Menguak kasus perdagangan orang di fenomena pengungsi Rohingya di Aceh - ANTARA News Aceh

 

Menguak kasus perdagangan orang di fenomena pengungsi Rohingya di Aceh - ANTARA News Aceh

Oleh FB Anggoro, Suprian, T Dedi Iskandar Selasa, 29 Oktober 2024 14:35

Personel gabungan mengevakuasi imigran etnis Rohingya dari kapal penangkap ikan milik warga Aceh di perairan laut di Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, Kamis (24/10/2024).(ANTARA/Syifa Yulinnas)

Banda Aceh (ANTARA) - Fenomena pengungsi Rohingya di Aceh bagaikan kisah cinta yang berubah jadi benci. Sejak 2009, Aceh sudah menjadi tempat pendaratan bagi kapal pengungsi Rohingya dari Bangladesh dan Myanmar demi mencari perlindungan serta kehidupan yang layak.

Awalnya masyarakat setempat menerima mereka dengan alasan kemanusiaan dan persaudaraan sesama muslim. Apalagi Aceh dikenal dengan budaya peumulia jamee yang artinya memuliakan tamu.

Namun, semua itu berubah drastis karena timbul berbagai aksi penolakan dan pengusiran oleh warga. Ada beberapa penyebab yang disinyalir memicu penolakan Rohingya sejak tahun 2023.

Pertama, gelombang kedatangan orang-orang Rohingya ke Aceh semakin besar, jumlahnya ada ribuan. Data dari UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi pengungsi, menyebutkan hanya ada 178 orang Rohingya di Aceh yang datang sebelum 14 November 2023. Namun, pada akhir 2023 tercatat ada 11 kapal masuk hampir bersamaan, sehingga jumlah orang Rohingya yang masuk ke Indonesia melonjak jadi 2.288 orang. Jumlah itu naik empat kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Kedua, pengaruh media sosial yang dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk menyebar ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya. Mereka kerap disebut sebagai orang yang jorok, pemalas, dan tidak tahu terima kasih.

"UNHCR prihatin dengan adanya respon yang negatif terhadap pengungsi Rohingya di Aceh," kata Mitra Suryono, Associate Communications Officer UNHCR, pada akhir Oktober 2024.

Baca juga: Polres Aceh Selatan sita kapal motor pengangkut Rohingya

Penyebab ketiga, pemerintah Indonesia dan masyarakat Aceh mulai mengendus bahwa kedatangan orang-orang Rohingya melibatkan jaringan sindikat perdagangan orang (human trafficking). Kebaikan orang Aceh menolong mereka telah dimanfaatkan untuk mencari keuntungan finansial.

Rute pelayaran kapal yang mengangkut orang Rohingya sejak akhir 2023 bergeser dari wilayah utara timur Aceh ke barat selatan, seiring dengan penolakan warga lokal yang muncul pertama kali di wilayah utara, seperti di Kabupaten Pidie dan Bireuen. Kapal-kapal pembawa Rohingya seperti paham dengan kondisi itu dan mulai mencari tempat aman yang baru, seperti di Aceh Besar, Aceh Barat, dan saat ini kapal tersebut mendarat di Aceh Selatan.

Selain itu, sebagian besar pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh juga mengaku rela membayar banyak uang untuk dapat tempat di kapal.

Praktik perdagangan orang itu terungkap setelah polisi menangkap tiga orang warga Bangladesh dan Myanmar yang berada di kapal pembawa pengungsi Rohingya ke Kabupaten Aceh Besar pada Desember 2023. Dari keterangan polisi, tiap orang membayar senilai 100.000 sampai 120.000 taka bangladesh atau setara Rp14 juta sampai Rp16 juta.

Dalam konteks pengungsi Rohingya, kasus ini menyangkut sindikat kejahatan lintas negara. Mereka "memangsa" pengungsi yang rentan juga terpinggirkan dari Myanmar dan Bangladesh dengan iming-iming harapan hidup yang layak. Para "manusia kapal" tersebut sebenarnya adalah korban karena telah membayar mahal namun keselamatan mereka jadi taruhannya.

Pada Maret 2024, sebuah kapal yang mengangkut 142 orang Rohingya tenggelam di perairan Aceh Barat mengakibatkan 67 orang meninggal dunia. Laporan UNHCR menyebutkan, 27 orang diantaranya adalah anak-anak. Polisi menangkap empat orang warga dalam kasus penyelundupan Rohingya yang berujung tragis itu. Mereka adalah Erpan, Harfadi, Muchtar, dan Herman Saputra.

Dari hasil pemeriksaan polisi terungkap bahwa Herman Saputra bukan "pemain baru" karena sebelumnya ia berhasil menyelundupkan 70 orang Rohingya ke Malaysia pada Desember 2023. Herman mengatur penjemputan mereka ke wilayah perairan Sabang, Aceh, lalu membawanya ke daratan Aceh di Kabupaten Abdya. Dari sana, puluhan pengungsi tersebut diangkut menggunakan truk ke wilayah Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara, lalu diseberangkan ke wilayah Tanjung Selangor, Malaysia.

Kepada polisi Herman mengaku menerima bayaran dari seorang agen di Malaysia. Dari setiap pengungsi Rohingya yang diselundupkan ke negeri jiran itu, Herman mendapat upah Rp5 juta. Jika dijumlahkan maka ia meraup Rp375 juta.

Halaman selanjutnya: pengungkapan kasus Aceh Selatan

Editor : Febrianto Budi Anggoro

COPYRIGHT © 2024 ANTARA News Aceh

Terkait

Baca Juga

Terpopuler

notification icon

Dapatkan Berita Terkini khusus untuk anda dengan mengaktifkan notifikasi Antaranews.com

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya