Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Mahkamah Internasional Pemilu

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Lokal, Pakar Usul Aturan Transisi Kepala Daerah dan DPRD - Tribunnews

    5 min read

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Lokal, Pakar Usul Aturan Transisi Kepala Daerah dan DPRD - Tribunnews.com

    Editor: Choirul Arifin
    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Lokal, Pakar Usul Aturan Transisi Kepala Daerah dan DPRD
    dok. Kompas/Rahmat Rahman Patty
    USUL MASA TRANSISI KEPALA DAERAH - Ahli Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, DR Fahri Bachmid. 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, DR Fahri Bachmid mengusulkan diterbitkannya aturan soal masa transisi kekuasaan kepala daerah dan masa jabatan anggota dan pimpinan DPRD.

    Usulan tersebut disampaikan menanggapi terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa mulai Pemilu 2029 memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pilkada).

    Hal itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (26/6/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.

    Menurut DR Fahri Bachmid, prinsip emilihan umum serentak dalam praktik sistem pemerintahan presidensial merupakan produk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVll/2019.

    Di mana, di dalamnya mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang telah menetapkan sejumlah opsi varian keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945.

    Satu, Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; 

    Rekomendasi Untuk Anda
    NasDem: Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Bentuk Pencurian Kedaulatan Rakyat

    Dua, Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 

    Tiga, Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 

    Empat, Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; 

    Lima, Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; 

    Enam, Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden, 

    Fahri Bachmid berpendapat bahwa secara prinsip MK telah menentukan semacam ‘constitutional guide’ atas ke enam varian pilihan model keserentakan Pemilu tersebut.

    Dengan demikian, sedianya penentuan pilihan model atas sifat keserentakan Pemilihan umum itu menjadi domain pembentuk undang-undang. 

    Tapi sampai saat ini belum terjadi perubahan atas UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu untuk mengakomodir kaidah konstitusional itu, melalui putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini MK menetapkan opsi varian yang sebelumnya telah diputus.

    Yaitu mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (pemilu lokal).

    “Sebenarnya persoalan konstitusionalitas keserentakan Pemilu beserta model dan variannya telah menjadi ‘academic discourse’ sejak tahun 2013 sampai 2019, dan pemerintah bersama DPR telah bergerak kearah perubahan UU Pemilu itu sendiri,” kata Fahri kepada Tribunnews, Jumat (27/6/2025).

    Fahri Bachmid menilai bahwa salah satu implikasi konstitusional serta teknis atas putusan MK ini yang harus dicermati oleh pembentuk UU adalah bangunan desain rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD termasuk masa jabatan kepala daerah sesuai kaidah ‘formulation of the norm’ transisional.

    Selain itu, pengaturan rezim atau pelembagaan pranata transisi/peralihan ihwal jabatan kepala daerah berdasarkan hasil pemilihan serentak pada tanggal 27 November 2024, serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan pemilihan umum pada tanggal 14 Februari 2024, artinya dengan konstruksi waktu serta periode yang telah ditentukan.

    “Maka ada konsekwensi yuridis dengan diperlukannya tindakan perpanjangan masa jabatan untuk anggota DPRD hasil Pemilu 2024, yang harusnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2029, dapat diperpanjang 2 (dua) tahun menjadi tahun 2031, kelihatannya perumusan kebijakan perpanjangan untuk anggota DPRD merupakan sebuah "legal policy" yang "related" serta "reliable",” jelasnya.

    “Sedangkan untuk kepala daerah, saya berpendapat pembentuk UU dapat saja menentukan lain dalam rumusan "legal policy" yaitu boleh dengan instrumen Penjabat Kepala daerah (Pj),?atau boleh juga dengan melakukan perpanjangan, sebab penentuan model mana yang tepat secara konstitusional, itu merupakan  "open legal policy" yang tentunya menjadi domain serta kewenangan pembentuk UU dalam merumuskan "constitutional engineering,” tutup Fahri Bachmid.

    Tags:
    Komentar
    Additional JS