Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Beras Oplosan Berita Featured Lintas Peristiwa Pasar Cipinang pinfo

    Menelisik Beras Oplosan di Pasar Cipinang, Bisa Diorder Sesuai Pesanan, Bikin Rugi Hampir Rp100 T - Halaman all - TribunNews

    19 min read

     

    Menelisik Beras Oplosan di Pasar Cipinang, Bisa Diorder Sesuai Pesanan, Bikin Rugi Hampir Rp100 T - Halaman all - TribunNews

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktik pengoplosan atau mencampurkan beras jenis tertentu dengan jenis lainnya diduga masih dilakukan sejumlah pedagang atau distributor beras di sejumlah daerah di Indonesia.

    Padahal, pengoplosan beras setidaknya mengurangi kualitas beras dan tidak sesuai dengan standar mutu beras yang ditetapkan pemerintah.

    Terbaru, hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) menemukan peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET). 

    Akibat pelanggaran tersebut, potensi kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp99 triliun.

    Pemeriksaan dilakukan langsung ke pasar-pasar besar di 10 provinsi, menyasar kategori beras premium dan medium. Pemeriksaan menyangkut kualitas, takaran berat, dan kesesuaian harga dengan aturan pemerintah.

    Baca juga: Pemerintah Minta Pelaku Usaha Taati Ketentuan Label Kemasan Beras Harus Sesuai dengan Isinya

    Hasilnya, dari 136 merek beras premium yang diuji, 85,56 persen tak memenuhi standar mutu, 59,78 persen melampaui HET, dan 21 persen tidak sesuai berat. Bahkan, banyak kemasan lima kilogram hanya berisi empat kilogram beras.

    Kondisi lebih buruk ditemukan pada beras medium. Dari 76 merek yang diuji, sebanyak 88 persen tidak sesuai mutu, 95 persen melampaui HET, dan 10 persen tidak sesuai takaran.

    Temuan ini diperoleh melalui pengujian di 13 laboratorium dan akan segera diverifikasi ulang.

    Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyoroti anomali atau kejanggalan harga beras yang tinggi di pasar, padahal data produksi menunjukkan stok nasional berlimpah. 

    Berdasarkan laporan terbaru, produksi beras nasional diperkirakan mencapai 35,6 juta ton, melampaui target 32 juta ton.

    Kata Amran, pemerintah tak akan tinggal diam dan siap menindak tegas pihak-pihak yang merugikan masyarakat.

    “Kami mengajak semua pelaku usaha beras untuk segera koreksi. Ini tidak boleh dibiarkan dan harus dihentikan mulai hari ini,” kata Amran, dalam konferensi pers di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (26/6/2026).

    Tribunnews.com mencoba memantau langsung situasi di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, pada Rabu (25/6/2025). 

    Sekira pukul 11.13 WIB, di depan toko beras MB yang berlokasi di Blok L Pasar Induk Beras Cipinang, tampak lima orang pekerja kuli angkut toko tersebut tengah mengemas puluhan kilogram lebih beras yang berbentuk gundukan ke dalam karung-karung ukuran lima kilogram.

    Satu dari beberapa pekerja bertugas menjahit karung beras ukuran lima kilogram yang sudah diisi beras, sementara beberapa pekerja mengangkut karung-karung yang sudah selesai diisi dan dijahit menuju ke dalam toko untuk disimpan sebelum dikirim ke lokasi yang telah dipesan konsumen.

    Pemilik toko MB, Jefry (nama disamarkan), mengatakan puluhan kilogram lebih beras tersebut merupakan pesanan dari seorang anggota DPRD DKI Jakarta yang tak dia sebutkan namanya.

    Ia mengatakan, tim dari anggota dewan itu memesan 10 ton beras kepadanya, yang kemudian dikemas menjadi 2.000 karung ukuran lima kilogram. Beras-beras itu, katanya, akan didistribusikan di kawasan Pluit, Jakarta Utara dalam bentuk paket sembako berisi beras, minyak, dan gula.

    Jefry mengungkapkan, beras yang digunakannya untuk pesanan ini merupakan hasil oplosan alias "mixing" sebagaimana dia menyebut proses pencampuradukan satu jenis beras dengan jenis lainnya itu.

    Namun, saat ditanya komposisi jenis beras dan takar yang digunakannya dia enggan mengungkapkannya lantaran menurut Jefry, hal tersebut merupakan resep rahasia setiap pedagang beras.

    Adapun pria yang saat ditemui mengenakan kaus hitam dan celana denim selutut itu hanya menyebut, gundukan beras tersebut merupakan hasil pencampuran antara beberapa jenis beras medium.

    Beras itu dikemas menggunakan karung ukuran berat lima kilogram dengan merk "Sakura". 

    Ia mengklaim, merk tersebut adalah merk yang tidak dipatenkan perusahaan tertentu dan merupakan buatan pedagang karung beras.

    "Ini (beras) sudah diaduk semua, di-mix di situ beras medium dengan medium semua. Kan yang medium juga jenisnya bervariasi," kata Jefry dengan dialek Jawa saat ditemui di depan tokonya, Rabu.

    Jefry yang sedang berdiri tampak bergerak menuju kursi yang berada di sisi kanannya. 

    Dia segera duduk di kursi tersebut sambil menunjukkan beberapa jenis beras yang masing-masing jenisnya diletakkan terpisah di atas meja, di antaranya ada beras premium, beras medium, beras patahan atau siping (sisa samping), dan menir.

    Pria berbadan tegap itu mengatakan, harga beras premium di tokonya dijual dengan harga tertinggi Rp15 ribu, sedangkan beras medium sampai dengan harga tertinggi Rp13.600.

    Dia kemudian menjelaskan bagaimana pengoplosan beras dilakukan. Jefry mengklaim, beras oplosan hanya dijual jika ada permintaan dari konsumen.

    Katanya, pengoplosan beras dilakukan untuk memenuhi daya beli konsumen. Sehingga, berapapun bujet konsumen, pedagang akan mengusahakan agar permintaan konsumen dapat dikabulkan.

    Misalnya, kata Jefry, ketika ada konsumen ingin memesan beras yang kualitasnya hampir sama dengan premium, namun dengan harga Rp14 ribu per kilogram. Dia menyebut, akan mengoplos beras jenis medium dengan beras patah.

    "Kita menyesuaikan pesanan konsumen aja. Bisa aja (oplos) beras premium dengan medium. Tergantung permintaannya mau di-mix seperti apa. Kalau premium satu dan medium satu, ya tinggal dibagi dua," jelasnya.

    Ia mengatakan, pencampuran satu jenis beras dengan jenis yang lain yang kualitasnya di bawah beras medium juga memungkinkan untuk dilakukan, menyesuaikan bujet konsumen.

    Soal kemasan beras, katanya, bisa menggunakan karung umum atau karung yang desainnya tidak dipatenkan oleh perusahaan tertentu.

    Ia mengatakan, praktik "mixing" seperti yang dilakukannya boleh saja dilakukan. Sebab, menurutnya, pengoplosan beras itu tidak dilakukan untuk mencari keuntungan yang banyak. Namun, untuk mencapai tingkat daya beli masyarakat agar mereka mendapatkan beras dengan harga yang mereka sanggupi.

    "Kan asumsi pemerintah itu gini, ketika harga beras itu di Rp14.500, lalu kita aduk dengan yang beras sisa sampingan, akan dijual kembali Rp14.500, ya enggak mungkin laku," ujarnya.

    "Kalau bujet mereka (konsumen) cuma di Rp12 ribu, sementara beras di lapangan Rp12 ribu itu tidak ada. Ya mau enggak mau kita kan menyodorkan produk, ini contohnya seperti itu dengan harga segitu," tambah Jefry.

    Ia menilai, tanpa "mixing", usaha pedagang beras tak akan bisa berjalan.

    Selanjutnya, Jefry merespons kasus beras oplosan yang menjerat temannya di Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, dimana pihak kepolisian menyebut pelaku mencampurkan beras untuk keluarga miskin (raskin) 200 gram dengan beras Demak 600 gram, dan beras menir 200 gram.

    Selain itu, pelaku juga disebut menjual kemasan beras oplosan satu kilogram dengan harga Rp 14.500 dan mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp 600.

    "Sebenarnya pemerintah juga harus ikut tanggung jawab kalau barang itu tidak laku harus bagaimana. Karena enggak setiap konsumen itu mampu beli lima kilogram. Kalau eceran aja kan beli tiga liter, dua liter," ucapnya.

    Di sisi lain, Jefry juga menyoroti beras dari pemerintah dalam program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) tidak selalu berkualitas bagus, bahkan terkadang menurutnya tak layak dikonsumsi.

    Sehingga, katanya, pedagang juga harus mencampurkan beras SPHP dengan jenis beras yang lain untuk menyiasati penjualan beras dari program pemerintah itu.

    Praktik pengoplosan beras tak hanya bisa dilakukan di toko milik Jefry. 

    Hasil investigasi Tribunnews.com menemukan, pada dua dari tiga toko lainnya di kawasan Pasar Induk Beras Cipinang menerima orderan "mixing" beras. Di antaranya, toko beras NJ dan toko beras F.

    Kedua toko tersebut mengaku menyanggupi pengoplosan beras dengan sistem yang hampir sama dengan toko milik Jefry, yakni berdasarkan request konsumen.

    Sedangkan pada satu toko lainnya, yakni toko beras IJ, hanya membolehkan konsumen membeli beras "mixing" apabila jenis berasnya sama.

    "Kalau di-mix biasanya di sini (beras) premium dengan premium lagi. Kalau mengaduk beras dengan yang jelek, enggak bisa lah, apa adanya, kan kita enggak boleh mengoplos," kata seorang karyawati di toko IJ, Rika (nama disamarkan).

    Rika mengatakan, toko IJ hanya membolehkan konsumen untuk membeli beras jenis premium dan medium.

    Namun, ada kejanggalan ketika Rika tidak mengizinkan konsumen untuk membeli beberapa produk beras yang diletakkan pada rak-rak di toko tempatnya bekerja.

    Terdapat lebih dari tujuh karung beras kemasan lima kilogram dengan merk yang berbeda-beda di rak tersebut. 

    Rika mengungkapkan, beras-beras tersebut tak boleh dibeli pelanggan karena berisi beras utuh yang sudah dicampur beras jenis lain.

    "Kalau yang ini semua enggak boleh dibeli karena isinya campur menir. Memang dilarang dijual kalau yang seperti ini. Ini hanya untuk memperlihatkan desain-desain karung yang bisa digunakan pembeli. Kalau pun mau beli, itu harus jumlah banyak, misalnya minimal 50 kilogram," jelas perempuan berkerudung krem dengan paduan gamis warna hitam itu.

    Hasil Uji Laboratorium Sejumlah Sampel Beras di Jakarta

    Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 31/Permentan/PP.130/8/2017 tentang Kelas Mutu Beras, telah diatur kelas mutu beras dengan komponen sebagai berikut:

    1. Derajat Sosoh (minimal): Kelas mutu premium 95 persen dan medium 95 persen.

    2. Kadar Air (maksimal): Kelas mutu premium 14 persen dan medium 14 persen.

    3. Beras Kepala (minimal): Kelas mutu premium 85 persen dan medium 75 persen.

    4. Butir Patah (maksimal): Kelas mutu premium 15 persen dan medium 25 persen.

    5. Total Butir Beras Lainnya (maksimal), terdiri atas Butir Menir, Merah, Kuning/Rusak, Kapur: Kelas mutu premium 0 persen dan medium 5 persen.

    6. Butir Gabah (maksimal): Kelas mutu premium 0 butir/100 gram dan medium 1 butir/100 gram.

    7. Benda Lain (maksimal): Kelas mutu premium 0 persen dan medium 0,05 persen.

    Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras, telah diatur kelas mutu beras dengan komponen sebagai berikut:

    1. Derajat Sosoh (minimal): Kelas mutu premium 95 persen, medium 95 persen, submedium 95 persen, dan pecah 95 persen.

    2. Kadar Air (maksimal): Kelas mutu premium 14 persen, medium 14 persen, submedium 14 persen, dan pecah 14 persen.

    3. Butir Menir (maksimal): Kelas mutu premium 0,5 persen, medium 2,0 persen, submedium 4,0 persen, dan pecah 5,0 persen.

    4. Butir Patah (maksimal): Kelas mutu premium 15 persen, medium 25 persen, submedium 40 persen, dan pecah >40 persen.

    5. Total Butir Beras Lainnya (maksimal): Kelas mutu premium 1 persen, medium 4 persen, submedium 5 persen, dan pecah 5 persen.

    6. Butir Gabah (maksimal): Kelas mutu premium 0 butir/100 gram, medium 1 butir/100 gram, submedium 2 butir/100 gram, dan pecah 3 butir/100 gram.

    7. Benda Lain (maksimal): Kelas mutu premium 0 persen, medium 0,05 persen, submedium 0,05 persen, dan pecah 0,05 persen.

    Tribunnews.com menguji sejumlah sampel beras yang dibeli di sejumlah tempat di Jakarta dan diklaim berasal dari Pasar Induk Beras Cipinang di Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman Kementerian Pertanian.

    Metode pengujian menggunakan SNI 6128: 2015, SNI 6128: 2020. Sampel diambil pada 25 Juni 2025. Pengujian dilakukan pada 26 Juni 2025.

    Sampel beras tersebut meliputi, satu kemasan lima kilogram merk SLYP Rojolele berisi beras kualitas medium, yang dibeli di toko IJ, Pasar Induk Beras Cipinang. Dibeli dengan harga Rp68 ribu.

    Selanjutnya, satu kemasan lima kilogram merk beras SLYP Cap Bunga berisi beras kualitas premium yang dibeli di toko IJ, Pasar Induk Beras Cipinang. Dibeli dengan harga Rp75 ribu

    Kemudian, satu kemasan lima kilogram merk salah satu supermarket ternama dengan nama Beras Sentra Pulen berisi beras kualitas premium yang dibeli di supermarket di kawasan Rancho Indah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dibeli dengan harga Rp74.500.

    Serta satu liter beras harga Rp12 ribu yang dibeli di satu dari beberapa toko beras yang berada di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur.

    Temuan berdasarkan hasil pengujian tersebut, dijelaskan sebagai berikut:

    1. Beras SLYP Rojolele 

    - Toko IJ, Pasar Induk Beras Cipinang

    - Butir Kepala: 55,94 persen 

    - Butir Patah: 37,68 % 

    - Butir Menir: 6,21 % 

    - Butir Gabah: 0,00 % 

    - Benda Asing: 0,01 % 

    - Butir Rusak: 1,18 % 

    - Butir Kapur: 0,67 % 

    - Butir Merah: 0,06 % 

    - Kadar Air: 13,21 % 

    - Derajad sosoh: 95,00 %

    2. Beras SLYP Cap Bunga 

    - Toko IJ, Pasar Induk Beras Cipinang

    - Butir Kepala: 86,83 % 

    - Butir Patah: 13,18 % 

    - Butir Menir: 0,06 % 

    - Butir Gabah: 0,00 % 

    - Benda Asing: 0,00 % 

    - Butir Rusak: 0,00 % 

    - Butir Kapur: 0,03 % 

    - Butir Merah: 0,00 % 

    - Kadar Air: 12,30 % 

    - Derajad Sosoh: 99,00 %

    3. Beras Sentra Pulen 

    - Supermarket di kawasan Rancho, Jagakarsa, Jakarta Selatan

    - Butir Kepala: 80,47 % 

    - Butir Patah: 19,31 % 

    - Butir Menir: 0,32 % 

    - Butir Gabah: 0,00 % 

    - Benda Asing: 0,00 % 

    - Butir Rusak: 0,06 % 

    - Butir Kapur: 0,12 % 

    - Butir Merah: 0,25 % 

    - Kadar Air: 12,15 % 

    - Derajad Sosoh: 95,00 %

    4. Beras 1 Liter Harga Rp12 Ribu 

    - Toko Beras di Pasar Kramat Jati

    - Butir Kepala: 64,59 % 

    - Butir Patah: 28,92 % 

    - Butir Menir: 6,15 % 

    - Butir Gabah: 0,00 % 

    - Benda Asing: 0,00 % 

    - Butir Rusak: 0,39 % 

    - Butir Kapur: 1,07 % 

    - Butir Merah: 0,03 % 

    - Kadar Air: 13,11 % 

    - Derajad Sosoh: 95,00 %

    Sementara itu, aturan persyaratan label kemasan beras berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras diatur pada Bab III Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

    Adapun pada Pasal 10 Ayat (2), berbunyi: "Ketentuan mengenai pencantuman Label tidak berlaku bagi Beras yang dikemas di hadapan pembeli".

    Pantauan Tribunnews.com, dalam proses pengumpulan atau pembelian sampel beras SLYP Cap Bunga dan SLYP Rojolele di toko IJ, Pasar Induk Beras Cipinang, karyawati toko beras tersebut tampak mengambil karung ukuran lima kilogram baru atau dalam kondisi kosong, yang kemudian dimasukkan pada karung bertuliskan SLYP Cap Bunga beras kualitas mutu premium dan pada karung bertuliskan SLYP Rojolele beras kualitas mutu medium.

    Demikian juga dengan beras satu liter harga Rp12 ribu yang dibeli di salah satu toko beras di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. 

    Seorang pria pemilik toko memasukkan beras yang sudah ditakar dengan alat takar ukuran satu liter dan kemudian beras tersebut dituang ke dalam kantong plastik warna putih.

    Sedangkan, untuk Beras Setra Pulen yang dibeli di salah satu supermarket di Rancho, Jagakarsa, Jakarta Selatan, beras telah dikemas pada kemasan untuk ukuran berat lima kilogram yang diletakkan pada sebuah rak.

    Beras Oplosan Jadi Tanda Lemahnya Pengawasan Standar Mutu

    Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian merespons soal hasil investigasi Kementerian Pertanian soal peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET).

    Eliza menilai, temuan adanya 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu. 

    Selain itu, ia mengatakan, praktik oplosan yang dianggap "biasa" di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran, yang menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. 

    "Jadi memang perlu efek jera, misal mencabut izin usaha atau denda berkali-kali lipat," kata Eliza, saat dihubungi, Kamis (26/6/2025).

    Eliza kemudian menuturkan, praktik oplosan yang marak dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas. 

    Hal ini, menurutnya, dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang "sensitif", sebab bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.

    Selain itu, katanya, pasar beras di Indonesia cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel, dimana margin keuntungan terbesar diserap di middleman rantai distribusi, sementara keuntungan yang didapatkan petani sendiri tidak sampai 
    40 persen dari nilai tambah produk tersebut.

    Tak hanya itu, Eliz menyoroti, kejadian adanya beras oplosan mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen. 

    Ia mengatakan, di satu sisi konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai kualitas, komposisi, atau asal-usul beras yang mereka beli. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan pedagang.

    "Nah pedagang yang melakukan praktik oplosan pun itu memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability ini untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikannya. Ini konsumen dirugikan banyak," jelasnya.

    Lebih lanjut, menurut Eliza, solusi untuk permasalahan tersebut, satu di antaranya bisa dengan menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera.

    Selain itu, perlunya reformasi rantai pasok, dalam hal ini memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen.

    Kemudian, lanjutnya, untuk perlindungan konsumen beras premium dan medium membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan. 

    "Adanya sertifikasi ini akan meningkaktkan traceability sehingga konsumen tau beras yang mereka konsumsi ini berasal darimana dan ditanam oleh petani siapa dengan metode seperti apa. Jadi konsumen tidak dirugikan, membeli barang sesuai kualitasnya," pungkas Eliza.

    Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani menilai tata kelola komoditas sembako, khususnya beras, bermasalah sejak dari hulu.

    Julius menyoroti praktik oplos beras kerap menjadi jalan keluar para pengusaha untuk tetap menjaga range keuntungan.

    Hal itu terjadi, menurutnya, karena ketika para pengusaha sembako dalam hal ini beras, melakukan pembelian beras produksi lokal, namun di sisi lain mereka harus bersaing dengan beras impor yang harganya lebih murah dan dalam kuantitas yang berlimpah.

    "Kalau bicara beras sebagai salah satu komoditas utama sembako ya, itu memang bermasalah dari titik hulu tata kelolanya. Belum tahu jumlah produksinya berapa, lalu dimainkan jumlah impornya, lalu dimainkan supply-nya, lalu dimainkan demand-nya, segala macam," kata Julius, saat dihubungi Tribunnews.com, Jumat (27/6/2025).

    Dari sudut pandang hukum, ia mengatakan, telah terjadi berbagai persoalan dalam tata kelola sembako, mulai dari administrasi negara dalam hal kebijakan pemerintah, dugaan korupsi, konsorsium, dan kartel dalam kontek persaingan usaha.

    Selain itu, permasalahan lainnya mungkin juga terjadi dalam hal label kemasan yang tidak sesuai aturan hingga penipuan.

    Ia menuturkan, konsekuensi hukum bagi para pengoplos telah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.

    "Perlu ada penindakan yang multi-sistem, multi-layer, dan tidak hanya kepada pengusaha saja, tapi pengambil kebijakan juga, pengawasnya juga," tuturnya.

    Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Niti Emiliana sangat menyesalkan adanya temuan Kementerian Pertanian mengenai kecurangan penjualan beras, karena hal ini menunjukan pengabaian hak-hak konsumen secara terang benderang. 

    Niti meminta pemerintah menindak tegas pelaku usaha perberasan yang nyata-nyata membuat kerugian terhadap masyarakat konsumen hingga hampir 100 trilliun pertahun. 

    "Ancaman pidana menanti apabila beras yang diproduksi tidak sesuai dengan standar, pelaku usaha terancam melanggar pasal 8 UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana 5 tahun dan denda 2 miliar rupiah," kata Niti Emiliana, dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Sabtu (28/6/2025).

    Menurutnya, perbuatan oknum penjual beras yang tidak sesuai dengan standar akan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap kualitas beras dipasaran.

    Oleh karena itu, katanya, pemerintah harus dapat menjelaskan pada masyarakat konsumen terhadap kualitas dan kuantitas atas komoditi beras yang dijual di pasaran.

    Niti menilai, sudah waktunya bagi pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan untuk melakukan revisi UU Perlindungan Konsumen No 8/1999 atau melengkapinya dengan aturan hukum dengan sanksi yang ketat terhadap komoditi esensial atau komoditi penting bagi kehidupan bangsa kita termasuk diantaranya bahan pangan.

    Pemerintah, lanjutnya, harus berpihak kepada konsumen berkaitan dengan komoditas esensial. 

    "Pemerintah harus menjamin perlindungan bagi konsumen dari penggelembungan harga yang melebihi HET, kualitas dan kuantitas yang tidak sesuai standar, terakhir dari proses distribusi yang macet yang mengakibatkan kelangkaan barang di pasar," jelasnya.

    Kemudian, Niti meminta pemerintah mengawasi dengan ketat peredaran beras di pasaran agar sesuai, baik secara kualitas maupun kuantitas dan tidak segan-segan memberikan sanksi kepada pelaku usaha untuk me-recall beras yang tidak sesuai dengan standar. 

    Ia menegaskan, tidak ada posisi tawar bagi oknum penjual beras yang tidak sesuai standar yang dilakukan secara berulang mendulang keuntungan yang tinggi, terhadap pelaku seperti ini pemerintah seharusnya tidak berpikir dua kali tuk menjatuhkan sanksi yang tegas.

    Lebih lanjut, katanya, bagi masyarakat konsumen yang merasa dirugikan oleh praktik-praktik kecurangan ini dapat menggunakan haknya untuk mengadu dan mendapatkan ganti rugi yang sepadan. 

    Niti meminta pemerintah membuka posko pengaduan konsumen terkait produk beras yang tidak sesuai dengan standar, selain itu YLKI juga membuka ruang pengaduan bagi konsumen mengenai permasalahan beras di pasaran. 

    Pengaduan-pengaduan yang masuk, kata Niti, akan menjadi bahan evaluasi yang akan di serahkan kepada pemangku kepentingan. (Tim Liputan Khusus Tribunnews)

    Komentar
    Additional JS