Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured LMKN Royalti

    LMKN: Suara Alam Tak Kena Royalti Kecuali Jika Direkam | tempo

    2 min read


    LMKN: Suara Alam Tak Kena Royalti Kecuali Jika Direkam | tempo

    LEMBAGA Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjelaskan bahwa pemutaran suara burung asli atau suara alam tidak dikenakan royalti, kecuali jika suara tersebut direkam dan digunakan dalam karya fonogram.

    “Jika didengarkan secara alamiah dari sangkarnya, tidak ada perekaman di situ, maka itu tidak perlu bayar royalti,” kata Komisioner LMKN Bidang Lisensi dan Kolekting, Jhonny W. Maukar, dalam keterangannya, Kamis, 7 Agustus 2025.

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Namun, jika suara burung atau suara alam tersebut direkam dan diputar ulang, hak cipta berlaku karena telah terjadi fiksasi atau perekaman karya yang dapat dilihat dan didengar. “Kalau ada fiksasi, maka di dalam karya rekam itu ada perlindungan hukum,” ujar Jhonny.

    Ia menjelaskan bahwa dalam kasus ini, pemegang hak bukan burung sebagai pelaku pertunjukan, melainkan produser fonogram atau pihak yang melakukan perekaman. Jika produser fonogram adalah pemilik kafe, dia juga berhak menerima royalti dari perekaman tersebut.

    Menurut Jhonny, pemilik kafe yang mendaftarkan diri sebagai anggota LMK, akan menerima kembali 80 persen dari royalti yang dibayarkan. “Kenapa 80 persen? Karena undang-undang menyatakan 20 persen untuk biaya operasional,” kata dia.

    Ia menyarankan pelaku usaha yang ingin memutar rekaman suara tertentu tanpa membayar royalti penuh, bisa merekam sendiri suara tersebut dan mengelolanya secara mandiri lewat LMK. “Silakan pemilik kafe merekam sendiri, kemudian mendapatkan royaltinya sendiri,” ucapnya.

    Hal senada disampaikan oleh Ketua LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi) Jusak Irwan Setiono. Jusak menjelaskan bahwa suara alam yang asli atau bukan hasil rekaman, tidak ada penciptanya dan tidak ada produser fonogramnya, sehingga tidak akan dikenai royalti.

    Namun situasinya akan berbeda apabila suara tersebut direkam terlebih dahulu. "Kalau ada orang yang pergi ke hutan, nungguin suara burung, terus direkam, itu kan ada usaha dan biaya. Maka si perekam punya hak sebagai produser fonogram,” ujarnya.

    Dalam sistem distribusi royalti, LMK membagi hak ke beberapa pihak. Mulai dari pencipta, pelaku pertunjukan, dan produser fonogram. Oleh karena itu, hasil rekaman kicauan burung maupun suara alam lainnya yang diputar di ruang komersial, wajib dikenakan royalti untuk produsernya.

    Adapun klasifikasi pembagian royalti dihitung berdasarkan skema yang berlaku. Untuk usaha seperti restoran dan kafe, misalnya, royalti dibebankan sebesar Rp 120 ribu per kursi per tahun, yang umumnya dibagi dua: Rp 60 ribu untuk hak cipta dan Rp 60 ribu untuk hak terkait. Namun, kata Jusak, bila tidak ada pencipta atau pelaku pertunjukan, seperti dalam kasus rekaman suara alam, yang dihitung hanya bagian hak terkait.

    Jusak mengklaim bahwa kebijakan penarikan royalti oleh LMK dan LMKN tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Prinsipnya, kata dia, adalah keberlanjutan. "Kalau pelaku usaha kami tekan, tahun depan mereka tidak akan hidup dan kami juga tidak akan dapat apa-apa,” ujarnya.

    Pilihan Editor: Jalan Keluar Polemik Sound Horeg

    Komentar
    Additional JS