WHO Sepakat Sound Horeg Diharamkan, Bahaya Tinnitus hingga Sistem Saraf - Radar Banyuwangi
Kesehatan
WHO Sepakat Sound Horeg Diharamkan, Bahaya Tinnitus hingga Sistem Saraf - Radar Banyuwangi

RADARBANYUWANGI.ID - Fenomena sound horeg kini bukan sekadar tren hajatan di desa-desa, tetapi telah menimbulkan perdebatan serius di ranah agama, sosial, hingga kesehatan.
Setelah Pondok Pesantren Besuk di Pasuruan memutuskan penggunaan sound horeg haram, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pun mendukung dengan menyoroti dampak kebisingannya terhadap masyarakat.
Salah satu sorotan tajam adalah bagaimana dentuman bass superbesar ini dapat dikategorikan sebagai polusi suara ekstrem yang diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sound horeg lazim dioperasikan dengan tumpukan speaker raksasa, bisa mencapai 3–5 meter, dilengkapi amplifier bertenaga ribuan watt.
Tak heran jika suara yang dihasilkan menembus radius satu kilometer atau lebih. Pengukuran lapangan di sejumlah hajatan desa menunjukkan tingkat kebisingan bisa menembus 100–120 dB di area penonton depan.
Baca Juga: Trending Sound Horeg Diharamkan! Begini Bunyi Fatwanya, Dinilai Jadi Momok Mayoritas
Angka ini jelas jauh melampaui rekomendasi WHO. Menurut Environmental Noise Guidelines for the European Region (2018), WHO menetapkan:
- 85 dB: batas aman maksimal 8 jam per hari di lingkungan kerja.
- 100 dB: batas waktu aman hanya sekitar 15 menit per hari.
- 70 dB: ambang aman paparan harian bagi masyarakat umum agar terhindar dari risiko gangguan pendengaran jangka panjang.
Ironisnya, pada acara sound horeg, anak-anak hingga orang tua bisa berdiri dekat speaker selama berjam-jam, tanpa perlindungan telinga apa pun.
Tinnitus. (WHO)
Adapun paparan kebisingan di atas ambang normal secara terus-menerus berpotensi menimbulkan:
- Gangguan pendengaran permanen (noise-induced hearing loss).
- Tinnitus, yaitu telinga berdenging terus-menerus.
- Gangguan tidur dan stres, karena dentuman memengaruhi sistem saraf.
- Gangguan komunikasi, terutama bagi anak-anak dan lansia yang sensitif.
WHO menegaskan bahwa polusi suara termasuk ancaman serius bagi kesehatan publik. Bahkan beberapa negara menerapkan regulasi ketat dan denda besar untuk pelanggaran ambang kebisingan di kawasan permukiman.
Baca Juga: Kenapa Sound Horeg Haram? Ini Penjelasan Fiqih dan 4 Lapis Argumen
Fatwa Haram Berdasar Kaidah Kesehatan
Dalam forum Bahtsul Masail di Ponpes Besuk, aspek kesehatan menjadi salah satu dasar utama pengharaman sound horeg. Para ulama menilai mudarat kebisingan ini adalah nyata (mafsadat muhaqqaqah), bukan sekadar asumsi.
Prinsip fikih lā dharar wa lā dirār (tidak boleh saling membahayakan) pun menjadi pijakan kuat. Itulah sebabnya MUI Jawa Timur menegaskan pentingnya penertiban agar masyarakat terhindar dari dampak kebisingan ekstrem.
Anggota DPR RI Dapil Jatim II, dr. Mufti Anam, juga mendukung langkah para ulama dengan menekankan bahwa polusi suara sudah sepatutnya dikendalikan demi menjaga kesehatan masyarakat, termasuk risiko trauma pendengaran yang bersifat permanen.
Bijak Berhibur, Jaga Telinga Tetangga
Hiburan memang sah-sah saja. Namun, WHO telah mengingatkan bahwa pendengaran manusia bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi menyangkut organ vital yang bisa rusak seumur hidup jika terpapar suara bising di luar ambang aman.
Sound horeg, dengan dentumannya yang tak terkendali, layak diwaspadai sebagai polusi suara yang nyata.
Kesadaran masyarakat, dukungan regulasi, dan fatwa para ulama diharapkan dapat menjadi peringatan. Meriah boleh, tapi jangan sampai memekakkan telinga dan mengganggu hak orang lain. Karena kesehatan pendengaran adalah nikmat yang tak tergantikan.