Sebelum Jadi Paus, Robert Prevost Ternyata Pernah "Bertugas" di Indonesia Halaman all - Kompas.com
Ia tidak hanya mengunjungi pusat kota, tetapi juga menjelajah hingga ke pelosok pedalaman, tempat umat Katolik hidup dalam kesederhanaan dan jauh dari akses utama.
Kesan Mendalam di Pedalaman Papua
Kunjungan Prevost ke Paroki Santo Yosep Ayawasi di Kabupaten Maybrat dan Paroki Santo Yosep Senopi di Kabupaten Tambrauw menjadi pengalaman berkesan bagi masyarakat setempat.
Hal itu disampaikan oleh Pater Markus Malar, yang kala itu masih menjadi novis. Ia melihat Prevost sebagai sosok yang sederhana dan bersedia membaur dengan umat di pedalaman.
”Saat itu paroki di Ayawasi dan Senopi masih sangat sederhana, termasuk suasana kampung masih sangat sederhana. Namun, beliau masih mau berkunjung ke sana, menginap di sana. Merasakan indahnya alam Papua di pedalaman serta persaudaraan dan persahabatan bersama umat,” kata Markus.
Selain sederhana, Prevost juga digambarkan sebagai sosok yang ramah dan sangat humanis.
”Sebagai novis, saat itu kami bisa duduk satu meja. Makan satu meja dengan Pater Robert Francis Prevost. Beliau orangnya sangat humanis, sangat ramah, dan sederhana. Saya sangat kagum dengan kecerdasan, kesederhanaan, dan kerendahan hatinya,” ucapnya.
Menurut Jan Pieter, Prevost, yang mampu berbicara dalam berbagai bahasa, seperti Italia, Perancis, Spanyol, Inggris, tetap membumi, sehingga membuatnya mudah diterima di berbagai komunitas internasional.
"Beliau adalah figur yang mampu memberikan seruan hidup sederhana di tengah dunia yang semakin materialistis," ujarnya.
Sosoknya dianggap mewakili semangat gereja yang inklusif dan penuh kasih terhadap mereka yang terpinggirkan.
Dukungan pada Pendidikan
Salah satu warisan paling nyata dari kunjungan Robert Prevost ke Papua adalah dorongannya terhadap pendidikan untuk masyarakat asli.
Saat itu, Paus Leo XIV berkesempatan memberi seminar di SMA Santo Agustinus Sorong.
Keterlibatannya dalam dunia pendidikan ini mencerminkan perhatiannya terhadap masa depan generasi muda Papua, terutama mereka yang berasal dari komunitas terpinggirkan.
Pater Floridus Angelus Naja, Imam Katolik Papua sekaligus dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Jayapura, mengungkap bahwa Prevost sangat memperjuangkan pendidikan bagi orang-orang kecil.
”Beliau sangat mendorong orang kecil itu memperoleh akses pendidikan setinggi-tingginya. Pada kepemimpinan beliau sebagai Prior General, saya dan tiga orang dari Papua diutus untuk belajar ke Vatikan. Kami yang dulunya tidak pernah keluar Papua akhirnya melihat dunia dan tinggal di Vatikan bersama-sama dia (Robert Prevost),” ujarnya.
Harapan Umat Katolik Papua pada Paus Leo XIV
Setelah menjabat sebagai pemimpin OSA selama dua periode, Prevost kembali ke Peru sebagai misionaris, lalu diangkat sebagai uskup pada 2013 oleh Paus Fransiskus.
Ia kemudian dipercaya memimpin Departemen Uskup Sedunia di Vatikan sebelum akhirnya terpilih sebagai Paus Leo XIV pada 2025.
Keprihatinannya terhadap ketidakadilan dan ketimpangan global, serta pengalaman langsungnya di komunitas-komunitas kecil seperti Papua, menjadi fondasi kuat bagi kepemimpinannya saat ini.
Tak heran bila umat Katolik Papua menyambut dengan sukacita atas terpilihnya Paus Leo XIV sebagai pemimpin tertinggi mereka.
Bagi umat Katolik Papua, kunjungan Robert Prevost dua dekade lalu bukan hanya kenangan, tetapi juga harapan.
Mereka menantikan lawatan ulang Paus Leo XIV ke tanah yang pernah ia jelajahi dalam kesederhanaan.
"Harapan saya, semoga beliau dapat mengunjungi kami lagi di Indonesia, terutama di Papua," ungkap Pater Jan Pieter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar