Menilik Lebih Dekat Pusat Budidaya Maggot Binaan Perusahaan Tambang di Banyuwangi - Halaman all - TribunNews

 

Menilik Lebih Dekat Pusat Budidaya Maggot Binaan Perusahaan Tambang di Banyuwangi - Halaman all - TribunNews

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang pria berkemeja hijau tampak berdiri di depan sebuah kandang. Dengan potongan rambut pendek, ia menyambut kami awak media yang baru saja tiba di Pusat Budidaya Maggot binaan PT Bumi Suksesindo (BSI), anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).

Pusat budidaya ini terletak di Desa Siliragung, Kecamatan Siliragung, Banyuwangi, Jawa Timur.

Pria itu adalah Muhammad Ardyfendyka. Ia merupakan satu dari sekian pekerja di pusat budidaya maggot ini. 

Baca juga: Ekonom: Maksimalkan Sumber Daya UMKM untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Tak ada yang spesial dari Ardy. Penampilannya seperti lelaki Indonesia pada umumnya. Kumis tipis di wajah, celana hitam panjang, sepatu sneakers di kaki.

Namun, itu berbeda ketika ia berbicara soal maggot. Ardy paham. Dia fasih menjelaskan kepada kami bagaimana maggot dibudidayakan di tempat ini.

Berdasarkan penjelasan Ardy, Maggot berawal dari seekor lalat. Namun, lalat ini berbeda dengan yang sering kita temui di rumah-rumah.

Lalat ini berbeda. Mereka tidak bisa menyebarkan penyakit. Ardy pun menjuluki lalat ini sebagai lalat baik.

Lalat jantan dan betina kemudian kawin dan menghasilkan telur. Para pembudidaya sudah menyediakan kayu untuk para lalat bertelur di situ.

"Lalat jantannya setelah kawin mereka mati. Lalat betinanya nunggu bertelur dulu, baru mati. Awal mula dari larva magot ya ini," kata Ardy kepada awak media yang sudah larut dalam penjelasan pria kelahiran 1998 tersebut.

Dalam satu kali bertelur, satu betina bisa menghasilkan 500 hingga 900 telur. Satu gram telur itu bisa menghasilkan satu kilogram magot.

Adapun untuk proses pemanenan maggot bisa memakan waktu selama kurang lebih 15 hari.

Baca juga: Ajak Mitra Binaan, Pertamina SMEXPO 2024 Dorong UMKM Lokal Jadi VOKAL

Ardy menjelaskan rangkaian prosesnya dengan cara yang mudah dipahami. Jadi, telur-telur maggot yang sebelumnya sudah berada di kayu-kayu itu diambil dan ditaruh di tempat penetasan. Mereka pun menetas menjadi baby larva.

Kemudian, saat menginjak usia 3 sampai 5 hari, para larva siap mengonsumsi seluruh limbah organik yang telah disiapkan.

Satu kilogram maggot bisa mengonsumsi 10 kilogram sampah sampai masa habis hidupnya. Di pusat pembudidaya ini, rata-rata per pekannya menghasilkan 100 kilogram maggot. 

Selanjutnya, ketika larva sudah berusia 15-18 hari, Ardy dan kawan-kawannya siap melakukan panen maggot.

50 persen hasil panen kemudian dijual, sedangkan 50 persen sisanya mereka putar lagi ke awall siklus memproduksi maggot.

Maggot yang sudah dipanen bisa dijual dan dimanfaatkan oleh peternak untuk pakan. Biasanya, ini merupakan alternatif pakan bagi unggas dan ikan hias seperti koi.

Maggot juga bisa dikeringkan dan dikonsumsi oleh manusia. Kami diberi kesempatan untuk memakannya.

Para awak media tampak ragu ketika disuguhi maggot yang telah dikeringkan. Namun, salah satu peternak berbaju hitam memakannya dan menunjukkan bahwa ini aman.

Repoter Tribunnews ikut mencoba maggot yang telah dikeringkan. Sempat ragu ketika menggenggam maggot kering tersebut, tetapi ternyata rasanya biasa saja.

Rasanya seperti makan keripik. Pikiran saat itu yang terbayang adalah bagaimana jika memakannya dengan nasi hangat dan sambal.

Maggot kering juga tampaknya bisa menjadi alternatif menu Makan Bergizi Gratis. Sebab, para pembudidaya ini semangat sekali menyebutkan bahwa kandungan protein maggot kering sangat tinggi.

Kembali ke proses pemanenan maggot. 50 persen maggot yang tidak dijual ini akan dibiarkan menjadi pupa atau kepompong untuk kemudian menetas menjadi lalat kembali.

"Setelah jadi lalat, kembali lagi siklus awal. Dia kawin, dia bertelur lagi, sampai jadi maggot lagi, dan jadi lalat lagi," ucap Ardy.

Untuk 50 persen maggot yang dijual, pusat budidaya ini menjual maggot segar yang sudah diolah menjadi bubuk cair seharga Rp 6 ribu per kilogram. Namun, jika yang sudah dikeringkan, bisa mencapai Rp 70-80 ribu.

Pembeli juga bisa mendapatkan maggot segar dengan harga Rp 800 per kilogram, tetapi tidak akan mendapatkan yang sudah diolah menjadi bubuk cair.

Menurut Sundarianto, pria yang mengepalai para pembudidaya di tempat ini, maggot-maggot ini dijual kepada peternak mandiri dan petani sekitar.

Sampah Didapat dari Warga

Pusat budidaya ini ternyata juga memanfaatkan sampah organik warga sekitar. Mereka bahkan rela menghargai sampah tersebut.

Sampah di sini mereka bedakan menjadi dua, yaitu sampah serat kasar dan sampah serat halus.

Sampah serat halus merupakan sampah organik dari sisa dapur seperti nasi dan lauk pauk. Sampah ini dimaksimalkan sebagai pakan maggot.

Sampah serat kasar itu buah-buahan seperti buah naga, jeruk, dan alpukat. Ini mereka cacah kemudian ditiriskan untuk diambil air lindinya.

Setelah itu, mereka olah menjadi pupuk organik cair yang diinovasikan dengan cangkang pupa, bangkai lalat, dan juga hasil dari olahan maggot yang lain.

Untuk pengumpulan sampahnya, mereka memiliki jasa pelayanan sampah. Jadi, setiap keluarga di sekitar wilayah budidaya berlangganan sebesar Rp 25.000 untuk satu bulannyaa.

Bagi yang berlangganan, sampah organik mereka akan rutin diambil untuk dimanfaatkan Pusat Budidaya Maggot ini.

Selain itu, pusat budidaya ini juga mendapatkan suplai sampah dari PT BSI.

Total sampah yang bisa diurai selama enam bulan rata-rata bisa mencapai 6 ton.

Menurut Ardy, masyarakat merasa sangat terbantu dengan kehadiran budidaya ini karena limbah mereka dapat terurai secara baik.

Di saat yang sama, ketika sampah ini berperan besar, sampah juga menjadi tantangan utama.

Sundarianto merasa bahwa sampah ini merupakan faktor utama dalam hal tantangan mengelola pusat budidaya maggot.

Ia heran sampah organik yang seharusnya mudah ditemukan, malah sulit didapat ketika memang sedang dicari.

"Kalau kita sudah terjun di dunia budidaya maggot ini, sampah organik itu akan sembunyi. Ke mana kita nyari?" ucap Sundarianto.

Ia pun mengenang ketika awal-awal melakukan budidaya, target pemenuhan sampah organik sering tidak terpenuhi. Kala itu, mereka harus sampai mengais sisa-sisa sampah.

Tantangan lainnya dalam mengumpulkan sampah adalah kebiasaan dari warganya itu sendiri. Para pembudidaya sudah menyediakan kotak bagi warga untuk memisahkan sampah mereka.

Namun, itu hanya berjalan satu hingga dua bulan. Setelah itu para ibu-ibu itu mengatakan bahwa mereka sibuk mengurus keluarga, sehingga tidak sempat untuk memilah.

Akhirnya, Sundarianto datang dengan ide dua jenis berlangganan yang berbeda.

Satu keluarga dikenakan biaya Rp 10-15 ribu per bulannya jika mereka mau memilah sampahnya sendiri. Bagi yang tidak ingin memilah, mereka harus membayar lebih mahal, yaitu sebesar Rp 25 ribu.

Para ibu-ibu lebih memilih yang Rp 25 ribu.

Teknis pengumpulan sampah pun para pembudidaya ini keliling ke rumah-rumah warga dan mengambilnya sendiri.

Tenaga Kerja Tidak Berorientasi Untung

Para pekerja yang berada di pusat budidaya ini berasal dari PEGA Indonesia. Kepanjangan dari PEGA merupakan adalah Pemuda Etan Gladak Anyar.

"Gladak itu jembatan. Pemuda Etan Geladak Anyar. Jadi kita dulu komunitas pemuda yang hidupnya itu di pinggir jalan di Etan Gladak Anyar," kata Ardy.

Mereka telah mengolah limbah organik dengan dukungan dari PT BSI sejak 2018. Ini konsisten sampai sekarang memproduksi 100 kilogram maggot per pekan.

Total tenaga kerja yang ada di budidaya ini kurang lebih ada 10 orang. 

Mereka dibagi menjadi tiga divisi, yaitu pemilahan, siklus, dan pelayanan sampah. Ini merupakan divisi teknis.

Sementara itu Ardy bergerak di bidang non teknis, di mana ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar untuk menjadi trainer.

Pusat budidaya ini juga tidak mengincar profit atau keuntungan. Sundarianto memandang kehadiran mereka adalah untuk memanfaatkan sampah sebanyak-banyaknya.

Bagi mereka, keuntungan hanyalah bonus, biarkan menyusul saja.

Para pembudidaya ini juga bekerja secara sukarela. Mereka bukan orang-orang yang bekerja 100 persen full time di pusat budidaya ini.

Ada yang bekerja sebagai karyawan perusahaan, ada juga yang kerja di dealer kendaraan bermotor, lalu ada juga yang memiliki usaha sendiri di rumah. Jadi, pembudidaya maggot hanya sampingan.

"Targetnya dari awal kita enggak profit. Kita enggak bertujuan untuk menghasilkan profit, tapi kita untuk pemanfaatan dan keberlangsungan lingkungan yang ada di sini dari awal," ucap Ardy secara tegas. 

Jadi, keuntungan yang didapat dari pusat budidaya ini hanya untuk menghidupi fasilitasnya. Kalau ada lebihnya, baru untuk karyawan.

Awal Mula

Orang-orang ini memulai budidaya maggot berangkat dari keresahan mereka akan kehadiran sampah yang mengganggu.

Selain baunya yang mengganggu, sampah-sampah ini juga kerap dibuang oleh warga ke sungai, sehingga mereka yang gemar memancing kesulitan mendapatkan ikan.

"Kalau di kolong jembatan ini tiap kita mancing, dulu ada orang-orang yang buang sampah dari jembatan, jadi ikan kabur semua. Kita enggak dapat ikan," ucap Ardy.

Akhirnya, Sundarianto memiliki inisiatif mencari inovasi untuk mengurangi limbah yang warga buang ke sungai.

Setelah mencari tahu, mereka menemukan ada maggot BSF. Saat itu, pada awal-awal mereka mempelajarinya hanya bermodalkan video dari YouTube.

Kala itu, mereka tidak tahu harus mendapatkan dana dari mana. Pada 2017, mereka mempunyai inovasi, tetapi tak memiliki dana.

Setahun setelah itu, PT BSI hadir membantu mereka dari segi dana, permodalan, dan lain-lain.

PT BSI bisa mulai memodali mereka para pemuda ini karena aksi demo.

Jadi, PEGA melakukan demo di dekat kawasan tambang. Mereka melarang kendaraan lewat, menyebabkan logistik macet, sehingga aktivitas tambang juga terhambat.

Selang beberapa hari setelah itu, tim program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) PT BSI mendatangi warga dan dialog pun terjadi.

Beberapa bulan setelah itu, akhirnya PT BSI sepakat untuk membantu budidaya maggot ini.

Jadi Konsultan dan Pelatih

Ardy yang berada di divisi non teknis sering diminta menjadi konsultan atau pelatih.

Ia bersama Sundarianto lebih banyak menghabiskan waktu di luar pusat budidaya. Mereka menjadi orang yang berhubungan pihak luar jika ada yang ingin menjalin kerja sama.

Beberapa kerja sama terakhir ada bersama perusahaan plat merah, Pemerintah Daerah, dan pihak luar negeri tepatnya dari Norwegia.

Hingga saat ini, sudah ada puluhan tempat yang didatangi Ardy dan Sundarianto untuk didampingi menjadi pembudidaya maggot. Mayoritas ada di Banyuwangi.

Selain Banyuwangi, mereka juga mendatangi tempat lain seperti Jember dan Situbondo, tetapi di situ mereka hanya sekadar pelatihan.

"Masih belum ada proses pendampingan sampai jadi. Kita memberikan pelatihan, jadi atau tidaknya tanggung jawab mereka," kata Ardy.

Mereka menawarkan berbagai paket harga. Ada paket yang hanya pelatihan, ada juga paket pelatihan plus pendampingan sampai bisa membuat budidaya maggot sendiri.

Meski memasang harva, biaya yang dipatok disebut tidak terlalu tinggi. "Enggak setinggi orang-orang yang memang benar-benar konsultan," tandas Ardy.

Harapan PT BSI

Community Empowerment and Program Superintendent PT BSI Amirrul Darmawan menaruh harapan pada pusat budidaya ini untuk bisa melahirkan lebih banyak lagi kelompok-kelompok kecil serupa.

Sebab, di Kecamatan Pesanggaran ini, sampah organik belum bisa tertangani dan terkelola secara baik.

Ia ingat ketika pertama kali Pusat Budidaya Maggot ini baru dua tahun pertama dibina oleh BSI. Saat itu tempatnya masih kecil, berada di belakang rumah warga.

Namun, sekarang mereka sudah bertransformasi menajadih lebih luas. Apalagi kini mereka sudah dipercaya pemerintah desa dan kabupaten serta NGO luar negeri untuk digunakan jasa konsultasinha.

"Jadi kalau ada pelatihan pengolahan sampah organik, mereka jadi narasumber. Sekarang mereka jadi mentor di Balai Pendidikan Vokasi Dari Kementerian Ketenagakerjaan," ucap Darmawan.

Pusat Budidaya Maggot ini menjadi salah satu etalase PPM PT BSI. Ketika ada tamu, mereka selalu dibawa ke pusat ini.

BSI pun masih mendukung kegiatan PEGA di Pusat Budidaya Maggot ini. Tak hanya tempat dan fasilitas, BSI juga menyediakan sampah organik dari kawasan tambang.

Community Development Staff PT BSI Adhitya Chandra Setyawan mengatakan pihaknya sekarang lebih memonitor mereka bagiamana bisa naik kelas.

Ia mengakui kini budidayanya belum bisa dibuat menjadi bisnis. Namun, PEGA Indonesia sekarang lebih diarahkan sebagai konsultan. Mereka mengajarkan para pihak yang diajak bekerjasama untuk memilah sampah.

Dalam sebuah kesempatan berdiskusi, Adhitya ingin menjadikan PEGA Indonesia menjadi sebuah solusi.

Jika ke depannya Banyuwangi menjadi daerah percontohan untuk pengelolaan sampah organik, PEGA Indonesia dinilai bisa laku untuk dijual ke daerah lain.

Pernah ada sebuah perusahaan tambang yang sedang mengunjungi pusat budidaya ini tertarik menjadikan PEGA Indonesia sebagai konsultan.

"Saya bilang, 'Monggo silakan langsung ke teman-teman PEGA.' Kita cuma mendampingi di segi itu, setelah itu kami lepas. Ya, rezeki mereka," kata Adhitya sambil ketawa kecil.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Informasi 


 Postingan Lainnya