Buntut Kasus Pati, Ekonom: Pemangkasan TKD tak Sesuai Semangat Otonomi Daerah dan Reformasi - Inilah
Buntut Kasus Pati, Ekonom: Pemangkasan TKD tak Sesuai Semangat Otonomi Daerah dan Reformasi

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Ternyata, bukan hanya rakyat kelas menengah ke bawah saja yang kehilangan daya beli, kepala daerah pun begitu. Karena jatah anggaran TKD mereka dipangkas habis.
Akibatnya, mereka terpaksa mengerek naik pajak. Yang paling mudah ya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut, fenomena kepala daerah menaikkan pajak, cepat meluas. Bak cendawan di musim hujan.
Biang keroknya ya itu tadi, berkurangnya dana transfer ke daerah (TKD). masalahnya, ketika kepala daerah mengerek pajak, responsnya bisa politis. Seperti kejadian di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Bupati Sudewo terancam lengser gara-gara memutuskan kenaikan PPP hingga 250 persen. Gelombang protes luar biasa dilakukan warga Pati. Hingga muncul desakan kuat agar Bupati Sudewo mundur, atau dilengserkan oleh DPRD Pati.
Asal tahu saja, anggaran TKD pada tahun ini ditetapkan Rp919 triliun, tahun depan jatahnya dipangkas signifikan, tersisa Rp650 triliun.
"Kami khawatirkan, akan ada lebih banyak daerah seperti Pati. Misalnya, Jombang, Ponorogo, Cirebon juga, yang akan menaikkan (pendapatan) dengan instan,” ucap Bhima di Jakarta, dikutip Senin 18/8/2025).
Pemangkasan TKD, menurut Bhima, mengindikasikan kembalinya sentralisasi fiskal. Hal itu, disebutnya, bertolak belakang dengan semangat desentralisasi pada saat reformasi.
Saat ini, lanjut Bhima, keuangan daerah sudah mengalami tekanan fiskal akibat efisiensi anggaran. Sehingga dengan berkurangnya anggaran TKD untuk 2026, tekanan fiskal daerah diperkirakan akan semakin membesar dan merata.
"Dampak tekanan fiskal akan sangat terasa di daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Sebab, daerah ini tidak menerima Dana Bagi Hasil (DBH)," imbuhnya.
Dia bilang, suka atau tidak suka, tekanan fiskal sangat terasa hingga ke daerah, khususnya yang memiliki sumber daya alam (SDA) dahsyat. Di mana, efisiensi anggaran akan berdampak terhadap pembiayaan untuk mengatasi kerusakan akibat usaha ekstraktif.
Tekanan fiskal disebut bakal mendorong pemerintah daerah untuk mencari jalan paling mudah untuk meningkatkan pendapatan, yaitu melalui pajak dan retribusi. Namun, skema ini akan memberatkan masyarakat.
“Yang bisa menyelesaikan masalah adalah evaluasi pemotongan atau efisiensi belanja pemerintah pusat,” ujar Bhima.





