi; pasar berjangka akan beroperasi seperti biasa.
Bursa Moskow juga mengumumkan bahwa mereka akan terus memberikan kliennya akses ke semua segmen bursa di tengah kondisi baru.
“Moscow Exchange Group memiliki semua instrumen yang diperlukan untuk memastikan kelanjutan perdagangan di tengah peningkatan volatilitas, termasuk lelang terpisah dan mekanisme untuk perubahan parameter risiko secara cepat,” demikian keterangan Bursa Rusia.
Respons Tegas
Sebelumnya, Duta besar Moskow untuk Washington, Anatoly Antonov mengatakan Rusia akan merespons “dengan tegas” terhadap sanksi dan tindakan “konfrontatif” lainnya yang dilakukan AS
Ia menyampaikannya dalam pidato yang didedikasikan untuk Hari Rusia, yang dirayakan pada hari Rabu.
Di hari yang sama, Washington mengumumkan lebih banyak pembatasan terhadap Moskow atas operasi militernya melawan Ukraina.
“Pemerintah AS mengucapkan selamat kepada rakyat Rusia atas pengumuman paket sanksi lainnya,” kata Antonov.
Rusia tidak akan bersikeras untuk menjadi mitra AS, namun tetap “terbuka untuk dialog yang jujur dan setara setelah Amerika sadar,” tegas diplomat tersebut.
“Meskipun demikian, kami akan memberikan respons yang memadai dan tegas terhadap konfrontasi yang dipaksakan kepada kami [oleh Washington],” Antonov memperingatkan.
Putaran baru pembatasan yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri dan Keuangan AS menargetkan 300 individu dan entitas tambahan di Rusia dan negara-negara lain, termasuk Tiongkok, Turki, dan UEA, yang dituduh oleh AS memiliki hubungan dengan “ekonomi perang” Moskow dan mengizinkannya untuk menghindari embargo Barat.
Dedolarisasi
Gerakan dedolarisasi oleh bank sentral di banyak negara yang ditandai dengan penggunaan mata uang lokal untuk transaksi antar negara, terus berlanjut.
Bagian dari strategi dedolarisasi ini, sejumlah bank sentral di dunia melakukan pembelian emas besar-besaran dan tercatat bank sentral China yang paling banyak melakukan pembelian emas.
Mengutip Business Insider, pembelian emas batangan ini terjadi sebagai bagian dari upaya besar negara-negara pada tahun ini untuk mencoba mendiversifikasi cadangan devisa mereka dari dolar.
Baca juga: Soal Dedolarisasi, Ketua LPS: Sampai Sekarang Belum Ada yang Lebih Stabil Dibanding Dolar AS
Hal ini juga terkait dengan upaya beberapa negara untuk melakukan dedolarisasi dalam hubungan perdagangan dengan melakukan transaksi dalam mata uang lokal.
“Dengan permintaan bank sentral yang kembali meningkat setelah terjadi penurunan di kuartal kedua, kami memperkirakan total permintaan emas tahunan akan mendekati rekor tahun lalu, dan kemungkinan besar akan melebihi angka tersebut,” tulis World Gold Council (WGC), dalam laporan kuartal ketiganya untuk pasar logam mulia.
Menurut WGC, bank sentral global telah membeli 800 ton emas sepanjang tahun ini. Angka tersebut naik 14 persen dari tahun lalu.
Sebanyak 181 ton dari jumlah tersebut berasal dari China saja. Bank sentral negara itu memiliki total cadangan sebesar 2.192 ton.
Data yang sama menunjukkan, jumlah total pembelian oleh bank sentral pada kuartal terakhir adalah yang tertinggi pada tahun 2023 di tengah tahun booming pembelian emas.
Permintaan logam kuning meningkat seiring upaya bank sentral untuk mendiversifikasi cadangan devisa mereka dari dolar AS.
Upaya beberapa negara untuk melakukan dedolarisasi dalam hubungan dagang mereka, mengakibatkan tertekannya posisi greenback secara luas pada tahun 2023.
Sejak AS memanfaatkan kekuatan dolar untuk menjatuhkan sanksi kepada Rusia, melarang bank-banknya mengakses sistem SWIFT, dan membekukan miliaran cadangan devisa setelah negara tersebut menginvasi Ukraina, banyak negara telah memperhatikan dan mencoba mengalihkan perekonomian mereka dari ketergantungan pada mata uang AS.
China telah menjadi pendukung dedolarisasi. Caranya dengan meningkatkan pertukaran mata uang dan perjanjian non-dolar dengan negara lain. Beijing juga telah memangkas kepemilikannya pada surat utang AS.
Namun minat terhadap emas lebih dari sekadar manuver geopolitik untuk melengserkan dolar. Emas batangan biasanya dipandang sebagai aset safe haven karena dapat mempertahankan nilainya dalam jangka panjang.
Jadi para investor menimbun emas pada saat ketidakpastian – seperti saat resesi atau perang – untuk melindungi diri mereka dari inflasi atau depresiasi mata uang.
Ambil contoh China, yang terburu-buru membeli emas yang didorong oleh gejolak domestik. Sebut saja yuan, sektor real estat, dan pasar saham yang melemah karena perlambatan ekonomi.
Dan tahun ini, banyak mata uang yang melemah akibat meroketnya inflasi global, yang juga meningkatkan permintaan emas.
Mengutip Financial Times, pembelian emas oleh bank sentral global yang terus meningkat telah mengejutkan para analis pasar, yang memperkirakan penurunan pembelian dari level tertinggi sepanjang masa tahun lalu.
Kekhawatiran tersebut semakin dipicu oleh konflik yang meletus di Timur Tengah antara Hamas dan Israel, yang telah meningkatkan aset safe haven hampir 10 persen dalam 16 hari.
Harga emas spot untuk sesaat menembus level US$ 2.000 per troy ounce pada akhir pekan lalu, yang merupakan level tertinggi sejak pertengahan Mei. (Tribunnews.com/Kontan/TASS)
Komentar
Posting Komentar