Profil Francisca Casparina Fanggidaej, Nenek Reza Rahadian dan Pejuang Kemerdekaan - - imews - Opsiin

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Profil Francisca Casparina Fanggidaej, Nenek Reza Rahadian dan Pejuang Kemerdekaan - - imews

Share This

 

Profil Francisca Casparina Fanggidaej, Nenek Reza Rahadian dan Pejuang Kemerdekaan - Bagian All

JAKARTA, iNews.id - Profil Francisca Casparina Fanggidaej, tokoh pergerakan Indonesia dibahas dalam artikel ini. Dia merupakan nenek dari aktor kawakan Reza Rahadian

Nama Francisca menjadi sorotan usai Reza Rahadian ikut berpartisipasi dalam aksi demo menolak Revisi UU Pilkada sekaligus mengawal putusan MK di depan Gedung DPR pada Kamis (22/8/2024) kemarin. 

Francisca merupakan aktivis pejuang kemerdekaan yang jarang disebut dalam buku sejarah. Sejak muda, Francisca telah menentang kolonialisme dan terus berjuang setelah kemerdekaan. 

Namun, jejaknya menghilang setelah 1965 karena kedekatannya dengan Soekarno dan stigma komunis yang melekat padanya. Lalu, bagaimana profil Francisca Casparina Fanggidaej?

Fransisca lahir pada 16 Agustus 1925, di Noel Mina, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia merupakan putri dari pasangan Magda Mael dan Gottlieb Fanggidaej.

Ayah Fransisca bekerja sebagai kepala pengawas Burgerlijke openbare warken (BOW) atau dinas pekerjaan umum (DPI). Hal inilah yang membuat status keluarganya dianggap sama secara hukum dengan orang Belanda, sehingga Sisca dan keluarga kerap dipanggil Belanda Hitam.

Sisca menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (sekolah dasar Eropa) dan MULO (sekolah menengah pertama). Meskipun fasih berbahasa Indonesia dan Inggris, di rumah dia hanya diperbolehkan berbicara bahasa Belanda. 

Saat kecil, Sisca bersekolah bersama anak-anak keturunan Belanda, tetapi tetap merasakan ketimpangan. Pengalaman ini membuat Sisca memahami kondisi Indonesia yang terjajah dan memotivasi dirinya untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia.

Sisca kemudian bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris dan penerjemah serta menjadi wartawan untuk Radio Gelora Pemuda Indonesia. Selain itu, dia tercatat sebagai anggota dewan Komite Belanda Indonesia dan salah satu pendiri Stichting Azie Studies (Yayasan Studi Asia) di Belanda. 

Menurut laman International Institute of Social History, Sisca menikah dengan Sukarno, anggota dewan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), pada 1948. Mereka dikaruniai seorang anak, Nilakandi Sri Luntowati. 

Namun, suaminya tewas ditembak bersama rombongan Amir Sjarifuddin pada 19 Desember 1948. Setelah itu, Sisca menikah dengan seorang wartawan bernama Supriyo dan mereka memiliki enam anak, Dien Rieny Saraswati, Godam Ratamtama, Nusa Eka Indriya, Savitri Sasanti Rini, Pratiwi Widiantini (ibu Reza Rahadian), dan Mayanti Trikarini.

Francisca Casparina Fanggidaej dalam Sejarah Indonesia

Setelah Perang Dunia II, Francisca aktif dalam perjuangan kemerdekaan dengan bergabung bersama Pemuda Republik Indonesia (PRI) di Surabaya dan mengikuti Kongres Pemuda Seluruh Indonesia di Yogyakarta pada 10-11 November 1945. 

Kongres tersebut melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Badan Kongres Pemuda Indonesia (BKPRI).

Di bawah BKPRI, Francisca dan Yetty Zain menyelenggarakan siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda di Radio Gelora Pemuda di Madiun untuk melawan propaganda NICA. 

Pada 1945, Francisca menjadi anggota Pesindo dan dua tahun kemudian berperan sebagai delegasi Pesindo dalam konferensi di Eropa, termasuk di Praha, Yugoslavia, Hongaria, dan Kolkata, mempromosikan kemerdekaan Indonesia dan mengadvokasi pengakuan internasional. 

Pada 1948 ketika berada di India, Francisca ikut serta dalam konferensi yang digunakan Uni Soviet untuk menyebarkan kebijakan luar negeri ke Asia Tenggara. Setelah konferensi tersebut, terjadi pemberontakan komunis di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Akibat dianggap terkait dengan Pemberontakan PKI Madiun pada 1948, Francisca ditangkap dan dipenjara di Gladak, Surakarta, Jawa Tengah. Ia berhasil lolos dari hukuman mati karena sedang hamil anak pertamanya, Nilakandi Sri Luntowati.

Setelah kongres 1950, Pesindo berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berganti nama menjadi Pemuda Rakyat. Sisca sempat menjabat sebagai ketua organisasi tersebut.

Pada 1955, dia beralih menjadi wartawan di kantor berita Antara dan pada 1957 diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dari golongan wartawan. Dia menjabat di Komisi Luar Negeri dan mengunjungi Kuba untuk bertemu Fidel Castro pada 1960 dan 1963. 

Pada 1964, Francisca menjadi penasihat Soekarno selama kunjungan ke Aljazair. Setahun kemudian, dia bergabung dengan delegasi Indonesia untuk kongres Organisasi Jurnalis Internasional di Chile.

Diasingkan saat peristiwa G30S/PKI 

Ketika Sisca berada di luar negeri pada 1965, peristiwa G30S/PKI meletus di Indonesia dan Soeharto mengambil alih kekuasaan.

Sisca mengecam tindakan militer terhadap para pemimpin Gerakan Wanita Indonesia. Dia dan rombongannya menolak kehadiran delegasi yang dipimpin Brigadir Jenderal Latief Hendraningrat, pendukung Soeharto, dalam konferensi di Kuba. 

Akibatnya, Soeharto memblokir paspor Sisca dan rekan-rekannya, sehingga mereka tidak bisa kembali ke Indonesia.

Suaminya, Supriyo, kemudian ditangkap. Rumah mereka disita dan isinya dijarah. Anak-anak mereka terpaksa diasuh oleh keluarga dekat. 

Supriyo dipenjara selama 12 tahun tanpa melalui proses pengadilan dan baru dibebaskan pada 1978.

Meski Sisca berada di luar negeri, foto-fotonya dipajang di tempat umum dengan narasi "tangkap hidup atau mati Francisca". 

Dari Kuba, dia pindah ke China menggunakan paspor sementara yang diberikan oleh Fidel Castro. Sisca tinggal di China selama hampir 20 tahun sebelum akhirnya menetap di Belanda sejak 1985.

Setelah hampir 30 tahun berpisah, Sisca baru pertama kali bertemu putrinya, Maya, di Belanda pada 1993. Namun, keluarganya masih belum bisa tinggal bersama karena Sisca adalah seorang eksil yang diasingkan. 

Setelah Reformasi 1998, Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akhirnya mengizinkan Sisca dan rekan-rekannya untuk pulang. Dia kembali ke Indonesia pada 2003 setelah hampir 40 tahun diasingkan.

Meskipun sudah bebas masuk ke Indonesia, Francisca tetap tinggal di kota kecil Zeist, Belanda, hingga meninggal pada 13 November 2013 pada usia 88 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages