Pilihan

Siklus DBD Semakin Berubah, Kekebalan Imun Kini Jadi Kunci Kurangi Risiko Kematian - Kompas TV

 

Siklus DBD Semakin Berubah, Kekebalan Imun Kini Jadi Kunci Kurangi Risiko Kematian

Kompas.tv - 28 Juni 2024, 22:06 WIB

siklus-dbd-semakin-berubah-kekebalan-imun-kini-jadi-kunci-kurangi-risiko-kematian

JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi menyebutkan interval puncak peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) awalnya setiap 10 tahun sekali,kini  kian pendek jadi 5 tahun bahkan 3 tahun, karena perubahan cuaca yang semakin tidak menentu.  

"Kalau di Jakarta itu tidak ada (intervalnya) malah, setiap tahun pasti ada kasus demam berdarah. Jadi inilah yang saya kira perlu diwaspadai," ujar Imran dalam ASEAN Dengue Day 2024 yang disiarkan di Jakarta, Kamis (27/6/2024) mengutip Kompas.com.

Mewaspadai DBD, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan penyakit ini menjadi salah satu ancaman utama kesehatan masyarakat di dunia.

Baca Juga: Cegah Demam Berdarah dengan Berantas Sarang Nyamuk

Insiden penyakit ini juga meningkat di Indonesia. Perubahan iklim yang kian tidak menentu ikut mengubah siklus penyakit DBD.

Lonjakan kasus DBD pada awal tahun 2024 dapat menjadi penanda akan terjadinya perubahan siklus peningkatan wabah DBD di Indonesia yang dalam 15 tahun terakhir (dari tahun 2007) terpantau meningkat signifikan setiap tiga tahun.

"Biasanya kasusnya naik mulai November, lalu puncaknya di bulan Februari sampai Maret. Tapi sekarang iklim sudah kacau sehingga siklus penyakit ini juga berubah," lanjut Imran.

Ia memaparkan, suhu bumi yang semakin panas membuat nyamuk lebih sering menggigit manusia. Kondisi ini diperparah dengan musim kemarau yang diselingi dengan hujan sehingga nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD makin mudah berkembang biak.

Pemerintah telah menetapkan sejumlah strategi pengendalian dan pencegahan DBD termasuk melakukan intervensi pada lingkungan, vektor, dan juga manusia.

Intervensi lingkungan bertujuan untuk membuat nyamuk tidak merasa nyaman melalui program 3M Plus. Sedangkan intervensi pada vektor atau nyamuk ditargetkan untuk membunuh larva dan nyamuk.

"Intervensi vektor dengan menggunakan zat-zat kimia pembunuh larva, untuk fogging, serta teknologi nyamuk ber-wolbachia," katanya.

Sedangkan intervensi pada manusia dilakukan dengan mengubah perilaku dan peningkatan kesadaran masyarakat, dan melakukan vaksinasi dengue. \

Percontohan di Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah pertama di Indonesia yang sudah melakukan program imunisasi massal vaksin dengue untuk anak sekolah.

Ketua Komite Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Kalimantan Timur, dr. William S. Tjeng, Sp.A(K), mengatakan saat ini sudah ada 9.800 anak yang mendapatkan dosis pertama vaksin dengue, yang akan dilanjutkan untuk dosis kedua.

Vaksinasi tersebut sudah dilakukan di Kota Balikpapan dan Samarinda. Kedua kota ini memiliki jumlah penduduk yang tinggi dan kasus DBD yang tinggi.

"Kota Samarinda selama ini punya angka kejadian DBD yang tinggi. Salah satu penyebabnya karena hampir semua rumah punya tandon air dan daerahnya kebanyakan berawa-rawa," paparnya dalam acara yang sama.

Ia mengatakan, berkat sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya vaksinasi untuk mencegah DBD, program imunisasi yang menyasar anak usia sekolah ini berjalan lancar.

"Sejauh ini tidak ada KIPI pada peserta yang divaksin, paling hanya sedikit rasa nyeri di tempat bekas suntikan," kata dr.William.

Baca Juga: Sapa Malang-Pahami Gejala Demam Berdarah, Ini yang Harus Dilakukan

Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K) mengatakan tindakan pencegahan yang terintegrasi sangat diperlukan untuk melawan DBD.

"Salah satu inovasi yang saat ini direkomendasikan oleh beberapa organisasi profesi di Indonesia, baik oleh IDAI, PAPDI, maupun PERDOKI adalah melalui program vaksinasi. Dengan meningkatkan kekebalan masyarakat, akan sangat membantu menurunkan tingkat keparahan serta risiko kematian akibat DBD," katanya.


Sumber : Kompas TV


Komentar

Baca Juga (Konten ini Otomatis tidak dikelola oleh kami)

Antarkabarid

Arenanews

Antaranews

Berbagi Informasi

Kopiminfo

Liputan Informasi 9

Media Informasi

Opsi Informasi

Opsitek