PNS Tak Kunjung Dipindahkan ke IKN, Ada Apa? - Bisnis Liputan6
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas, buka suara soal Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang hingga kini belum pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
diperbarui 04 Okt 2024, 11:15 WIBDiterbitkan 04 Okt 2024, 11:15 WIB
Update terbaru pembangunan rumah atau hunian bagi para menteri di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur selesai pada Juli 2024. (Dok Kementerian PUPR)
Liputan6.com, Jakarta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas, buka suara soal Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang hingga kini belum pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
Azwar Anas mengaku, dirinya masih menunggu arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), lantaran ekosistemnya belum sempurna di IKN.
"Arahan Pak Presiden terakhir menunggu ekosistemnya disempurnakan, mulai dari sistem digitalnya lalu apartemennya dan lain-lain," kata Anas ditemui di kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat, (4/10/2024).
Sebenarnya, kata Anas, pemerintah telah menyiapkan lebih dari 500 hingga 1000 unit apartemen untuk hunian para PNS. Tapi Presiden meminta agar ekosistem di IKN disempurnakan lebih dahulu by name, by address, jabatannya dan lain-lainnya.
"Sebenarnya sudah kita siapkan untuk seluruh instansi, baik by name, by address, jabatannya dan lain-lain, kita tinggal tunggu arahan Pak Presiden," ujarnya.
Sebelumnya, MenPANRB menegaskan, kepindahan ASN dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kesiapan hunian yang telah disiapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN).
Alasan tidak serentaknya pemindahan ASN sesuai dengan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni pemindahan tidak dilakukan secara terburu-buru hingga infrastrukturnya memadai.
Pengamat: Penamaan Nusantara bagi IKN Sudah Tepat
Pembangunan Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (29/2/2024). (Foto: Kementerian Perhubungan/Kemenhub)
Pengamat kebijakan publik IDP-LP Riko Noviantoro menilai, gagasan Ketua Umum Gerakan Marhaenis (GPM), Izedrik Emir Moeis untuk mengubah nama ibu kota nusantara (IKN) menjadi Soekarnopura adalah gagasan yang kurang tepat.
Menurut pria yang juga peneliti dan akademisi ini, pemilihan nama Nusantara yang disematkan pada ibu kota negara ini telah melewati sejumlah kajian akademis.
“Saya nilai ide Ketua Umum GPM itu kurang tepat ya,” tegas Riko Noviantoro dalam keterangan yang diterima, Kamis (3/10/2024).
Lebih jauh Riko menjelaskan, pemaparan nama Nusantara juga telah melewati uji publik yang memadai. Artinya banyak pihak yang terlibat dan memahami tinjauan filosofis dan historis dari penggunaan nama Nusantara.
Bukan itu saja, menurut Riko pemilihan nama Nusantara juga lebih ideal. Sebagai titik tengah dari berbagai kepentingan paternalistik. Sekaligus penamaan itu sebagai simbol dari momentum dibangunannya kawasan baru.
“Ada banyak tinjauan historis dan filosofis dari nama nusantara tersebut. Sekaligus menjadi berbagai polemik lain dari pilihan nama. Maka sudah tepat dan seimbang,” imbuhnya.
Ketum GPM Emir Moeis Usul Nama IKN Soekarnapura
Pembangunan hunian untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), atau rumah PNS dan TNI/Polri di Ibu Kota Nusantara (IKN). (Foto: Kementerian PUPR)
Sebelumnya, Ketua Umum (Ketum) Gerakan Pemuda Marhaenis Izedrik Emir Moeis menyampaikan usulan agar pemberian nama IKN dikaitkan dengan sejarah berdirinya Negara Indonesia.
“Kita harus ingat sejarah, bahwa salah satu pendiri bangsa ini adalah Soekarno. Selain sebagai presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno adalah tokoh yang merepresentasikan persatuan dan kesatuan bangsa.” kata Emir Moeis saat memberikan sambutan dalam acara bedah buku “Inche Abdoel Moeis, Pejuang Nasionalis Tanpa Pamrih” yang digelar di Ruang Theater Lantai 3 Gedung Prof Masjaya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Rabu (4/9/2024).
“Beliau bisa diterima semua kalangan, semua agama dan semua golongan,” tambah Emir Moeis di acara yang dihadiri ratusan mahasiswa, dosen, dan undangan tersebut.
Dalam kesempatan itu, Emir Moeis mengingatkan tentang sejarah perebutan Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Papua, menurutnya, mengalami beberapa perubahan ibu kota sepanjang sejarahnya.
Sebelum Papua secara resmi menjadi bagian dari Indonesia, wilayah ini merupakan bagian dari Papua Nugini yang dikuasai oleh Belanda. Pada masa kolonial Belanda, ibu kota administratif di wilayah Papua adalah Hollandia.
“Nama ini digunakan selama masa penjajahan Belanda, dan kota ini menjadi pusat administratif utama di wilayah Papua saat itu. Nama Hollandia kemudian diubah menjadi Sukarnapura hingga tahun 1967. Kemudian oleh Orde Baru diubah menjadi Jayapura hingga sekarang ini,” kata Emir.
Infografis Konsep Future Smart Forest City di IKN Nusantara. (Liputan6.com/Abdillah)
Komentar
Posting Komentar