Nestapa Pecel Semanggi, Ikon Kuliner Surabaya yang Ditinggal Anak Muda Halaman all - Kompas
SURABAYA, KOMPAS.com - Kota Surabaya tak hanya punya rawon dan bebek sebagai kuliner andalan. Masih ada pecel semanggi yang sudah sejak lama menjadi ikon untuk kota ini.
Layaknya pecel pada umumnya, pecel semanggi disajikan dengan daun pisang yang dipincuk. Dicampur dengan sayur lain, seperti toge, kangkung, dan bunga turi.
Lalu disiram bumbu pecel khas semanggi berwarna coklat sedikit gelap terdiri dari kacang, ubi, atau ketela yang direbus bersama gula jawa dan cabai -untuk menambah rasa pedas.
Menikmati pecel semanggi tak afdol jika tidak ditambah krupuk puli yang terbuat beras. Bentuknya persegi panjang dan berwarna kuning cerah. Rasanya kriuk renyah saat dikunyah.
Baca juga: Menikmati Kupang Lontong Cak Kartolo, Kuliner Legendaris Sidoarjo yang Tak Pernah Sepi Pembeli
Kudapan ini lebih mudah ditemui di pagi hari. Bahkan, hanya ada di beberapa titik saja di Kota Surabaya.
Penjualnya pun mayoritas ibu-ibu lansia yang berjalan kaki sambil menggendong keranjang berbahan anyaman rotan.
Akademisi Universitas Negeri Surabaya, Prof. Rindawati sempat mengkaji pecel semanggi dalam perspektif antropologi sosial.
Bukan sekadar makanan, pecel semanggi mewakili hubungan budaya, individu, dan kolektif.
Sayangnya, Rindawati juga mengakui, di zaman sekarang banyak generasi muda yang tidak doyan dengan pecel semanggi. Jangankan ikut menjual dan memasarkan, menikmati saja pun enggan.
“Kayaknya khusus anak muda sekarang banyak yang belum kenal. Jamannya sekarang sudah lebih modern, dan dengan cara dagang seperti itu mungkin nampaknya anak muda nggak mau sengsara,” kata Rinda.
Baca juga: Menguak Rahasia Kuah Pekat Rawon Subedo, Kuliner Khas Surabaya
Nestapa ini diakui salah satu penjual pecel semanggi yang melapak di trotoar Jalan Aditywarman. Kasimah (58).
Dia mengaku sedari pagi sudah berkeliling menjual dagangannya hingga sore. Jarang dagangannya bisa ludes terjual. Mungkin, kata dia, karena sekarang peminat pecel semanggi jauh berkurang.
“Yang beli ya gini-gini aja, kebanyakan emang orang tua. Ya ada sih anak mudanya tapi nggak banyak,” sebut Kasimah.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, pecel semanggi dagangan Kasimah memang lebih banyak diburu oleh ibu-ibu usia 50 tahun ke atas.
Hanya sesekali penarik ojek online (ojol) ikut nimbrung menikmati pecel, sambil menunggu orderan.
“Saya jualan sudah 30 tahun. Dari yang harganya Rp750 sekarang Rp13.000,” imbuh Kasimah sambil menyiram bumbu pecel di atas semanggi.
Menurut Rinda, jika ditimbang, berat keranjang rotan yang dipikul pedagang pecel semanggi mungkin mencapai tujuh kilogram.
Baca juga: Tahu Tepo Kecap Madiun: Pedasnya Nendang, Lembut Manjakan Lidah
Tetapi, kata Rinda, metode dagang pecel semanggi inilah yang justru menjadi ciri khas tersendiri.
“Jadi kita juga harus tahu -khususnya anak Surabaya yang muda-muda ini juga berusaha untuk lebih mengenalkan dengan media sosialnya."
"Atau, juga dengan membantu para pedagang itu, agar bagaimana cara inovasi yang sekarang sesuai jaman sekarang."
"Supaya lebih dikenal dan semanggi Surabaya itu bisa terangkat sebagai budaya kuliner lokal khususnya,” tutur Rinda.
Pecel semanggi jadi karya seni
Lihat Foto
Saking ikoniknya, pecel semanggi telah menjelma dalam berbagai karya seni. Misalnya musik keroncong berjudul “Semanggi Suroboyo” yang diciptakan oleh S. Padimin pada tahun 1950-an.
Pecel semanggi juga kerap dijadikan sebagai latar cerita pedagang pecel sehari-hari dalam kesenian ludruk.
Lalu, demi mempertahankan semanggi di era sekarang, Pemerintah Kota Surabaya menamai layanan transportasi umumnya, Trans Semanggi Suroboyo. Badan busnya pun berhias gambar daun semanggi.
Baca juga: Sirup Pokak, Minuman Rempah Khas Pasuruan
Surabaya juga memiliki Kampung Semanggi, di mana warga di sana menghidupi diri menjadi petani dan penjual semanggi. Kampung ini berlokasi di Jalan Kendung IX, Kelurahan Sememi, Kecamatan Benowo.
Kompas.com sempat bertanya kepada salah seorang culinary enthusiast di Surabaya, Baskoro Aris Sansoko (29) tentang fenomena pecel semanggi ini.
Sebagai bagian dari generasi muda, Baskoro menyakini, untuk membuat semua kalangan menyukai kuliner pecel semanggi bukanlah hal mudah.
“Sekarang seller semanggi yang sulit. Kalau pengamatanku, anak muda hari ini semakin sulit menikmati aroma dan rasa hijau atau langu sayur."
"Sedangkan semanggi tuh inti rasanya itu ditambah dengan sedikit pahit. Gak usah deh semanggi, ajak aja anak muda ke AYCE (all you can eat), ambil daging doang atau sama selada keriting. Itu PR banget,” kata dia.
Pria yang akrab disapa Bas ini pun sempat mempertanyakan kepopuleran pecel semanggi di tahun 1950-an, yang sampai menjadi inspirasi terciptanya sebuah lagu tadi.
Baca juga: Nasi Goreng Anglo Kediri, Kuliner Hasil Akulturasi Budaya
“Jangan-jangan, popularitas pecel semanggi dari dulu sampai sekarang ya kayak gini ini sebagai hidangan?"
"Ya kayak botok atau brengkes. Jarang sekali orang Surabaya tiap hari kebayang-bayang ingin makan botok, brengkes kan? Kira-kira sama lah ama pecel semanggi,” imbuh dia.
Sebab, menurut Bas, tidak semua bentuk kebudayaan kuliner bisa setara dalam popularitas.
Pecel semanggi dibuat lebih inovatif dengan dikreasikan menjadi menu yang lebih diterima semua kalangan, barangkali bisa menjadi langkah yang tepat, kata dia.
“Dalam konteks semanggi, para penjual, chef, budayawan kuliner kiranya perlu memikirkan secara khusus bagaimana semanggi bisa dilibatkan dalam hidangan-hidangan lainnya, yang dikemas baik dalam hidangan populer maupun hidangan harian,” cetus Bas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Komentar
Posting Komentar