Food Estate: Keterlibatan militer di lahan proyek lumbung pangan Merauke bikin warga 'ketakutan' - BBC News Indonesia
Food Estate: Keterlibatan militer di lahan proyek lumbung pangan Merauke bikin warga 'ketakutan' - BBC News Indonesia
Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat 'ketakutan' – ‘Kehadiran tentara begitu besar seperti zona perang’
Pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate seluas dua juta hektare di Merauke, Papua Selatan, mendatangkan ketakutan berlapis bagi sejumlah masyarakat adat. Selain khawatir ancaman perampasan ruang hidup, kini mereka merasa seperti terkena 'teror' atas kehadiran pasukan TNI di sana.
“Kehadiran mereka [tentara] saja sudah [merupakan] teror [bagi] masyarakat. Dengan ke mana-mana selalu dengan senjata lengkap, pakaian hijau,” tutur Romo Pius Cornelius Manu, tokoh agama dan pemilik tanah adat di Merauke, kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Sabtu (19/10).
Ditemui wartawan Abdel Syah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Komandan Kodim Merauke Letkol Inf Johny Afriady menepis apa yang dikatakan masyarakat adat itu.
Ia meyakinkan bahwa keberadaan prajuritnya di sana sebatas "untuk membantu membuka lahan pertanian".
Pada Juli 2024 telah didatangkan alat-alat berat ke Merauke, Papua Selatan, untuk kepentingan PSN cetak sawah serta pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol.
Kemudian diikuti penambahan pasukan TNI di kawasan tersebut—di luar satgas pengamanan yang sebelumnya sudah ada.
Akademisi dan pegiat HAM mengingatkan, pengerahan prajurit militer dengan dalih ketahanan pangan tersebut hanya akan memunculkan kekerasan baru dan "secara jelas melanggar tugas dan fungsi pokok TNI dalam Pasal 7 UU TNI tahun 2004".
Pemerintah Indonesia menambahkan kawasan pengembangan pangan dan energi di Kabupaten Merauke ini dalam daftar PSN pada 10 November 2023.
PSN Merauke terbagi menjadi tiga. Pertama, proyek pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol seluas 500.000 hektar.
Kedua, proyek optimalisasi lahan atau Oplah yang semula 40.000 hektar menjadi 100.000 hektare.
Ketiga, proyek cetak sawah baru yang dikelola Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian dengan lahan seluas satu juta hektare.
Yayasan ini menjelaskan, belajar dari pengalaman MIFEE di Merauke dan Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa resolusi proyek food estate dengan penggunaan lahan dan alih fungsi hutan skala luas—berbasis korporasi, modal besar, teknologi, mekanisasi dan manajemen organisasi modern—justru menimbulkan rangkaian permasalahan.
Mulai dari perampasan lahan, akuisisi lahan dan konsentrasi penguasaan lahan pada segelintir pemilik modal, terjadi eksploitasi buruh, deforestasi, kekeringan dan bencana ekologi yang berulang dan meluas.
Belum lagi soal gizi buruk dan kesulitan pangan, indikasi korupsi, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan korban penduduk asli dan orang kampung di sekitar proyek, demikian menurut Yayasan Pusaka.
‘Bisa jadi tentaranya lebih banyak daripada masyarakat sipil’
Satu demi satu alat berat—eskavator, buldoser, peralatan lain—masuk ke Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Gelombang pertama sebanyak 500 unit alat berat telah tiba sejak Juli 2024.
Bulan berikutnya, datang lagi 264 unit dari total 2.000 alat berat yang dipesan untuk pengerjaan proyek cetak sawah 1 juta hektar.
Ratusan eskavator itu diangkut secara bertahap menggunakan tongkang.
Kedatangan alat berat tersebut diikuti penjagaan aparat militer.
Pemerintah Indonesia menerjunkan tambahan personel tentara untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke.
Pada 2 Oktober 2024, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto telah meresmikan pembentukan lima Batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di Papua.
Ini dilakukan untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah.
Dua batalyon kemudian ditempatkan di Papua Selatan.
Kesatuan baru tentara tersebut di luar satuan tugas pengamanan yang sebelumnya sudah dibentuk di Bumi Cenderawasih.
Baca juga:
Bagi masyarakat adat, bukannya merasa terlindungi, penambahan prajurit militer itu, menurut Romo Pius Cornelius Manu, justru memunculkan rasa tidak aman.
“Kehadiran mereka saja sudah [merupakan] teror [bagi] masyarakat. Dengan ke mana-mana selalu dengan senjata lengkap, pakaian hijau,” tutur Romo Pius, tokoh agama dan pemilik tanah adat di Merauke kepada BBC News Indonesia, Sabtu (19/10).
Romo Pius menambahkan, "orang yang tadinya begitu bebas, mereka tidak bisa banyak bersuara".
“Ibu-ibu yang waktu itu demonstrasi, lalu unjuk rasa, menunjukkan sikap dengan menulis di kertas karton atau menyatakan bahwa kami menolak perusahaan dalam bentuk apapun, kemudian orang-orang ini dicari tahu mereka ada di mana,” imbuh dia lagi.
Romo Pius menggambarkan, sebelum ada PSN, pos tentara penjagaan ada di setiap selang jarak 2-3 kilometer. Dengan penambahan ini, boleh jadi jumlah pos lebih banyak.
“Jadi wilayah yang sekarang; wilayah Ilwayab, Bibikem, dan Uliuli—bisa jadi di sana, tentaranya lebih banyak daripada masyarakat sipil.”
“Jadi untuk apa kehadiran pasukan tentara yang begitu besar di sana? Seolah-olah di situ zona perang, yang harus dikawal begitu ketat,” Romo Pius mempertanyakan.
Mengapa ‘sangat bahaya’ melibatkan militer?
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas mengingatkan potensi munculnya konflik maupun kekerasan baru.
Bertolak pada rekam jejak kekerasan yang dialami warga Papua, menurut Cahyo, keterlibatan aparat keamanan dalam pengerjaan PSN cenderung akan lebih banyak intimidatif.
Lebih lanjut ia khawatir, pelibatan militer justru akan memperkuat penggusuran berlapis terhadap masyarakat adat.
“Ini adalah bentuk kolonialisme baru yang ekstensif,” ungkap Cahyo kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia melalui sambungan telepon, Kamis (17/10).
Baca juga:
Dalam situasi ini, masyarakat adat dikepung dari berbagai sisi—kekuatan politik dan ekonomi—yang ia sebut sebagai ‘negara saat ini dikuasai para oligarki’.
Kini diperparah pula dengan pengerahan aparat keamanan, katanya.
“Dan ini kecenderungannya, kita akan men-displace masyarakat adat dari tempat ekologisnya.”
Dalam jangka pendek, lanjutnya, ini akan mendorong terjadinya perampasan lahan masyarakat adat.
Sementara dampak jangka panjang berupa pemindahan paksa masyarakat adat dari tanahnya.
“Mereka akan tergusur, kemudian tercerabut dari ruang ekologisnya. Karena orang Papua tidak bisa hidup tanpa tanah.
Mereka tidak akan memiliki daya hidup ketika mereka tercerabut dari habitat ekologisnya. Dan itu kan seharusnya tidak seperti itu,” tegas Cahyo.
Senada, Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya melalui keterangan tertulis, mengingatkan, pengerahan tambahan prajurit militer di Tanah Papua "sangat berbahaya di tengah permasalahan di tubuh TNI yang belum berhasil diatasiyaitu tentang profesionalisme dan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia".
Sepanjang Oktober 2022-September 2023, secara bergantian TNI telah menurunkan 7.833 prajurit ke Tanah Papua, berdasarkan dokumentasi KontraS.
Pengerahan tersebut berimbas pada munculnya konflik dan baku tembak antara TNI dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang mengakibatkan 14 personel TNI meninggal.
Menurut KontraS, temuan itu ‘menunjukkan penerjunan aparat di Tanah Papua menimbulkan konflik yang berkelanjutan serta mengakibatkan munculnya banyak korban jiwa’.
Lebih lanjut, peneliti dan pegiat HAM sama-sama menyorot ihwal keikutsertaan tentara mengurus masalah pangan.
Keterlibatan militer dalam program ketahanan pangan dinilai KontraS, berpotensi melanggar Pasal 7 UU TNI tahun 2004 yang mengatur larangan TNI terlibat dalam urusan yang bukan tugas dan fungsi pokoknya.
Bagaimana penjelasan TNI dan Kementerian Pertanian?
Komandan Kodim Merauke, Johny Afriady, mengatakan pelbagai anggapan itu muncul karena ketidaktahuan mengenai tujuan mengapa pasukannya dilibatkan.
Ia menerangkan, pengerahan tentara murni untuk membantu pembukaan lahan proyek satu juta hektar cetak sawah. Sebab luasan ini membutuhkan banyak tenaga.
“Itu orang-orang yang enggak tahu, enggak ngerti tujuannya. 'Oh TNI masuk, oh dia ada ini [melakukan kekerasan]'. Padahal siapa lagi kalau tidak kita [TNI] yang mendorong?” kata Johny kepada wartawan di Merauke, Abdel Syah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Hal itu ditekankan ketika dimintai tanggapan terhadap kritikan peneliti dan pegiat HAM yang mengkhawatirkan kehadiran pasukan TNI dalam proyek PSN di Merauke.
“Saya mengerahkan mahasiswa, saya mengerahkan petani. Belum tentu ada yang mau ke hutan. Siapa yang mau ke sana? Yang mau ke sana dan digerakkan memang pasukan [TNI],” imbuh Johny.
Ia pun merasa warga tidak bermasalah dengan kehadiran TNI. Menurut Johny, penolakan masyarakat adat selama ini lebih kepada pelaksanaan PSN di Merauke.
“Kalau saya lihat, penolakan itu bukan penolakan keterlibatan TNI, bukan. Penolakan mereka adalah penolakan terhadap pekerjaan [PSN] yang dilakukan.
“Penolakan itu bukan dia tidak setuju. Tetapi mereka belum mengerti. Ya mungkin, mohon maaf, kemarin kami—terutama Pemda—yang masuknya agak lambat untuk sosialisasi, jadi salah pengertian,” kata Johny.
Secara terpisah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menjelaskan, pengerahan tentara ke tapak PSN sebagai tenaga bantuan lantaran tenaga kerja di sana masih kurang. Dan menurutnya bukan hanya TNI, melainkan juga mahasiswa.
Baca juga:
Ia pun meminta publik untuk tak berprasangka dan melihat upaya pelibatan militer dalam PSN Merauke ini secara utuh, “jangan dilihat secara parsial”.
“Kenapa sih kita pesimis? Mari kita optimis. Dulu kami kolaborasi [dengan] TNI, ini kan sudah lama. [ini baru] Periode pertama. Dulu, kami kolaborasi lima tahun,” jawab Amran saat ditanya wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau di Istana Negara, Rabu (23/10).
Amran menyatakannya saat ditanya potensi konflik dan kekerasan terhadap warga sipil setelah kehadiran pasukan TNI di lokasi PSN di Merauke, Papua Selatan.
Namun permintaan optimisme itu tak selaras dengan temuan di lapangan. Laporan berbagai lembaga hukum dan HAM menggambarkan betapa pelaksanaan PSN sarat kekerasan dan problematik.
KontraS, misalnya, mencatat sedikitnya 79 peristiwa pelanggaran HAM yang berkaitan dengan PSN sepanjang November 2019-Oktober 2023.
Adapun laporan Komnas HAM mendokumentasikan sedikitnya 1.675 kasus pelanggaran HAM selama tiga tahun terakhir. Kasus didominasi salah satunya oleh pelaksanaan PSN.
Menurut hasil pemantauan tersebut, PSN menjadi sumber baru konflik agraria lantaran dibarengi dengan pendekatan keamanan.
Temuan itu sejalan dengan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mendapati 115 letusan konflik agraria akibat PSN, sepanjang 2020-2023.
Bagaimana suara masyarakat adat?
“Kedatangan kami dari Merauke ke Jakarta, ada tujuan dan maksud yang kami mau sampaikan kepada Presiden Jokowi.”
“Karena kami yang kena dampak ini sudah berusaha, kami mau sandar kepada pemerintah Kabupaten [Merauke], bahkan sampai ke pemerintah pusat, mereka tidak tanggapi.”
Suara penolakan itu datang dari Yasinta Moiwend, warga Merauke dari Suku Marind Kondo Digul.
Ia mengutarakan itu di depan Istana Negara pada Kamis (17/10) lalu.
Mama Sinta—begitu ia dipanggil—berdiri bersama massa Aksi Kamisan ke-836.
Hari itu, para peserta aksi itu menyampaikan surat terakhir untuk Presiden Jokowi sebelum lengser dari kursi kepresidenan dan digantikan Prabowo Subianto.
“Kami cuma mau sampaikan, [kehadiran] perusahaan [di Merauke] kami tolak. Karena dia masuk tanpa izin [dengan] kami tuan-tuan dusun.
"Itu [kami] anggap saja pencuri yang masuk, perampok yang masuk. Jadi kami tolak karena tanpa izin dia masuk,” tegas Mama Sinta di hadapan puluhan orang.
Penolakan baik secara lisan maupun tertulis sudah dilakukan.
Pelbagai cara telah mereka tempuh. Tapi aktivitas proyek tetap berjalan.
Baca juga:
“Kami merasa di kampung kami tidak ada yang bisa dukung kami. Kami datang dengan beban. Ketika kami sampai di sini, bertemu dengan teman-teman, kami rasa lega. Kami rasa lega sekali,” ungkap Yasinta.
Selain bergabung dalam Aksi Kamisan di depan Istana, Yasinta dkk juga menggelar aksi dan menggalang solidaritas di sejumlah tempat di Jakarta.
Mereka berunjuk rasa di Kementerian Pertahanan, menyambangi Ombudsman, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI),Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), hingga Komnas HAM. Yasinta dkk juga menggelar jumpa pers di Kantor YLBHI.
Ketika Mama Sinta bergerak dari satu titik ke titik lain di Jakarta, aneka alat berat masih terus beroperasi di kampungnya, di Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke untuk PSN cetak sawah.
'Kami kehilangan dusun, makan-minum, hewan-hewan di hutan kami'
Mama Sinta dan kelompok masyarakat adat telah berulang kali menggelar demonstrasi, mempertanyakan proyek itu ke kepala daerah, Majelis Rakyat Papua Selatan, DPR Kabupaten Merauke, hingga Keuskupan Agung Merauke. Tapi suara mereka membal.
“Kami sudah buat Tanam Sasi, kami tidak dihargai. Mereka masih gusur kami,” tutur dia di setiap kesempatan.
Tanam Sasi, adalah upacara adat kematian Suku Marind, yang menggambarkan rasa duka. Mama Sinta merasakan banyak kehilangan.
“Kami rasa kehilangan dusun, kehilangan makan minum, kehilangan hewan-hewan yang ada di hutan kami.”
Mama Sinta bilang, proyek cetak sawah bahkan masuk ke area sakral di kampungnya.
Analisis tumpang susun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat atas peta kawasan hutan, peta administratif dan, peta tempat penting masyarakat adat di Merauke, serta laporan warga, mendapati bahwa tapak pembangunan ada pada kawasan hutan adat dan tempat penting yang bernilai konservasi tinggi.
Beberapa di antara tempat keramat dan jalur leluhur, dusun pangan, tempat berburu, dan areal konservasi tradisional.
“Sebelumnya ada perusahaan-perusahaan lain, dan banyak perusahaan yang gagal [di Merauke]. Hanya merusak alam saja, ditinggalkan begitu,” keresahan lain diutarakan Romo Pius Cornelius Manu.
Romo Pius tinggal di Kampung Padua, Distrik Kimaam. Sementara Mama Sinta di Kampung Wanam, Distrik Ilwayab.
Kampung-kampung mereka termasuk dalam kluster PSN cetak sawah di Merauke.
Kedua daerah itu dipisahkan oleh Selat Mariana. Di wilayah perairan itulah, kapal tongkang yang mengangkut alat-alat berat kemudian masuk ke kampung-kampung mereka.
“Kami dari marga Kwipalo tidak menerima. Jadi kami mempertahankan hak ulayat kami, di tanah adat kami, tetap tidak kami kasih [ke perusahaan],” suara penolakan lain datang dari Vincent Kwipalo, warga Merauke dari Suku Yei.
Ia tinggal di Distrik Jagebob. Kampungnya masuk kluster tiga yakni proyek pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol.
Suatu hari ia dibikin kaget, saat menilik kebun karet miliknya. Patok-patok merah putih tertancap di sana. Di tanah yang sedang ia pertahankan.
“Ada patok-patok yang ditanam di kebun, kebun karet Bapa. Patok merah putih. Itu kita tidak tahu maksudnya apa,” cerita Vincent kepada BBC News Indonesia.
Ia kemudian mempertanyakan itu ke petugas dan mendapati jawaban bahwa patok tersebut adalah batas perusahaan.
Vincent lantas meminta agar patok segera dicabut. Sebab sebagai Ketua Marga Kwipalo, ia harus menjaga kepercayaan kelompoknya bahwa marga Kwipalo sepakat tetap menolak menyerahkan tanah adat mereka untuk proyek tebu dan bioetanol.
Baca juga:
“Terus [dengan patok itu] tanah yang seluruhnya sudah milik perusahaan? Tanpa konfirmasi dengan kami. Kalau sudah seperti begini, kami mau dikemanakan?”
Analisis tumpang susun—peta perusahaan yang beroleh izin proyek tebu dan peta wilayah adat Yei—oleh Yayasan Pusaka mendapati sebagian besar pengerjaan ada di wilayah adat Suku Yei seluas lebih dari 300.000 hektar. Sisanya berada di wilayah adat Marind.
Sementara lokasi proyek cetak sawah ada pada wilayah adat masyarakat adat Marind, Maklew, Khimaima dan, Yei.
Diperkirakan lebih dari 50.000 penduduk asli bakal terdampak proyek-proyek tersebut.
Namun sebagian banyak dari mereka tak mengetahui proyek pembangunan sentra pertanian dan energi terintegrasi di Merauke yang sempat terhenti pada awal 2020 tersebut.
“Yang PSN datang ini. Jangankan sosialisasi, datang saja kayak siluman. Kelompok siluman yang datang,” ungkap Romo Pius mengibaratkan.
Suara penolakan masyarakat adat di Merauke akan terus bergulir. Meski PSN cetak sawah dan perkebunan tebu serta bioetanol tetap berjalan.
“Kami yang orang asli di situ, Tuhan sudah ciptakan sejak moyang, sebelum negara ini hadir, [lalu] kami harus kehilangan tanah. Apakah itu adil?” tanya Romo Pius retorik.
“Saya tidak melihat bahwa keluhan kami akan ada hasilnya. Saya tidak melihat itu. Tetapi penerimaan kami di sini [Jakarta] oleh teman-teman, saya merasa lega,” ungkap Romo Pius.
“Begitu banyak orang berhati baik di negara ini. Begitu banyak orang yang punya kepedulian terhadap mereka yang merasa hak-haknya dirampas. Maka dengan demikian kami, saya, merasa lega. Juga ada sedikit harapan.”
Komentar
Posting Komentar