Bank Aceh: Rp7 Triliun Dana Parkir di Luar dan Qanun yang Dikhianati - Pintoe
Keuangan,
Bank Aceh: Rp7 Triliun Dana Parkir di Luar dan Qanun yang Dikhianati
Sejak bank konvensional angkat kaki, Bank Aceh mestinya jadi motor ekonomi. Faktanya: Rp7 triliun justru diparkir di luar daerah. Amanah qanun pun dikhianati.
Ilustrasi: Pintoe.co/AI
PINTOE.CO - Bayangkan seorang petani di Aceh baru saja panen. Dari hasil panennya, ia tentu perlu menyimpan sebagian di lumbung sebagai cadangan untuk masa paceklik. Itu wajar. Tetapi kalau sebagian besar gabah—katakanlah Rp8 dari setiap Rp10 karung—ditaruh di lumbung, sementara tetangga, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya justru kekurangan beras untuk makan dan butuh bibit untuk menanam lagi, maka fungsi petani itu tidak tercapai. Hasil panen seharusnya menghidupi dan menumbuhkan lingkungannya dulu, bukan hanya diam di lumbung.
Analogi ini pas untuk menggambarkan posisi Bank Aceh. Bank ini bukan perusahaan swasta yang hanya mengejar laba sebanyak-banyaknya. Namun, ini adalah bank milik pemerintah daerah. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2014 memberi mandat jelas: menjadi penggerak pembangunan ekonomi Aceh berbasis syariah, pendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus menjalankan fungsi sosial demi kemaslahatan umat. Karena itu, setiap kebijakan penempatan dana harus dinilai dari sejauh mana ia sesuai dengan amanat tersebut.
Faktanya, Bank Aceh justru menempatkan Rp8,08 triliun dana di luar Aceh sepanjang 2024. Dari jumlah itu, Rp7,05 triliun diinvestasikan ke surat berharga seperti sukuk negara, obligasi perusahaan swasta nasional, dan ditempatkan di sejumlah bank lain lain di luar Aceh. Sisanya, untuk memenuhi kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) yang ditetapkan Bank Indonesia selaku bank sentral.
Penempatan ini memang sah secara regulasi dan dijustifikasi atas nama “likuiditas”, tapi apakah jumlah sebesar itu wajar?
Dengan posisi Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Aceh yang mencapai Rp26,2 triliun, mestinya dana cadangan tidak perlu sebesar Rp8 triliun. Menurut ketentuan Bank Indonesia, bank wajib menempatkan GWM hanya sekitar 5%–6,5% dari DPK. Artinya, cadangan wajib Bank Aceh sekitar Rp1,3 – Rp1,7 triliun. Ketentuan ini sudah dipenuhi.
Yang mengusik nalar kita: di luar kewajiban itu Bank Aceh menempatkan Rp2,65 triliun di BI untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN). Ini bukan kewajiban, melainkan pilihan. Begitu juga pembelian surat berharga lain: Rp2,9 triliun ke Kementerian Keuangan, Rp85 miliar ke PT Indah Kiat Pulp&Paper (anak usaha Sinar Mas Group yang pernah dilaporkan Walhi mencemari lingkungan di Riau), Rp200 miliar ke PT Kereta Api Indonesia, Rp50 miliar ke PT XL Axiata, dan Rp15 miliar ke PT Indosat. Ada juga penempatan Rp1,2 triliun lebih di bank lain dan manajer investasi. Semua ini bukan kewajiban regulasi, melainkan pilihan investasi yang tak satu pun berdampak langsung pada ekonomi Aceh.
Jika ditotal, dana “parkir” di luar kewajiban GWM itu mencapai Rp7 triliun lebih. Padahal, menurut standar likuiditas sehat versi OJK/BI, cadangan cukup 10–15% dari total DPK. Dengan DPK Rp26,2 triliun, cadangan ideal hanya Rp2,6 – Rp4 triliun. Artinya, penempatan Rp7 triliun lebih jelas berlebihan.
Lebih ironis lagi, di sisi lain Bank Aceh gagal memenuhi kewajiban pembiayaan UMKM sebagaimana amanat Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Qanun ini mewajibkan bank menyalurkan pembiayaan minimal 30% dari total pembiayaan ke UMKM paling lambat 2020, dan 40% pada 2022. Faktanya, laporan Bank Aceh menunjukkan rasio pembiayaan UMKM jauh di bawah target: pada 2021 hanya 7,59% (Rp1,24 triliun), pada 2022 sebesar 9,39% (Rp1,62 triliun), dan pada 2023 hanya 11,11% (Rp2,07 triliun).
Padahal, sejak Qanun LKS diberlakukan, bank-bank konvensional praktis angkat kaki dari Aceh. Kondisi ini membuat Bank Aceh, bersama BSI, menjadi dua pemain utama perbankan yang menjangkau hingga ke pelosok. Dengan posisi strategis ini, semestinya Bank Aceh mengambil peran lebih besar dalam menggerakkan sektor riil dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi Aceh.
Pertanyaan kritis pun muncul: Mengapa Bank Aceh lebih memilih “menyimpan berlebihan” Rp7 triliun lebih di luar Aceh, ketimbang mempercepat penyaluran dana untuk UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal?
Jika alasannya adalah menjaga likuiditas, seharusnya angka cadangan yang wajar cukup Rp2,6 – Rp4 triliun. Selebihnya, sekitar Rp3 triliun lagi mestinya bisa digelontorkan untuk menggerakkan ekonomi Aceh, sesuai mandat qanun.
Satu-satunya alasan yang masuk akal kenapa Bank Aceh Syariah memilih menempatkan uang di SBN dan bank lain di luar Aceh adalah godaan imbal hasil 6% tadi. Jelas ini lebih aman ketimbang menyalurkannya ke UMKM yang berpotensi macet. Bahkan, jika dihitung-hitung, dengan imbal hasil 6% dari Rp7 triliun saja, manajemen Bank Aceh tinggal ongkang-ongkang kaki sudah dapat laba Rp420 miliar. Angka ini hanya selisih Rp23 miliar dari laba bersih tahun 2024 senilai Rp443 miliar. Tapi akibatnya, amanah qanun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh dan fungsi intermediasi hanya menjadi slogan semata.
Untuk memahami ini, kita bisa berkaca pada kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang baru-baru ini menarik dana cadangan di BI senilai Rp200 triliun untuk diputar dalam bentuk pembiayaan di 5 bank Himbara. Logikanya jelas: daripada uang “parkir” di BI, lebih baik digelontorkan sebagai kredit bagi sektor riil. Purbaya menegaskan, perputaran dana melalui pembiayaan akan lebih produktif mendorong pertumbuhan ekonomi daripada mengendap di bank sentral. Ia tak lupa mewanti-wanti agar uang itu tak dipakai oleh bank untuk membeli SBN.
Logika kebijakan inilah yang mestinya diadopsi Bank Aceh: uang harus diputar di Aceh, bukan diparkir di luar.
Menaruh cadangan itu penting, tetapi berlebihan menyimpannya sama dengan mengkhianati amanat. Rp7 triliun lebih yang diparkir di luar Aceh adalah angka yang terlalu besar, dan alasan “likuiditas” tidak lagi memadai jika dibandingkan dengan standar ideal menurut BI/OJK maupun kebutuhan riil rakyat Aceh.
Setiap rupiah yang masuk ke Bank Aceh berasal dari keringat masyarakat Aceh—dari guru, petani, nelayan, pedagang kecil, hingga ASN. Amanah qanun jelas: uang itu harus kembali ke rakyat dalam bentuk pembiayaan produktif, terutama UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Bila uang justru lebih banyak diparkir di luar, memberi keuntungan bagi korporasi nasional yang bahkan pernah dilaporkan merusak lingkungan, sementara pedagang kecil di Aceh sulit mengakses kredit, maka di situlah letak pengkhianatan terhadap semangat lahirnya Bank Aceh. Terlebih, bank konvensional sudah "diusir" dari Aceh lewat Qanun LKS.
Bank Aceh lahir dari amanah untuk memperkuat ekonomi rakyat Aceh. Yang dibutuhkan bukan keberanian bermain aman di instrumen investasi, melainkan keberanian memutar uang di tanah sendiri. Jika tidak, Bank Aceh hanya akan menjadi “lumbung uang” yang penuh, tapi membiarkan sawah di sekelilingnya tetap kering.
Sudah saatnya publik Aceh menuntut transparansi dan keberanian dari bank miliknya sendiri. DPR Aceh selaku pembuat Qanun LKS dan wakil rakyat sudah layaknya meminta pertanggungjawaban Bank Aceh. Dalam kondisi ekonomi rakyat yang apoh-apah, memilih jalur bek syeh-syoh jelas bukan pilihan tepat. Yang dibutuhkan rakyat adalah tindakan nyata dari para wakilnya! []