Kisah Jusuf Manggabarani saat Dicopot Jabat Kapolda Sulsel, 'Mana Kopi, Kopi Paling Pahit' - Halaman all - Tribun-timur

TRIBUN-TIMUR.COM - “Dengar baik-baik Nak! Lelaki itu cuma satu kali menangis. Saat dia dilahirkan saja. Tapi saat itu, semua orang di sekelilingnya tersenyum bahagia. Ingat, setelah itu lelaki tak pernah lagi menangis. Dia hidup menjalani tanggung jawabnya dan meninggal dengan tersenyum. Saat itu, semua orang sekitarnya justru menangis. Jadilah lelaki, menangis hanya satu sekali.”
Ini fakta cerita 21 tahun silam.
Tepatnya, 32 menit jelang azan Magrib, Ahad 2 Mei 2005.
Locus-nya, rumah Jabatan Kapolda Sulsel, Jl Letnan Jenderal Mappaoddang No 44, Kelurahan Bongaya, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulsel.
Jusuf Manggabarani, baru dua bulan berusia 51 tahun.
Baca juga: Profil Komjen Jusuf Manggabarani Eks Wakapolri Meninggal Dunia, Mertua Erwin Aksa
Pangkat jenderal bintang dua, inspektur jenderal polisi, sudah tahun kedua di pundaknya.
Tegap, dia berjalan memasuki pendopo rumah jabatan.
Tegas, dia berujar lantang dan berat:
“Manaa kopiiii. Kopi paling pahiiiiiiiiiittt..” ujar Jusuf.
Permintaan jenderal bintang dua bertubuh subur itu, memecah keheningan rumah.
Sejak dari teras, suasana duka sudah terasa.
Saat, Jusuf duduk di bibir kolam ikan, istrinya, AKBP Sumiati, langsung mendekat.
Suaranya lirih berbisik, “Paa, Edy (Sabara) sudah sejak tadi telepon dari (Akpol) Semarang. Dia menangis, mau bicara.”
Jusuf merespon dengan tenang.
Tak ada yang berani mendekat.
Tujuh dari 12 saudaranya, memilih mengambil jarak.
Putri keduanya, Andi “Ii’ Fatmawati lagi hamil tua, untuk anak pertamanya.
Didampingi, suaminya Erwin Aksa, Ii mendekat. Sambil mengelus perutnya, putri satu-satunya Jusuf itu, berujar lirih. “Baik-baik jiii…”
Jusuf tersenyum dan mengangguk.
“Manami kopiiii,” dia menoleh ke arah ajudan.
Gelas, kopi hitam diletakkan di meja.
Setelah tegukan pertama, Jusuf berujar. “Mana, telepon Edy.”
Edi sejak siang, coba menelepon ayahnya.
Dia taruna tahun kedua di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang.
Suamiati lalu mendekat. Polwan yang sudah 25 tahun menemani suaminya, datang. dengan telepon Nokia di genggaman.
Samar-samar, suara tangis Edy terdengar.
“Ehhh, diam. Diam. Anak lelaki jangan nangis.” ujar Jusuf.
Edi masih terisak. “Saya tak bicara kalau kau tak diam.”
Usai menanyakan, kabar anaknya, Jusuf berujar lirih dengan senyum mereka.
“Nah, begitu… Bapak baik-baik saja. Saya ini laki-laki Nak. Laki-laki itu harus tegar, Ini risiko jabatan. Risiko jadi komandan. “
Jusuf coba menjelaskan sikapnya, menghadapi pencopotan dirinya sebagai Kapolda Sulsel, dari Kapolri Jenderal Dai Bachtiar.
Jusuf melanjutkan; “Dengar baik-baik Nak! Lelaki itu cuma satu kali menangis. Saat dia dilahirkan saja. Tapi saat itu, semua orang di sekelilingnya tersenyum bahagia.“
“Ingat, setelah itu lelaki tak pernah lagi menangis. Dia hidup menjalani tanggung jawabnya dan meninggal dengan tersenyum. Saat itu, semua orang sekitarnyalah menangis. Jadilah lelaki, menangis hanya satu sekali.”
Usai momen itu, Jusuf Manggabarani jadi imam shalat magrib.
Mengetahui ada Tribun yang ikut dalam pertemuan keluarga itu, Jusuf lantas meminta merekam puisinya.
“Tolong rekam puisi saya,” katanya.
“Pada waktu saya tertidur, Saya melihat hidup ini begitu indah. Tapi ketika saya terbangun, saya baru menyadari bahwa hidup ini adalah tanggung jawab.”
Sebelumnya, saya saat itu memang menguntit Sang Jenderal.
Sejak dari kampus UMI, Jl Urip Sumiharjo, —sekitar 4,3 km dari rujab kapolda-, saya sudah membututi Land Cruiser, mobil dinas kapolda yang ditumpanginya.
Saat membututi dengan Vespa PS Starada 87, aku terus membatin. “Ini cerita besar.”
Semangat jurnalisme-ku membuncah, saat dapat kabar dari kantor.
“Kapolri (Dai Bachtiar), copot Jenderal Jusuf Manggabarani, cepat cari di mana kapolda,” kata Dahlan Dahi, Redaktur Pelaksana Tribun Timur, saat itu.
Esoknya, Tribun Edisi Senin (3/5/2004), kisah dari rumah jabatan kapolda itu terbit, di headline halaman 1; dengan judul: “Manggabarani, Saya ini Laki-laki Nak.”
Sekitar 12 tahun kemudian, medio 2016, penulis, mengkonfirmasi kisah itu ke Edy Sabhara, putra ketiga Jusuf.
Edi saat itu, sudah berpangkat Ajun Komisaris Polisi. Dia menjabat Kepala Unit Jatanras Reskrim Polrestabes Makassar.
Komandan Edi saat itu, adalah AKBP Muhammad Endro.
Di kedai kopi, JL Veteran Selatan, bersama Ir Zakir Sabara, MT (40), saat itu masih menjabat Dekan FTI UMI, Edi hanya tersenyum saat mendengar kisah “pesan lelaki hanya menangis sekali.”
Selasa (20/5/2025) siang kemarin, saat Tribun mengkonfirmasi kabar meninggalnya ayahnya, Edy baru dua bulan menjabat Kapolres Pinrang. Pangkatnya, sudah AKBP.
“Iya Bang, saya dalam perjalanan ke Makassar.”
Tak ada terdengar tangis dari suara Edy di balik telepon.
Di rumah duka, di Kompleks Bukit Khatulistiwa, Tamalanrea, Edy terlihat mencoba tegar, meski bola matanya berkaca-kaca.
DATA DIRI
Nama: Jusuf Manggabarani
Lahir: Makassar, 11 Februari 1953
Istri: AKBP (Purn) Sumiaty, Ibu Asuh Polwan Polda Sulsel
Anak:
A. Haidir J.
A. Fatmawati Jusuf
A. Edi Sabhara Jusuf
A. Asraf Ali Jusuf Manggabarani
Saudara: 12
Jenjang Karier:
Akademi Polisi (1975)
Kasat Sabhara Poltabes Makassar
Dansat Brimob Polda Sulselra
Kapolres Tegal
Danmen II Gegana Korps Brimob Mabes Polri
Kapoltabes Makassar
Komandan Korps Brimob Mabes Polri
Wakapolda Sulsel
Komandan Korps Brimob
Kapolda Nangroe Aceh Darussalam / Pangkopslihkam
Kapolda Sulsel
Pati Mabes Polri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar