Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Solo

    3 Lahan di Solo Terdeteksi Terlantar, Ini Kriteria Tanah Bersertifikat yang Tak Akan Disita Negara - Halaman all - Tribunsolo

    10 min read

     

    3 Lahan di Solo Terdeteksi Terlantar, Ini Kriteria Tanah Bersertifikat yang Tak Akan Disita Negara - Halaman all - Tribunsolo

    TRIBUNSOLO.COM, SOLO – Kantor Pertanahan Kota Surakarta saat ini tengah memantau tiga lokasi yang terindikasi sebagai tanah terlantar.

    Tiga lokasi itu, sudah diajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Hal ini diungkapkan langsung oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Surakarta, Wahjoe Noer Siswati, saat menghadiri acara Public Service Expo di Solo Square Mall, Kamis (7/8/2025).

    Baca juga: Kasus Penyelewengan Tanah Kas Jaten Karanganyar, Jaksa Resmi Sita 52 Kios di Atas Aset Desa

    “Di Surakarta ada tiga lokasi yang sedang diusulkan ke BPN Pusat terkait tanah terlantar. Satu di Kelurahan Sumber dan dua lainnya di Kelurahan Mojosongo,” jelas Wahjoe.

    Wahjoe menegaskan bahwa sebuah lahan tidak serta merta langsung ditetapkan sebagai tanah terlantar.

    Ada prosedur berlapis yang harus dilalui, mulai dari pengumpulan data, monitoring, hingga pemeriksaan lapangan oleh seksi pengendalian Kantor Pertanahan.

    “Misalnya izinnya untuk pabrik, tapi faktanya tidak digunakan sama sekali, tidak sesuai peruntukan, maka kami mulai proses monitoring,” ungkapnya.

    Pemilik atau pengguna tanah yang terindikasi menelantarkan lahan akan menerima tiga kali surat peringatan secara bertahap.

    Baca juga: Kasus Penyelewengan Tanah Kas Jaten Karanganyar, Jaksa Sita Ruko di Atas Aset Milik Desa

    Setelah itu, panitia C akan turun ke lapangan untuk melakukan verifikasi sebelum keputusan akhir diserahkan ke BPN Pusat.

    Isu tanah terlantar tidak hanya menjadi perhatian di Solo.

    Secara nasional, pemerintah tengah melakukan penyisiran terhadap sekitar 100 ribu hektare lahan yang berpotensi dikategorikan sebagai tanah terlantar.

    Menurut Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid, proses penetapan lahan terlantar tidak instan, bahkan membutuhkan waktu hingga 587 hari.

    Kriteria Tanah yang Tak Akan Disita Negara

    Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid memberikan klarifikasi atas pernyataannya terkait rencana penyitaan tanah terlantar selama dua tahun yang sebelumnya memicu kontroversi di masyarakat.

    Dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (12/8/2025), Nusron menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak berlaku untuk tanah milik rakyat, termasuk sawah, pekarangan, atau tanah warisan yang sudah bersertifikat hak milik.

    "Bukan menyasar tanah rakyat, sawah rakyat, pekarangan rakyat, atau tanah waris, apalagi yang sudah mempunyai status sertifikat hak milik maupun hak pakai," ujar Nusron.

    Hanya Berlaku untuk HGU dan HGB

    Nusron menjelaskan, kebijakan pengambilalihan hanya berlaku pada tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak dimanfaatkan secara produktif selama dua tahun.

    "Jadi ini semata-mata menyasar lahan yang statusnya HGU dan HGB yang luasnya jutaan hektare, tapi dianggurkan, tidak dimanfaatkan, dan tidak produktif," tegasnya.

    Ia menyebutkan bahwa saat ini terdapat jutaan hektare tanah dengan status HGU dan HGB yang terbengkalai dan tidak memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah ingin mengelola lahan tersebut guna mendukung program strategis nasional di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran.

    Untuk Program Strategis dan Kepentingan Umum

    Nusron menyatakan, lahan-lahan yang ditelantarkan itu nantinya akan dimanfaatkan untuk berbagai program, mulai dari reforma agraria, ketahanan pangan, perumahan rakyat, hingga penyediaan fasilitas umum.

    "Inilah yang dapat kita dayagunakan untuk program-program strategis pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan rakyat. Baik dari reforma agraria, pertanian rakyat, perumahan murah, hingga penyediaan lahan bagi kepentingan umum seperti sekolah rakyat, puskesmas, dan sebagainya," jelas Nusron.

    Menanggapi polemik yang muncul akibat pernyataannya sebelumnya, Nusron Wahid menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia.

    Ia mengakui bahwa pernyataannya yang viral tersebut disampaikan dalam konteks candaan, namun dinilai tidak pantas untuk dilontarkan oleh pejabat publik.

    "Saya atas nama Menteri ATR/BPN menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas pernyataan saya yang viral dan menimbulkan polemik. Kami menyadari, candaan tersebut tidak tepat, tidak sepantasnya, dan tidak selayaknya disampaikan oleh seorang pejabat publik," kata politisi Partai Golkar itu.

    Ia juga mengakui bahwa pernyataan tersebut telah menimbulkan kesalahpahaman dan keresahan di masyarakat.

     "Untuk itu, sekali lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada publik, kepada netizen, dan kepada masyarakat Indonesia atas sabqul lisan (salah ucap) ini," tandas Nusron.

    Dasar Hukum dan Potensi Konflik Agraria

    Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa kebijakan ini memiliki dasar hukum kuat, yakni PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

    Hasan menyebut, lahan yang dibiarkan menganggur selama dua tahun sejak hak diterbitkan dan tidak dimanfaatkan sesuai izin, bisa diambil alih oleh negara.

    “Semangatnya agar tidak ada lahan yang dibiarkan begitu saja. Karena kalau dibiarkan, bisa menimbulkan konflik agraria, bahkan bisa diduduki oleh pihak lain,” tegasnya.

    Hasan juga menegaskan bahwa pemerintah tidak asal mengambil alih tanah, karena prosesnya bertahap dan transparan.

    Baca juga: Jemaah Haji Asal Sragen Meninggal Dunia, Alami Penurunan Kondisi Setiba di Tanah Air

    Sosialisasi Akan Digelar

    Wahjoe Noer Siswati menutup pernyataannya dengan menyebut bahwa pihaknya akan melakukan sosialisasi regulasi terbaru kepada masyarakat dalam waktu dekat.

    “Kita agendakan sosialisasi. Supaya masyarakat paham bahwa ada aturan, proses, dan tahapan sebelum tanah benar-benar ditetapkan sebagai tanah terlantar,” ujarnya.

    Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan di tengah keterbatasan ruang dan tingginya kebutuhan lahan produktif di kota-kota besar seperti Surakarta.

    Penjelasan BPN soal Tanah Terlantar Disita Negara

    Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, tanah telantar adalah tanah yang telah diberikan hak resmi, seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Pengelolaan (HPL), hingga Hak Milik (HM), namun dengan sengaja tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara, atau tidak digunakan sesuai peruntukan haknya dalam jangka waktu tertentu.

    Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 Pasal 7, disebutkan bahwa tanah Hak Milik juga bisa menjadi objek penertiban tanah telantar jika:

    - Dikuasai masyarakat dan berubah fungsi jadi wilayah perkampungan;

    - Dikuasai pihak lain selama 20 tahun tanpa hubungan hukum;

    - Tidak memenuhi fungsi sosialnya, baik haknya masih aktif maupun sudah tidak ada.

    Sementara itu, untuk HGU, HGB, HP, dan HPL, batas waktu ketelantaran dimulai dua tahun setelah hak diterbitkan.

    Tujuan Penertiban Tanah Telantar

    Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR), Jonahar, menegaskan bahwa penertiban ini bukan untuk mengambil tanah rakyat, tetapi agar semua lahan digunakan secara maksimal demi kemakmuran bersama, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

    “Negara ingin semua lahan dimanfaatkan, bukan dibiarkan terbengkalai,” ujarnya, Kamis (17/7/2025).

    Senada, Kepala Biro Humas Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, menjelaskan bahwa negara tetap memberikan waktu dan kesempatan bagi pemilik tanah untuk mengelola tanah mereka sebelum diambil tindakan.

    Proses Penetapan Tanah Telantar

    Penetapan tanah sebagai telantar tidak dilakukan secara tiba-tiba. Prosesnya terdiri dari empat tahapan penting:

    1. Inventarisasi dan Identifikasi

    Kementerian ATR/BPN mulai dengan mendata dan mengevaluasi tanah yang diduga telantar. Misalnya, lahan HGU atau HGB yang tak kunjung dimanfaatkan selama dua tahun akan diklarifikasi kepada pemiliknya.

    2. Peringatan Bertahap

    Jika tidak ada penjelasan valid dari pemilik, maka akan dikirimkan tiga surat peringatan:

    - SP 1: Diberi waktu 3 bulan.

    - SP 2: Tambahan waktu 3 bulan.

    - SP 3: Tambahan waktu 3 bulan.

    3. Penetapan Tanah Telantar

    Jika setelah tiga kali peringatan lahan tetap tidak digunakan, maka tanah tersebut ditetapkan sebagai tanah telantar.

    Proses ini membutuhkan waktu sekitar 587 hari, atau hampir dua tahun.

    4. Pendayagunaan oleh Negara

    Setelah ditetapkan, tanah telantar dapat dimanfaatkan untuk reforma agraria, infrastruktur publik, atau kebutuhan sosial lainnya melalui Bank Tanah dan TCUN (Tanah Cadangan untuk Negara).

    Jenis Tanah yang Jadi Prioritas

    Meskipun semua jenis hak tanah bisa menjadi objek penertiban, saat ini pemerintah memprioritaskan penertiban HGU dan HGB milik badan hukum, bukan perorangan.

    “Pemilik SHM tidak perlu panik, penertiban difokuskan pada badan hukum,” kata Jonahar.

    Bagaimana Jika Pemilik Tidak Terima?

    Harison menegaskan, jalur hukum terbuka bagi masyarakat yang merasa penetapan tanah telantar tidak sesuai prosedur. Mereka dapat menggugat keputusan BPN ke pengadilan.

    “Kalau merasa prosesnya tidak sah, silakan menempuh jalur hukum,” katanya.

    Tips Agar Tanah Tak Dianggap Telantar

    1. Tanah Hak Milik

    - Pasang pagar, tanda batas, atau tanaman.

    - Lebih baik jika dibangun rumah atau bangunan sederhana.

    - Hindari tanah dikuasai pihak lain.

    2. Tanah HGU dan HGB

    - Gunakan sesuai proposal awal.

    - Lakukan progres usaha minimal agar tidak terindikasi telantar.

    “Paling sederhana, pasang pagar bambu atau seng. Itu menunjukkan tanah tersebut dikuasai dan tidak ditelantarkan,” ujar Harison.

    Penertiban tanah telantar merupakan langkah penting untuk mewujudkan keadilan agraria, meningkatkan pemanfaatan ruang, serta mencegah konflik tanah di kemudian hari.

    Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini dijalankan secara berjenjang, terukur, dan terbuka untuk diawasi.

    (*)

    Komentar
    Additional JS