Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Featured Kafe Musik Royalti

    Musik Bebas Royalti: Solusi di Tengah Polemik Bayaran Lagu di Kafe | tempo

    3 min read

     

    Musik Bebas Royalti: Solusi di Tengah Polemik Bayaran Lagu di Kafe | tempo

    POLEMIK pembayaran royalti lagu yang memanas belakangan ini memunculkan kecemasan di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya pemilik kafe dan restoran.

    Banyak dari mereka memilih untuk tidak lagi memutar musik demi menghindari risiko hukum. Namun, di balik situasi ini, justru terbuka ruang bagi kebangkitan musik tradisi yang telah lama menjadi bagian dari warisan budaya Indonesia.

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Pemutaran musik di ruang publik seperti kafe memang diwajibkan membayar royalti kepada pemegang hak cipta, sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. 

    Namun, tidak semua musik tunduk pada aturan tersebut. Musik tradisional seperti gamelanlancaranketawang, hingga ladrang, sejatinya merupakan karya kolektif yang telah hidup ratusan tahun dan masuk dalam kategori domain publik. Artinya, siapa pun boleh memainkannya tanpa kewajiban membayar royalti ke penciptanya..

    Seperti dikutip dari Kolom Tempo, meskipun telah diakui dalam UU Hak Cipta, musik tradisional belum mendapat perlindungan operasional yang jelas. Situasi ini menjadi rumit ketika pihak-pihak tertentu mulai mendaftarkan rekaman atau aransemen musik etnik ke lembaga manajemen kolektif dan mengklaimnya sebagai hak cipta pribadi.

    Akibatnya, apabila pengusaha kafe memutar versi lain dari Gending Kebo Giro misalnya, mereka bisa dianggap melanggar hak cipta karena sistem hanya mengenali rekaman tertentu yang telah terdaftar. Padahal, komposisi musiknya adalah milik bersama.

    Kondisi serupa juga terjadi di ruang digital. Ketika sebuah rekaman musik tradisi diunggah ke platform seperti YouTube, sistem otomatis bisa saja memblokir unggahan serupa dari pihak lain, walaupun lagunya adalah warisan budaya. Hal ini membatasi akses masyarakat terhadap musik etnik dan menghambat pelestarian budaya.

    Di luar musik tradisi, lagu kebangsaan seperti Indonesia Raya juga termasuk dalam kategori lagu yang dapat diputar tanpa royalti. Guru Besar Hukum dari Universitas Padjadjaran, Prof. Ahmad M. Ramli, menegaskan bahwa penggunaan lagu kebangsaan dilindungi Pasal 43 huruf a UU Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa publikasi dan pendistribusian lagu kebangsaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.

    “Lagu kebangsaan sejatinya harus disosialisasikan secara terus menerus, didistribusikan, dan digunakan,” ujar Ramli dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, dikutip dari Antara7 Agustus 2025.

    Menariknya, sejumlah musisi Indonesia juga menyatakan secara terbuka bahwa mereka tidak mempermasalahkan jika lagu-lagunya diputar di kafe tanpa royalti. Ahmad Dhani, Rhoma Irama, Charly van Houten (eks ST12), dan grup Juicy Lucy adalah beberapa di antaranya.

    Rhoma Irama bahkan menyebut pemutaran lagunya oleh publik sebagai bentuk sedekah budaya, bukan pelanggaran.

    Namun, pernyataan-pernyataan tersebut belum cukup untuk menjamin kebebasan pemutaran lagu. Tanpa regulasi yang jelas dan sistem manajemen kolektif yang transparan, musisi maupun pemilik usaha tetap terjebak dalam ketidakpastian hukum.

    Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, menekankan pentingnya reformasi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMK Nasional (LMKN) demi menciptakan sistem royalti yang adil dan akuntabel.

    “Yang paling penting adalah akuntabilitas pengelolaan kolektif, agar royalti sampai ke pihak yang berhak,” kata Harsya.

    Sebagai langkah konkret, negara perlu menyediakan basis data resmi untuk mencatat karya-karya tradisi yang telah menjadi domain publik. Hal ini akan melindungi karya budaya dari klaim sepihak dan memberikan kepastian hukum bagi pengguna.

    Pilihan editor: Penjelasan Dasco Setelah Viral Konsumen Bayar Royalti Lagu di Restoran

    Komentar
    Additional JS