Kasus mantan Kapolres Ngada momentum perkuat sistem perlindungan anak - ANTARA News
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriany Gantina mengharapkan kasus mantan Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja dapat menjadi momentum untuk memperkuat sistem perlindungan anak di Indonesia.
Wakil rakyat yang berada di komisi bidang agama, sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak tersebut sebagaimana keterangannya di Jakarta, Selasa juga ingin memastikan bahwa setiap anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari ancaman kekerasan.
Terlepas dari kebejatan pelaku, mengutip mandat Ketua DPR RI Puan Maharani, Selly juga meminta agar perlindungan terhadap anak dan perempuan menjadi prioritas utama dalam sistem hukum dan kebijakan negara.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kejahatan terhadap anak merupakan pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan tidak boleh dibiarkan terjadi di institusi mana pun, terlebih kejahatan ini masuk dalam lingkup aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda depan dalam memberikan perlindungan.
"Proses hukum yang transparan dan akuntabel menjadi kebutuhan mendesak sehingga keadilan bagi para korban dapat terwujud tanpa hambatan," tambah Selly.
Komitmen hukum demikian, kata dia, selaras dengan partai yang kini dikomandoi Ketua DPR RI Puan Maharani senantiasa menekankan pentingnya menjaga harkat dan martabat perempuan serta anak dalam berbagai kebijakan dan perundang-undangan.
Hal ini sejalan dengan upaya untuk memperkuat perlindungan hukum serta meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya pencegahan kekerasan seksual.
Agar kejadian tak terulang, menurut dia, sosialisasi UU Perlindungan Anak dan UU TPKS harus makin diperluas, termasuk dalam lingkungan institusi yang punya kewenangan dalam penegakan hukum.
Dalam konteks ini, dia berharap makin memperkuat peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak untuk memastikan bahwa korban mendapatkan pendampingan hukum dan psikososial yang layak.
"Tidak hanya itu, pengawasan yang lebih ketat terhadap institusi penegak hukum juga menjadi langkah yang perlu agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara tetap terjaga," tuturnya.
Selly menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan juga meninggalkan luka mendalam yang dapat berdampak pada masa depan mereka.
Oleh sebab itu, penegakan hukum yang tegas dan berpihak pada korban harus menjadi komitmen bersama. Tidak boleh ada ruang bagi pelaku kekerasan seksual dalam institusi negara maupun di tengah masyarakat.
Dikatakan pula bahwa masa depan anak-anak korban kekerasan seksual harus menjadi perhatian utama. Negara tidak hanya harus menegakkan hukum terhadap pelaku, tetapi juga memastikan pemulihan psikologis dan sosial bagi korban.
Dukungan pendidikan, rehabilitasi, serta lingkungan yang aman, kata dia, harus menjadi prioritas agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan yang normal tanpa trauma berkepanjangan.
Ia juga menyoroti pentingnya kerja sama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat dalam memperkuat sistem perlindungan anak.
Pendidikan tentang bahaya kekerasan seksual, lanjut dia, harus ditanamkan sejak dini, sementara negara harus hadir secara nyata untuk jamin setiap anak dapat tumbuh dengan aman dan punya masa depan yang cerah.
Dalam keterangannya tersebut, Selly juga mendesak AKBP Fajar agar dihukum berat dan maksimal atas dugaan mencabuli dan merekam tiga anaknya yang masih di bawah umur.
Ia mengatakan bahwa AKBP Fajar juga terindikasi penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu.
"Harus dihukum maksimal. Apalagi, dia sebagai Kapolres seharusnya memberi contoh, bukan merenggut masa depan anaknya sendiri, benar-benar perbuatan biadab," katanya.
Meskipun saat ini AKBP Fajar sudah dicopot dari jabatannya dan tengah berproses pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) di lingkungan Polri. Namun, dia menegaskan bahwa hal itu tidak memberikan rasa puas bagi hukum di negara ini.
Merujuk dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) serta UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dia mendesak hukuman maksimal wajib diberikan kepada lulusan Akpol pada tahun 2004 ini.
Jeratan Pasal 13 UU TPKS bisa diberikan kepada yang bersangkutan dengan hukuman 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar. Namun, karena pelaku adalah pejabat daerah dan keluarga, hukumannya bisa diperberat sepertiga atau tambahan 5 tahun serta perekaman yang membuat dirinya bisa dituntut tambahan 4 tahun.
Baca juga: KPAI kecam kekerasan seksual anak yang dilakukan Kapolres Ngada
Baca juga: Anggota DPR desak Kapolres Ngada dihukum maksimal
Selain berkaca dari konsumsi narkotika yang ada, AKBP Fajar melanggar Pasal 127 ayat (1) sebagaimana UU Narkotika.
"Artinya bila di-juncto-kan, serendahnya dia bisa dikenai hukuman 20 tahun. Akan tetapi, karena bejatnya, saya pikir hukuman seumur hidup atau mati lebih pantas," ujarnya.
Baca juga: Propam Polri disebut masih memeriksa Kapolres Ngada
Baca juga: KPAI : Perbuatan Kapolres Ngada masuk dalam bentuk baru TPPO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar